Ketika masa pencalonannya sebagai Presiden AS, Barrack Obama sempat dicecar dengan isu “madrasah”. Lawan politiknya menggelindingkan isu bahwa Obama ketika tinggal di Indonesia pernah menempuh pendidikan di salah satu “madrasah”. Publik AS pun sepertinya beraksi keras mendengar kata “madrasah” ini. Akhir cerita, isu ini pun terklarifikasikan, sehingga Obama pun lolos dari jeratan lawan-lawan politiknya.
Apa yang salah dengan kata “madrasah” ini?
Menurut pengertiannya madrasah adalah sekolah, tempat seseorang menempuh pendidikan formal. Di Indonesia sendiri jenjang pendidikan madrasah bertingkat, Madrasah Ibtidaiyah untuk tingkat SD, Madrasah Tsawaniyah untuk SLTP dan Madrasah Aliyah untuk SLTA (MAN), yang semuanya berada dalam kordinasi Departemen Agama. Jika madrasah adalah sekolah, kenapa publik AS begitu phobia dengan kata ini?
“Madrasah” bagi Barat (AS dan negara-negara Eropa) tak ubahnya adalah sebuah teror, sama ketika mereka mendengar kata “NAZI”, “Hitler”, “Komunis”, “Osama bin Laden”, “Al Qaeda”, “Taliban”, “Jihad” dan sejumlah kata-kata yang akarnya banyak ditemukan dalam peristilahan Islam. Bahkan kata “Islam” sendiri bagi sebagian orang berkonotasi teror.
Tiap konsep memiliki sejarah tersendiri sehingga dianggap menjadi penting artinya di masa depan. Apa yang dipersepsikan seseorang tentang sebuah konsep akan sangat tergantung pada sejarah pembentukan konsep tersebut agar bermakna sesuatu bagi seseorang, apakah itu positif atapun negatif. Islam, sebagaimana dikatakan Karen Amstrong, menjadi entitas yang dibenci di masyarakat Barat karena sejarah panjang konflik Islam – Barat di masa lalu (Perang Salib), yang melahirkan berbagai streotatif yang menakutkan tentang Islam. Apalagi di beberapa negara Islam menggunakan bendera yang bergambarkan pedang, sehingga Islam pun dikonotasikan sebagai agama ‘pedang’ atau agama kekerasan. Begitupun juga dengan kata “madrasah” ini. Dan peristiwa 911 atau serangan kelompok “teroris” (setidaknya menurut AS dan sekutu-sekutunya yang lain) adalah momentum dimana kata “madrasah” ini lahir menjadi sebuah konsep yang tak kalah menakutkannya dengan konsep “Islam” dan “teroris” itu sendiri.
Dalam pandangan Barat “madrasah” adalah tempat penggemblengan atau “kawah candradimuka” para “mujahid” yang banyak menyerang kepentingan Barat di seluruh dunia, bahkan di negara-negara Islam sendiri. Tentara Taliban di Afghanistan adalah alumni-alumni madrasah yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, baik yang berada di Afghanistan sendiri, maupun di negara tetangganya, Pakistan. Untuk Pakistan saja, menurut penelitian Bank Dunia, hingga 2001 tercatat sekitar duapuluh ribu madrasah dibangun di negara ini dengan siswa mencapai dua juta siswa. Kurikulum yang diajarkan berbasiskan Islam. Seorang wartawan yang berbasis di Lahore Pakitan, Ahmed Rashid, memperkirakan bahwa lebih dari delapan puluh ribu siswa madrasah siswa ini menjadi prajurit Taliban. Memang tak semua madrasah ini menjadi tempat penggodokan ekstremisme, namun Bank Dunia menyimpulkan bahwa 15 hingga 20% siswa madrasah menerima latihan militer, disertai kurikulum yang menekankan jihad serta kebencian terhadap orang Barat dengan mengorbankan materi-materi seperti seperti matematika, ilmu pengetahuan alam dan sastra.
Menurut Rashid, umumnya murid-murid dari madrasah ini adalah mereka yang “tak memiliki akar dan gelisah, pengangguran serta serba kekurangan dan sangat sedikit bahkan sama sekali tak memiliki pengetahuan umum”. Mereka menyukai perang karena perang adalah satu-satunya lapangan pekerjaan yang sesuai untuk mereka. Kepercayaan mereka yang sederhana terhadap suatu bentuk Islam puritan dan fanatik yang dijejalkan pada mereka oleh mullah-mullah desa sederhana adalah satu-satunya keyakinan yang mereka pegang dan memberi sedikit makna dalam hidup mereka.
Madrasah yang paling terkenal dan memiliki tiga ribu murid adalah Madrasah Darul Ulum Haqqania di Kota Attock dekat Pashwar, Pakistan, yang mendapat julukan “Universitas Jihad” karena lulusannya mencakup pemimpin tertinggi Taliban, seorang ulama misterius bermata satu, Mullah Omar, dan sebagian besar pemimpin puncaknya.
Lalu darimana biaya pembangunan puluhan ribu madrasah ini? Dalam laporan perjalanannya, Greg Mortenson, seorang pendaki gunung yang beralih menjadi aktivis pendidikan di Pakistan, di bukunya “Three Cups of Tea” (2007), menyebutkan bahwa semua pembiayaan ini aliran dananya berasal dari kaum Wahabisme dari Saudi Arabia.
Wahabisme adalah cabang konservatif dan fundamentalis dari Islam Sunni serta merupakan agama negara resmi para pengusaha Saudi Arabia. Banyak orang Saudi penganut aliran ini menganggap istilah itu berbau penghinaan, dan lebih suka menyebut diri mereka Al-Muwahiddun atau “Penganut monotheisme”. Akan tetapi di Pakistan dan di negara-negara miskin lain tempat pengaruh Wahabi cukup terasa, sebutan “Wahabi” itu sudah terlanjur melekat. Pengaruh Wahabisme yang bahkan ikut merekrut para “mujahid” dari kalangan Syiah juga sebuah fenomena sendiri, mengingat kedua mahzab ini, Sunni dan Syiah adalah dua entitas yang sulit dipertemukan.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan dengan nama `Abd al-Wahhab yaitu bapak dan pengagasnya, al-Syaikh Muhammad bin `Abd al-Wahhab al-Najdi. Ia tidak dinamakan al-Muhammadiyyah yang mungkin boleh dikaitkan dengan nama Muhammad bin `Abd al-Wahhab bertujuan untuk menggalakkan persamaan di antara para pengikut Nabi Muhammad (s.`a.w) dengan mereka, dan juga bertujuan untuk menghalang berbagai bentuk eksploitasi (istighlal). Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah.
Muhammad bin `Abd al-Wahhab, sebagai pendiri ajaran ini, dilahirkan di perkampungan `Uyainah, salah satu kampung di Najd di bagian selatan pada tahun 1115H/1703M. Bapaknya, `Abd al-Wahhab merupakan seorang Qadhi. Muhammad dikatakan pernah mempelajari bidang fiqh al-Hanbali dengan bapaknya, yang juga adalah salah seorang tokoh ulama al-Hanabilah. Semenjak kecil, dia mempunyai hubungan yang erat dengan pengkajian dan pembelajaran kitab-kitab tafsir, hadits dan akidah.
Pada bulan Desember 2000, koran Saudi, Ain Al Yaqeen, melaporkan bahwa satu dari empat organisasi utama penyebar ajaran Wahabi yaitu yayasan Al-Haramain, telah membangun 1.100 mesjid, sekolah dan Islamic Center di sejumlah negara Islam dan membayar gaji tiga ribu orang pendakwah di tahun sebelumnya.
Ain Al Yaqeen juga melaporkan bahwa yang paling aktif di antara keempat group tersebut, International Islamic Relief Orghanization (Organisasi Bantuan Islam Internasional) yang dituding oleh Komisi 11/9 sebagai organisasi pendukung Taliban dan Al-Qaeda, dalam periode yang sama telah menyelesaikan pembangunan tiga ribu delapan ratus mesjid, menghabiskan 45 juta dollar untuk “pendidikan Islam” dan memperkerjakan enam ribu guru, yang kebanyakan dari Pakistan.
Berbagai aksi kekerasan pengeboman di Indonesia pun disinyalir dibiayai oleh para pendukung Wahabisme ini, yang menurut salah seorang ustadz yang pernah saya tanyai, memang membenarkan cara-cara kekerasan dalam pencapaian tujuan-tujuan perjuangannya, yaitu menciptakan sebuah kepemimpinan Islam secara global dan menolak segala bentuk imperialisme kaum kafir (Barat), yang dibingkai dalam konsep “Jihad”.
Dengan latar sejarah seperti inilah “madrasah” kemudian mengalami degradasi makna dari sesuatu yang bersifat mulia, yaitu sekolah, tempat dimana proses pemanusiaan manusia dilakukan, menjadi sebuah “teror” bagi kemanusiaan itu sendiri, dan semua itu karena mimpi-mimpi para penganut Wahabisme yang menjadikan madrasah sebagai tempat rekruitmen para ‘mujahid’ yang menjadi pionir mereka dalam menyampaikan ‘pesannya’ melalui berbagai aksi teror di seluruh penjuru dunia.
Berbeda dengan madrasah di negara-negara Islam lainnya, madrasah di Indonesia, meski tetap mengedepankan pendidikan Islam dan akhlak, juga tetap mengajarkan pendidikan-pendidikan umum dan mengajarkan pendidikan Islam secara moderat dengan kurikulum yang berada dalam kendali pemerintah (Departemen Agama). Maka hampir bisa dipastikan madrasah di Indonesia adalah tak ubahnya sekolah-sekolah umumnya lainnya, bukan sesuatu yang harus ditakuti dan distreotatif-kan dengan konsep kekerasan seperti selama ini ada di benak masyarakat Barat.
Jika wadah penggemblengan para aktivis ekstremis ini di negara-negara Timur Tengah dituding berada di madrasah, maka di Indonesia tudingan ini justru dialamatkan ke pesantren-pesantren.
Kita di Indonesia pun kini berupaya mendegradasikan makna “pesantren” menjadi sebuah makna “teror”. Kita seakan melupakan sejarah betapa pentingnya keberadaan pesantren dalam proses kemerdekaan bangsa ini. Konsepsi kita akan sesuatu pun hanya berkiblat akan apa yang ‘orang lain’ katakan. Kita tidak memiliki diri, pikiran dan tindakan kita sendiri.
Pesantren-pesantren dicurigai, diawasi, dan segera dikonotasikan sebagai tempat rekruitmen para teroris secara generalisasi, tanpa melihat kenyataan bahwa para pelaku tersebut semata hanya ‘keluaran’ dari pesantren tersebut, dimana segala tindakannya tak terkait sama sekali dengan faham keagamaan dari pesantren itu sendiri. Kita telah terlanjur mengeneralisasi.
Masyarakat kita pun tak ubahnya seperti itu adanya. Jika melihat orang yang berjanggut dan bersorban maka dengan secara berbisik-bisik kita langsung menuding ke orang tersebut sebagai ‘teroris’, meskipun mungkin hanya bersifat candaan. Kita tak pernah sadar bahwa apa yang kita katakan, pikirkan dan rasakan dalam hati sebenarnya bukan lagi perkataan, pikiran dan perasaan kita sendiri, tapi sudah menjadi milik orang lain. Milik mereka yang memaksakan pemahaman itu pada kita. Milik Barat, milik media, milik pemerintah ataupun siapapun dia. Dengan kondisi ini masihkah kita menjadi pribadi yang bebas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar