Sabtu, 07 Mei 2011

Pengadilan

OLEH WAHYU CHANDRA

Pengadilan besar-besaran akhirnya digelar. Di sebuah lapangan yang sangat luas, dimana jutaan orang berdesak-desakkan ingin menyaksikan peristiwa itu.

“Inilah peristiwa paling spektakuler sepanjang sejarah peradaban bangsa kita…” komentar seorang reporter televisi nasional yang ikut meliput.

Hakim memanggil saksi korban pertama. Seorang wanita usia tiga puluhan.

“Apa betul kamu diperkosa?” tanya Pak Hakim.

“Kalau tidak untuk apa saya berada disini, Pak Hakim!” terdengar gemuruh tawa dari orang-orang yang mengikuti persidangan itu. Hakim coba menenangkan: “Harap saudara-saudara menghormati sidang yang mulia ini.”

“Ya Pak Hakiiiiim!” koor serempak dari orang-orang itu.

“Lanjut. Kamu masih mengenali pelakunya?” tanya Hakim lagi sambil menunjuk ke kursi terdakwa yang berderet hingga ribuan orang. Dari strep merah hingga bintang gemintang.

“Ya Pak Hakim. Sangat mengenali. Bahkan kenal bau badannya, merek celana dalam yang dipakai, hingga ukuran anunya.” Kembali terdengar gemuruh tawa. Namun kembali reda melihat Hakim memelototkan mata.

“Bisakah Saudari menceritakan kronologis kejadian secara detail?” Lalu wanita itu bercerita :

“Suatu malam, tidak seperti malam-malam sebelumnya kami tidur lebih dini. Pintu-pintu dan semua jendela ditutup rapat. Lampu-lampu dipadamkan. Memang tiap malam ketika itu serdadu melakukan patroli jalan dan kadang menggeledah di tiap rumah. Mereka mencari orang-orang yang katanya telah mengganggu stabilitas negara. Pemberontakan. Pengacau. GPK. Kami tak punya urusan dengan semua itu, karena kami hanya petani biasa. Rakyat jelata yang tak tahu apa-apa. Makan saja susah apalagi memikirkan hal yang tidak-tidak. Kami dengar dari tetangga bahwa serdadu akan datang menggeledah tiap rumah. Mencari seseorang atau senjata. Kami tak tahu apa-apa. Tapi kami takut karena para serdadu itu biasanya berlaku kasar. Suka berkata jorok dan bahkan memukul untuk sesuatu yang belum jelas. Makanya kami tutup semua pintu, jendela dan mematikan penerangan lebih dini.”

Sesaat wanita itu berhenti. Sekedar mengambil nafas.

“Tiba-tiba ada yang menggedor-gedor pintu. Merekalah yang datang, pikir kami saat itu dan memang benar. Suami saya membukakan pintu dan saya menyalakan lampu. Saya mendengar mereka mengintrogasi suami saya. Tanya macam-macam yang sepenuhnya tidak saya tahu. Lalu mereka memaksa masuk sambil mendorong, walau suami saya mencoba meyakinkan bahwa ia tidak punya sesuatu yan mereka cari. Senjata. Saya dengar mereka bilang senjata. Mereka malah semakin kasar. Mengobrak-abrik tiap jengkal rumah, kolong ranjang, tempat penyimpanan beras, lemari pakaian hingga dapur. Dan mereka tidak menemukan apa-apa karena kami memang tidak punya apa-apa yang mereka cari. Mereka tetap tidak percaya dan memaksa suami saya mengaku. Salah sorang dari mereka mendekati saya dan menatap tajam. Saya pun mulai khawatir saat itu. Saya melihat sesuatu yang lain dari tatapannya. Suatu yang tidak bisa saya bayangkan. Suatu yang mengerikan…… ”

Wanita itu kembali diam. Ia mencoba mengendalikan emosinya yang tiba-tiba memuncak. Ia terisak.

“Lalu?” Hakim tampaknya tak sabar.

“Orang itu berbisik pada temannya yang satu. Lalu temannya itu membawa suami saya keluar dengan todongan pistol atau pisau. Saya tidak melihat jelas. Kemudian orang yang satunya menarik kain yang saya pakai sebagai penutup tubuh. Saya memang hanya memakai sarung, sekedar menutupi tubuh karena sudah beranjak tidur. Ia menariknya dengan paksa. Saya berusaha meronta tapi tak berguna sama sekali. Ia mengancam akan membunuh suami dan anak-anak saya bila menolak memenuhi keinginannya. Dan semuanya terjadi…” wanita itu lalu menangis tersungut-sungut. Bayangan suram tiba-tiba muncul di pelupuk matanya membawa keperihatinan yang tak tertahankan. Dan tiba-tiba wanita itu berdiri.

“Beginilah kita memperlakukan Pak Hakim!” wanita itu membuka pakaiannya satu-persatu mencoba memperagakan apa yang ia alami di malam jahanam itu.

“Cukup! Cukup!” teriak Hakim yang tak tahan menyaksikan pemandangan yang indah di depannya.

“Maaf Pak Hakim. Saya tak bisa menahan diri. Saya hanya mencoba meyakinkan bahwa ini tidak main-main. Saya tidak bohong. Tidak mengada-ada.” Wanita itu merapikan kembali pakaiannya. Sementara terdengar lenguhan kecewa orang-orang yang ternyata terpengaruh dengan apa yang baru saja terjadi.

Lalu diajukanlah saksi korban selanjutnya. Seorang gadis kecil belasan tahun. Ia tidak sekolah. Tak mau sekolah lagi semenjak peristiwa yang menimpa bapaknya.

“Suatu hari ketika bapak lagi membuatkan mainan untukku tiba-tiba beberapa orang mendekatinya dan membentak-bentak. Mereka pun memukul bapak, lalu membawanya pergi entah kemana. Aku hanya bisa menangis waktu itu. Aku takut sekali. Aku tak pernah tahu mengapa mereka memukul bapak dan membawanya pergi. Dan hingga hari ini belum kembali. Aku dengar waktu itu, mereka bilang bapak GPK. Apa sih GPK itu Pak Hakim?”

Begitulah selanjutnya. Saksi demi saksi dihadirkan. Wanita-wanita diperkosa. Anak-anak yang kehilangan ayah dan ibunya. Istri-istri yang kehilangan suaminya. Suami-suami yang kehilangan istrinya. Orang tua yang kehilangan anak-anaknya. Orang-orang yang teraniaya di depan anak istrinya hingga cacat seumur hidup. Jumlahnya ribuan orang, melebihi apa yang tertulis di koran-koran. Mereka antri menunggu giliran.

Persidangan berlangsung hingga bertahun-tahun. Lapangan pun mulai digenangi air mata orang-orang pesakitan itu. Genangannya hingga lutut. Para terdakwa sepertinya pasrah saja mengikuti persidangan itu. Mereka seperti tak terbebani apa-apa. Adakah yang mereka tahu yang orang lain tidak tahu? Ada yang sedang bercanda satu sama lain. Main kartu. Masturbasi. Menerima telepon dari relasi bisnis, keluarga, pacar atau siapa saja. Ada yang main tebak-tebakan. Ada yang saling pijit bergantian. Ada yang saling berbagi pengalaman operasi-operasi militer yang pernah mereka lakukan. Penculikan-penculikan aktivis. Pengaburan fakta-fakta. Semuanya terlihat tanpa beban apa pun.

Pengadilan tetap berlangsung hingga tak ada lagi yang tersisa. Jaksa penuntut mengusulkan agar korban-korban yang sudah mati juga dihadirkan untuk mendapatkan keterangan yang lebih akurat. Hakim menyetujui setelah ada desakan dari lautan massa yang beryel-yel.

Lalu diadakan penggalian kuburan korban satu. Satu-persatu korban tiba-tiba bangkit dari kuburan mereka dan berjalan seperti zombie2 menuju pengadilan. Jumlah mereka melebihi perkiraan orang-orang selama ini. Ada yang datang dengan luka memar di sekujur tubuhnya hingga susah dikenali lagi. Ada yang penuh lubang peluru di dadanya. Perut. Kepala. Ada yang kehilangan telinga sebelah atau kedua-duanya. Ada yang tangannya terpotong. Ada yang matanya tercungkil. Ada wanita yang datang dengan telanjang dan berjalan sempoyongan. Semuanya datang dengan tatapan kosong. Bahkan ada pula anak kecil yang masih terus menangis karena tak berjari lagi. Mereka berderet rapi menuju pengadilan itu. Tak ada yang memperlihatkan wajah keceriaan. Semuanya menangis menyesali sesuatu dan penuh dendam.

Satu-persatu pun korban dimintai kesaksiannya:

“Saya sedang bersama istri dan anak-anak ketika suatu malam beberapa orang menjemput. Katanya harus menghadap kepala desa malam itu. Mereka tidak menjelaskan alasannya. Saya diangkut dengan menggunakan sebuah truk yang didalamnya disesaki orang-orang yang sebagian besar saya kenal. Mereka diam saja tak berani bicara, lalu truk berbelok ke arah berlawanan dari arah sebenarnya. Saya pun mulai curiga. Ketika mencoba bertanya malah dibentak dan dipukuli. Truk itu setelah melewati jalanan yang tak rata berhenti di sebuah tempat daerah perbukitan. Di tempat itu ada sebuah rumoh geudong3. saya pernah dengar dari orang-orang desa kalau tempat itu adalah pos tentara yang banyak berkeliaran di desa kami. Saya tahu kalau mereka sedang dalam operasi mencari orang-orang yang selama ini dianggap pengacau negara. Saya memang pernah diajak bergabung oleh orang-orang itu. Tapi saya menolak karena saya pikir tak ada gunanya. Lagi pula kami ini hanya orang kecil, untuk apa mikir yang tidak-tidak.

“Kami pun ditanya macam-macam di dalam rumoh geudong itu. Kami disuruh mengaku sesuatu yang tak pernah kami lakukan. GPK. Saya bilang tidak. Dan mereka pun menjadi kalap karenanya. Saya pun dihajar habis-habisan hingga berdarah dan pingsan. Setelah siuman dihajar lagi. Tidak diberi makanan dan minuman. Bahkan disuruh minum air kencing sendiri. Kemudian dipaksa mengaku menyimpan AK 474. mereka tanya dari mana senjata itu? Siapa pemasoknya? Dimana biasa disimpan? Saya bingung harus jawab apa karena memang tak tahu apa-apa. Mungkin mereka putus asa karena tak berhasil mengorek apa-apa hingga akhirnya salah seorang mengarahkan senjatanya ke tubuh saya. Lalu terdengar tembakan beberapa kali. Setelah itu gelap….”

Lalu :

“Hari itu saya di bawah sebuah bukit. Kami menyebutnya Bukit Tengkorak5. Saya tidak sendiri saat itu, tapi ada beberapa orang. Belasan. Lalu satu persatu kami dihabisi di tempat itu. Sebelumnya saya melihat puluhan orang telah dikubur di sebuah lubang yang sangat besar. Cukup untuk seratus orang. Dan saya sadar akan menuju ke sana akhirnya dan memang benar… ”

Pengadilan itu pun berlangsung lebih lama lagi. Hingga semuanya memberi kesaksian. Lalu pengadilan diskors sampai waktu yang tidak ditentukan. Untuk mempelajari kesaksian yang ada. Termasuk pembelaan dari para terdakwa.

Ini adalah masalah nurani. Pak Hakim menyadari itu. Ia sadar banyak hal yang bisa menghalangi dan mempengaruhi keputusannya. Ia tahu. Bukankah selama ini kebenaran senantiasa tertutupi oleh kekuasaan? Bukankah selama ini pengadilan hanyalah alat legitimasi kekuasaan belaka? Bukankah selama ini hati nurani tak pernah punya tempat bersemayam di negeri ini? Ia sadar pernah menjadi begian semua ini dan kini ia mencoba berbuat sesuatu sekedar membayar semua utang masa lalunya kepada rakyat yang terkalahkan selama ini oleh keputusan-keputusannya. Ia sudah tua dan sebentar lagi pensiun.

Berbagai komentar pun bermunculan dari berbagai kalangan di media massa yang tak henti-hentinya memberitakan.

“Waktu pemanggilan pasukan inti, kami tidak meminta pasukan yang jelek, tapi pasukan yang bagus dan memahami sebagai abdi masyarakat. Bagian dari masyarakat. Dan melindungi masyarakat. Bukan pasukan yang malah merampok, membunuh dan memperkosa …” komentar pejabat setempat. Ia seorang wakil rakyat.

“Ini kesalahan prosedur …” bahasa klasik seorang petinggi militer.

“Wah ini sih oknum yang melakukan. Tidak semua seperti yang dituduhkan. Semestinya oknum inilah yang dicari, jangan malah disamaratakan!”

“Pasukan itu salah mengartikan perintah komandannya. Tidak ada perintah pembantaian, perampokan dan pemerkosaan. Yang bener aja!”

“Mereka sebenarnya hanya mencoba menjalankan tugas dengan baik, Cuma dalam pelaksanaanya terjadi penyimpangan. Mereka terbawa emosi, maklum saja dalam kondisi seperti itu segala sesuatu bisa terjadi pada mereka dan saya pikir mereka hanya coba untuk survive.”

“Mereka terlalu berlebihan dalam menjalankan tugas. Masyarakat yang awalnya merasa terlindungi akhirnya ketakutan setengah mati. Masyarakat yang sebenarnya menolak ajakan sparatis itu akhirnya berbalik haluan. Mereka sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan pada hukum yang ada.”

Komentar-komentar muncul tanpa henti. Masyarakat awam pun ikut-ikutan mengomentari seperti layaknya tokoh-tokoh politik. Walau mungkin mereka tidak tahu masalah yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya menerka-neraka.

Sementara itu Hakim masih bergelut dengan pertentangan batinnya. Malam sebelum pengadilan dilanjutkan untuk pengambilan keputusan akhir, ia duduk di kursi goyang di tepi kolam renang rumahnya yang mewah. Pikirannnya liar kemana-mana melintas batas masa lalunya dengan kehidupannya yang sekarang. Cuplikan-cuplikan wajah yang telah ia rampas kehidupannya bermunculan satu-persatu dengan ekspresi penuh derita dan pengharapan.

Telepon terus berdering.

“Hallo? Bapak? Lagi keluar. Pak Menteri? Akan saya sampaikan Pak?” Pembantunya yang mengangkat telepon.

“Masalah keselamatan negara? Wah saya tidak tahu masalah itu Pak. Beliau sedang tidak ada di tempat. Tak bisa dihubungi …”

Malam semakin larut. Langit cerah. Bintang-bintang berkelip membentuk untaian yang indah. Bulan perlahan tersenyum muncul dari balik awan yang melintang membelah. Cahayanya membias indah mendamaikan hati. Adakah negeri kedamaian di sana? Negeri kebenaran tanpa penindasan dan kesewenang-wenangan?

Hakim menatap bulan itu. Tersenyum. Adakah ia telah menemukan negeri itu? Negeri yang ingin segera ditujunya mengendarai pelangi menembus langit melintas waktu dalam nyanyian.

Hakim larut dalam angan-angannya hingga tidak menyadari beberapa bayangan hitam berkelabat disekelilingnya dengan pistol tergenggam ditangan.***

Makassar Desember 1999 – Januari 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar