Minggu, 24 Juli 2011

Sang Malaikat Maut (15)



oleh wahyu chandra


Maya Calisa tak percaya bahwa ia kini harus bertemu dengan Coki secara sembunyi-sembunyi sebagaimana pertemuan mereka di kafe itu. Ia meyakinkan dirinya bahwa itu harus dilakukannya agar persoalannya tidak akan diketahui oleh keluarganya. Ia sudah bertekad hidup secara mandiri setelah mendapatkan pekerjaan, yang berarti bahwa setiap bagian dari hidupnya kini menjadi tanggungjawabnya sendiri, selama ia masih dapat menanggungnya. Alasan lain adalah sebagaimana yang disarankan oleh seorang temannya bahwa jika berhadapan dengan seorang debt collector sebaiknya jangan di rumah. Pilihlah tempat-tempat lain, bisa di kafe ataupun di tempat lain.

Ia harus tetap bertemu dengan debt collector itu untuk menuntaskan perjanjian mereka sebelumnya. Ia masih ingat Coki, debt collector itu, memintanya untuk menyelesaikan masalah mereka secara pribadi, tidak melalui kantor. Ia tidak punya kecurigaan sedikit pun akan hal itu dan yakin bahwa orang itu memang berniat membantunya secara tulus. Dalam interaksi mereka yang singkat, setidaknya Maya sudah punya sedikit pandangan tersendiri yang bersifat positif akan lelaki itu, dan ia berharap memang seperti itulah adanya.

Mereka bertemu kembali di kafe itu, bahkan di meja yang sama. Ia terlebih dahulu tiba dan memesan segelas jus jeruk, dan selang sepuluh menit kemudian, lelaki itu sudah duduk di depannya.

“Aku benar-banar minta maaf atas semua ini, Pak. Benar-benar merepotkan. Dan aku harap Bapak juga mengerti kenapa aku memilih tempat ini dibanding di rumah.”

Coki menjawabnya dengan anggukan ramah sambil tersenyum. “Jika aku jadi kamu, pasti juga akan melakukan hal yang sama.”

Maya segera mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah amplop tebal, yang berisi uang dua bulan cicilan yang tertunda sebagaimana yang disepakati sebelumnya. Coki tidak segera menerima amplop itu. Ia malah memesan segelas jus jeruk, dan itu membuat Maya tersipu malu. “Aduh, maaf, Pak. Aku malah tidak menawarkan minuman terlebih dahulu.”

“Tidak apa-apa. Atau mau pesan makan? Kali ini aku yang traktir.”

Maya awalnya menolak secara halus, tetapi kemudian tidak berdaya dengan desakan Coki yang bertubi-tubi.

“Begini loh, Pak..”

“Panggil saja namaku langsung, Coki. Terdengar ketuaan jika kamu terus memanggil ‘Pak’,” potong Coki sambil tersenyum ringkih.

“Oh, ya begini loh…Cok…atau aku panggil abang saja ya, supaya aku juga tidak merasa risih…”

Coki mengangguk.

“…aku sudah punya dua bulan uang cicilan sebagaimana kita sepakati dulu. Untuk selanjutnya, kalau bisa diselesaikan bulan depan, sebagaimana abang usulkan waktu itu…” kalimatnya menggantung seperti meminta penegasan dari Coki.

Coki mengangguk, tapi kemudian berkata. “Aku sebenarnya sudah bicara dengan atasan di kantor, dan maaf kalau aku harus menceritakan kejadian yang menimpamu agar mereka mengerti dan memberi sedikit kelonggaran…” kini giliran kalimat Coki yang menggantung, tapi kemudian lanjutnya:

“Kabar baiknya, mereka benar-benar mengerti. Dan lebih bagus lagi bahwa kamu tidak harus membayar dobel untuk bulan ini atau bulan kapan pun. Kamu cukup bayar untuk bulan ini, dan begitu pun untuk bulan depan dan begitu untuk bulan-bulan selanjutnya.”

Maya terlihat bingung, “Maksud Abang, aku dibebaskan dari tagihan tiga bulan itu?”

Coki mengangguk sambil mengambil tiga lembar kuitansi dari dalam tasnya, kuitansi yang berstempel lunas.

“Tapi…bagaimana bisa…??” Maya sepertinya masih tidak yakin.

“Ini sebuah pengecualian. Anggaplah kamu sedang beruntung. Tidak sering kantor kami melakukannya dan kami harap Maya cukup bijak untuk tidak menceritakan hal ini pada orang lain. Dan yang pasti kebijakan ini hanya berlaku sekali untuk Maya.”

Maya yang masih kebingungan akhirnya tersenyum lebar. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Ia teringat perjuangannya untuk mencari uang tambahan itu. Uang tabungannya memang sudah terkuras habis sejak bulan lalu, ditambah ibunya yang sakit. Ia harus memaksakan diri meminjam dari sepupunya, yang sebenarnya enggan dilakukannya jika dalam situasi yang berbeda.

“Bagaimana abang melakukannya?”

“Melakukan apa?”

“Bagaimana abang meyakinkan atasan di kantor untuk keringanan ini. Aku benar-benar tidak tahu akan adanya hal seperti ini. Aku bahkan sudah berpikir untuk merelakan motor itu dalam sitaan kantor abang.”

Coki tertawa lebar. Ia sejenak seperti sedang memikiran apa yang akan dikatakannya, lalu katanya kemudian, “Seperti yang aku katakan tadi, aku ceritakan sedikit cerita yang kau ceritakan, tentunya dengan sedikit penambahan agar terdengar dramatis, dan sepertinya atasanku mau menerima penjelasanku dengan baik. Ini mungkin benar-benar nasib mujurku, karena biasanya tak seorang mau mendengar dan percaya dengan apa yang aku katakan.”

Keduanya tertawa penuh keakraban.

“Ini juga nasib baikku,” kata Maya kemudian, “dan tentunya takkkan terjadi tanpa pertolongan abang. Dan terima kasih, bang atas bantuan dan pengertiannya selama ini.”

Coki hanya menjawabnya dengan senyum penuh kepuasan. Ia berharap melakukan hal yang benar kali ini. Bertahun-tahun hidup dalam segala intrik-intrik kebohongan demi menjatuhkan musuh-musuhnya membuatnya sempat menjauh dari hal-hal baik. Kepada istrinya dulu mungkin ia tidak pernah berbohong, tapi ketika berhadapan dengan dunia luar maka segala cara pun ia akan lakukan demi mencapai tujuan-tujuannya.

Maya memang telah menarik perhatiannya sejak pertemuan pertama mereka. Ia tidak bisa mendefinisikan perasaannya, namun selalu muncul keinginan baik dalam dirinya untuk berbuat sesuatu untuk wanita itu ketika dihadapkan pada masalah yang sebenarnya hanya karena kecerobohannya. Semua hal yang diceritakannya pada wanita itu tentu saja hanya akal-akalannya. Ia tidak pernah berbicara dengan atasannya perihal masalah itu sebagaimana yang dikatakannya pada Maya. Ia sendirilah yang telah melunasi tagihan-tagihan itu. Ia tahu bagaimana perjuangan wanita itu mencapai kemandiriannya dan ia ingin apa yang dilakukannya pada wanita itu adalah sebuah hadiah dari kegigihan itu.

“Mungkin sebaiknya akulah yang harus mentarktir abang,” ujar Maya akhirnya, tapi Coki tetap bersikeras. Begitu pun Maya. Coki memberi solusi terbaiknya, “Anggaplah kamu berutang traktiran padaku, yang suatu saat pasti akan kutagih. Lebih baik uang itu kamu simpan untuk kepentingan yang jauh lebih penting.” Dan itu membuat Maya mengalah dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka terlihat lebih akrab kini, tanpa ada rasa canggung lagi di antara keduanya. Tak ada yang tahu apa yang sedang terjadi pada mereka berdua. Satu hal yang pasti, mereka adalah dua orang dengan pencarian yang berbeda. Dan bila memungkinkan takdir mungkin kelak akan mempertemukan mereka dalam situasi yang lain.



Inspektur Alex semakin yakin dengan asumsinya tentang kematian pengusaha Hongkong itu, bahwa itu adalah salah satu karya si Malaikat Maut. Ia teringat peringatan agen FBI sesaat briefing mereka berakhir pada hari itu bahwa kau takkan pernah tahu keberadaan si Malaikat Maut kecuali ia memang menghendakinya. Apakah Malaikat Maut sengaja menyisakan sedikit jejak agar seorang penyelidik yang paling ahli kelak akan menemukannya? Kalau memang ia, untuk apa ia melakukannya?

Meskipun ia telah punya asumsi tentang jejak Malaikat Maut pada kematian pengusaha Hongkong itu, pertanyaannya kemudian bagaimana melacak jejak itu. Tak ada remah roti ataupun sobekan kain yang bisa memberinya tuntunan menelusuri jejak itu lebih jauh. Jejak itu berakhir pada sebuah tembok yang tak ada celah sedikit pun untuk melaluinya. Ia harus mencari petunjuk lain, jejak-jejak lain yang bisa ditelusurinya. Satu-satunya harapan yang dimilikinya adalah pada wanita selebriti itu atau ia harus menunggu kematian-kematian dari korban berpotensi lainnya.

“Apakah kita punya akses pada otopsi wanita itu?” tanya Inspektur Alex dengan sedikit putus asa sambil menunjuk ke tumpukan klipingan di atas meja.

AKP Ibrahim menggeleng, “Seingat saya, keluarganya tidak mengizinkan adanya otopsi. Dan memang jika melihat kebiasaan buruk wanita itu dalam mengkonsumsi obat, kesimpulan bahwa ia mati karena OD sepertinya sudah tepat.”

“Bukan itu yang kumaksud, Bram,” ujar Inspektur Alex dengan senyum yang terlihat licik.

“No, no, jangan lagi, Lex. Kau sudah cukup memberiku masalah dengan kasus terakhir yang kau minta aku melakukan hal yang sama. Seminggu lamanya komandan tak mengacuhkanku karena gencarnya pemberitaan media yang menuding kita tak bermoral. Dan itu hanya karena kecurigaan dan analisa gilamu yang entah kenapa aku mengiyakannya. Kau cukup beruntung karena aku tak pernah menyebut namamu terlibat dalam ide gila itu.” Belum apa-apa AKP Ibrahim sudah menolak mentah-mentah permintaan Inspektur Alex akan otopsi atas jasad yang sudah hampir setahun terkubur. Sebuah alat canggih dari forensik akan mampu mengidentifikasi penyebab kematian yang sudah bertahun-tahun dengan melihat keberadaan unsur asing pada mayat yang sudah lama terkubur. Teknik ini biasanya dilakukan pada kematian yang disebabkan oleh racun, baik disengaja ataupun tidak diinjekkan pada tubuh si korban.

Inspektur Alex tertawa cekikikan dan itu membuat AKP Ibrahim menjadi sedikit jengkel, “Kau sebenarnya tidak mencoba menyelamatkan diriku ketika itu, Bram. Tepatnya kau hanya menyelamatkan reputasimu sendiri, betapa seorang penyidik senior yang sudah sangat terlatih ternyata bekerja bukan karena idenya sendiri. Sudahlah, Bram, kita semua tahu akan hal itu.”

AKP Ibrahim hanya tersenyum ringkih, tak menyangka ditelanjangi seperti itu.

“Lagi pula aku sebenarnya tidak meminta saranmu. Ini perintah,” ujar Inspektur Alex sambil mengibas-ibaskan secarik kertas sakti bertandatangan Ka Bareskrim itu di depan AKP Ibrahim, dan sungguh, raut wajah Inspektur Ibrahim menjadi merah karenanya. Inspektur Alex tertawa penuh kemenangan. Inspektur Ibrahim mau tidak mau harus tersenyum meskipun sesaat merasa dipermalukan oleh sikap temannya itu.

AKP Ibrahim dengan perasaan terpukul kemudian mengambil handpone-nya dan berbicara dengan seseorang dengan serius. Dalam beberapa menit ia sudah kembali dengan sikap semula, meski masih terlihat raut kekalahan di wajahnya.

“Kamu tunggu di sini, aku harus menghadap komandan untuk menjelaskan hal ini.”

AKP Ibrahim kemudian beranjak meninggalkan ruangannya menuju ruangan komandannya. Dalam kondisi normal, surat itu akan diberikan secara berjenjang, dimana Ka Bareskrim Mabes akan bersurat resmi ke insitusi di bawahnya dan kemudian di tembuskan ke pihak yang terkait dengan isi surat itu. Surat penugasan yang dibawa langsung oleh si pemegang mandat adalah bersifat pengkhususan. Biasanya dilakukan agar si pemegang surat itu, si pemegang mandat, tidak lagi harus dipusingi oleh persoalan birokasi yang panjang dan berbelit-belit.

Dalam beberapa menit kemudian AKP Ibrahim sudah berada di ruangannya kembali. Kini wajahnya terlihat lebih lega dibanding sebelumnya.

“Kau berutang banyak padaku Lex atas semua ini. Ingat, ini kerja tim dan kau dengan surat sialanmu itu akan ikut bertanggungjawab atas semua implikasi dari semua ini. Bawahanku akan mengurus semuanya. Mudah-mudahan hari ini atau paling lambat besok sudah ada kabar baik untukmu.”

Inspektur Alex kembali tertawa kemenangan dengan sikap yang ditunjukkan temannya itu. Hubungan mereka memang sangat unik. Rivalitas yang lebih bersifat kelakar dibanding sebuah konflik persaingan. Mereka dulu senang bertaruh atas apapun. Namun semua orang juga tahu bagaimana persahabatan mereka yang tak pernah bisa terpisahkan oleh apapun.

“Tenang saja, Bram. Aku tetap akan menulis dalam catatanku betapa kau sangat berkontribusi dalam kasus ini, dan ini bukan lelucon. Aku sangat berharap kita akan sangat bekerjasama dalam kasus ini, baik sebagai teman maupun dalam kaitannya dengan tugas kita masing-masing.”

Mereka kemudian kembali larut dalam diskusi panjang tentang sejumlah persoalan yang dialami polisi belakangan ini. Suka tidak suka mereka harus menerima kenyataan betapa buruknya citra kepolisian di masyarakat selama ini. Masyarakat yang sedang berubah menuntut adanya peningkatan profesionalisme kepolisian. Dalam beberapa kasus, kepolisian tengah diterpa berbagai isu-isu miring dan bermuatan konspirasi. Kita memang tak pernah bisa berharap seluruh polisi adalah seorang yang berdedikasi tinggi dengan pekerjaannya dengan moralitas tinggi, ungkap seorang pakar kepolisian. Tantangan kerja yang berat, kadang harus mempertaruhkan nyawa, godaan kekuasaan dan uang yang datang setiap waktu adalah beberapa faktor yang memicu ketidakprofesionalan itu, sehingga melahirkan sikap pragmatisme bagi mereka. Begitulah antara lain pandangan publik atas para ‘penjaga batas’ ini.

Di tengah berbagai terpaan badai yang menderanya, institusi kepolisian pun mencoba terus mereformasi diri. Salah satunya adalah membuka diri terhadap berbagai kritikan dari masyarakat. Maka jangan heran jika kemudian lembaga-lembaga pemantau kepolisian banyak bermunculan di masyarakat. Institusi media pun banyak berkontribusi dalam pemantauan ini, meski pun terkadang antara media dan kepolisian terkadang terjadi benturan akibat pemaknaan hukum yang berbeda.

Media atau pers sebagai bagian dari demokrasi, sehingga disebut juga sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki sejumlah peran yang salah satunya adalah memberikan informasi kepada masyarakat atau dikenal sebagai peran informasi. Dalam menjalankan perannya ini pers terkadang harus berbenturan dengan kepentingan masyarakat secara lebih luas, dimana masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media kemudian melaporan media bersangkutan ke kepolisian dengan tuduhan ‘pencemaran nama baik’. Dalam KUHP aturan ini memang diatur secara jelas dan itulah yang menjadi acuan polisi selama ini. Di sisi lain media atau pers sendiri memiliki aturan tersendiri tentang delik pencemaran nama baik. Media pada dasarnya menyiapkan seperangkat aturan komplain atas pemberitaan mereka yang disebut sebagai ‘hak jawab’. Jika memang apa yang dituduhkan oleh media ini tidak terbukti, maka media bersangkutan diwajibkan menulis berita yang sama berisi ralat pemberitaan sebelumnya di halaman dan posisi yang sama dengan berita yang diralat tersebut.

Pada kenyataannya, terkadang masyarakat menolak jalur yang disediakan ini. Mereka lebih cenderung mempidanakan media yang bersangkutan dan polisi dalam hal ini, karena mereka pun punya payung hukum KUHP, juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mendukung upaya pemidanaan ini.

Di titik inilah konfrontasi antara media dan polisi kadang terjadi. Semua orang pada dasarnya berada di titik yang benar. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah sinergi antara berbagai pihak yang terkait dengan penegakan hukum itu. Selain itu adalah masalah kepastian akan hukum itu sendiri. Dan buntut dari semua itu adalah kebutuhan sebuah reformasi hukum secara menyeluruh hingga semua orang mendapatkan rasa keadilan dari penegakan hukum itu. Begitulah kira-kira penjelasan seorang pakar mengenai kebijakan mengenai konflik ini.

Di tengah diskusi mereka, ajudan AKP Ibrahim tiba-tiba datang dan membisikkan sesuatu padanya. Ia tampak serius menyimak dan sesekali mengangguk mengiyakan. Inspektur Alex hanya diam memandang mereka, sambil menunggu AKP Ibrahim menjelaskan sendiri apa yang sedang mereka perbincangkan.

“Kita punya dua kabar yang baru saja tiba. Baik dan buruk. Aku harus menjelaskan yang mana terlebih dahulu?” ujar AKP Ibrahim setelah ajudannya berlalu.

“Kabar buruknya?”

“Tak ada kontak sama sekali dengan suami wanita itu. Sudah berbulan-bulan ia menghilang dan tak ada seorang pun bisa menunjukkan keberadaannya, sehingga kita tak bisa meminta izin autopsi darinya.”

“Kabar baiknya?” kening Inspektur Alex berkerut penuh rasa ingin tahu.

“Keluarga wanita ini kemungkinan bisa memberi izin itu jika memang itu dianggap perlu, karena mereka pun tidak sepenuhnya percaya dengan kematian wanita ini. Permohonan izin akan segera kami sampaikan secara resmi jika memang kau menghendakinya demikian.”

Inspektur Alex sesaat terdiam. Walau bagaimana pun izin dari suami adalah sangat penting, apalagi jika autopsi itu tidak didasarkan pada dugaan dan bukti yang kuat. Namun dengan adanya sinyal dari keluarga besar wanita itu, keraguan itu bukanlah menjadi persoalan, meski di kemudian hari akan berimplikasi pada akan munculnya sikap saling curiga antara keluarga dan suami wanita itu. Pilihan harus segera diputuskan.

Inspektur Alex akhirnya mengangguk. Ia mencoba mencari win-win solution dari kondisi ini. Dengan melakukan autopsi maka jika pun tidak ditemukan hal-hal yang mencurigakan namun setidaknya akan menepis semua kecurigaan yang muncul. Setidaknya, keluarga wanita itu akan bernafas lega ketika mengetahui bahwa wanita itu memang meninggal sebagaimana yang dilaporkan selama ini.

“Pemeriksaan ini harus dilakukan secara tertutup dan hanya boleh dihadiri oleh sedikit orang, orang-orang kita, forensik dan wakil dari keluarga. Jangan sampai ini bocor ke media. Kita tak ingin membuat kehebohan dengan membiarkan publik berspekulasi jauh tentang hal ini. Ini baik untuk penyidikan ini dan baik pula bagi keluarga wanita itu.”

Setelah mendapatkan semua yang diinginkannya, Inspektur Alex pamit untuk kembali ke kantornya sendiri. Ia sudah berada di balik pintu ketika wajahnya kembali muncul di balik pintu, menyampaikan sesuatu yang terlupa, “Hasil forensik tidak boleh dibeberkan tanpa sepengetahuanku pada siapa pun. Ingat, Bram, kita satu tim dalam kasus ini. Kau tentu tahu yang kumaksud.”

AKP Ibrahim hanya tersenyum dan hampir saja tertawa cekikikan. Ia berpikir bahwa temannya itu memang terlalu banyak menonton film-film Hollywood.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar