Minggu, 06 Januari 2013

Banjir

- Cerita Wahyu Chandra -
 
 
Sumber foto: bisnis.jabar.com
Hujan deras masih mengguyur seluruh kota. Dari balik jendela kamar kulihat butiran-butiran air mengguyur deras membenamkan apa saja di permukaan. Sesekali terdengar suara petir menggemuruh, dan kilatan cahaya putih kemerahan membelah langit, menciutkan hati siapa saja yang sedang berada di jalanan.

Tiga hari. Hujan tak pernah berhenti dengan jeda yang panjang. Sungai-sungai, kanal-kanal, airnya mengalir melimpah ke dataran yang lebih tinggi.

”Dua orang anak hilang terbawa arus air akibat derasnya hujan tiga hari ini...,” terdengar berita di radio yang baru saja kunyalakan. Aku mengeraskan volume untuk menandingi suara gemuruh hujan.
Lalu kuputar chanel lain. Terdengar lagu Top Indonesia terkini dari sebuah radio swasta anak muda.

Peterpan, Samson, Radja, Ratu dan sederetan musisi muda pendatang baru lainnya.

Kuganti chanel, berita tentang kudeta yang gagal di Filipina. Beberapa petinggi militer dan anggota parlemen yang dianggap dalang rencana kudeta tersebut ditangkap. Fidel Ramos, mantan presiden yang dulunya pendukung utama Presiden Arroyo Maccapagal (dibaca Makkapagal) mengecam tindakan refresif Mrs Presiden, yang dianggap sebagai tak ubahnya diktator Marcos.

Kuganti Chanel. Wawancara dengan seorang anggota dewan dan pejabat pemerintah kota dengan topik ”Banjir 2006: Prospek dan Tantangannya”. Mirip judul tesis mahasiswa.

Si anggota dewan, pengusaha sukses yang memiliki beberapa perusahaan konstruksi, mengomentari banjir sebagai produk buruknya manajemen penataan kota selama ini. Tampaknya ia memposisikan diri sebagai oposan.

Panelis lain, seorang birokrat, seperti biasanya lebih banyak memaparkan program penanggulangan banjir yang berada dalam tanggung jawabnya. Lagi-lagi masalah anggaran yang dijadikan kambing hitam.

”Kami akan segera menanggulangi bencana banjir ini secepatnya,” ujarnya mengumbar janji.

Akan? kataku spontan, mirip desahan. Mungkin setelah seluruh kota tergenang baru akan ada tindakan penyelamatan. Posko-posko pengungsian dibentuk. Anggaran darurat pun dikucurkan. Tak pernah ada yang tahu berapa anggaran yang akan dihabiskan.

Aku memutar chanel lain. Wawancara tentang penanggulangan pendemi flu burung. Lagi-lagi anggaran yang menjadi masalah. ”Kami mengharap masyarakat tidak terlalu mempersoalkan dana pengganti, karena jumlahnya sangat sedikit. Kami mengharap pengertiannya..,” ungkap seorang pejabat pemerintah di daerah lain.

Puih, lalu anggaran yang telah disediakan mau dikemanakan? Itu sama saja jika pejabat itu berkata: ’Dari pada pusing-pusing memikirkan uang pengganti, lebih baik dana itu dimasukkan saja ke kantong kami. Hitung-hitung sebagai balas saja atas apa yang telah kami lakukan untuk menyelamatkan nyawa kalian’.

Lalu berita lain. Seorang anak berumur 8 tahun meringkuk di sel orang dewasa hanya karena mencoba membela diri dari gangguan temannya yang jauh lebih tua (menurut berita umurnya 14 tahun). Si hakim seorang ibu, berdalih penegakan hukum, memerintahkan penahanan si anak, yang tak pernah habis pikir bahwa sebuah upaya membela diri dianggap sebagai kejahatan. Sementara sang Ketua Pengadilan setempat sibuk membela diri dan menganggap kasus itu sebagai kasus biasa yang tidak perlu dibesar-besarkan.

”Ini biasa koq di pengadilan kami. Sudah banyak anak-anak lainnya yang kami adili seumur dengan dia dan selama ini tidak ada masalah,” katanya dengan gagah perkasa melawan opini publik.
Hujan masih saja terus merobek-robek keheningan malam. Kota dari kejauhan seperti sebuah kota mati. Jalanan yang tergenang hingga ke lutut. Petugas PLN sibuk menerima laporan gangguan korslet listrik dimana-mana.

Radio masih kunyalakan. Kali ini laporan pandangan mata tentang suasana kota:
”Hampir seluruh ruas jalan utama kini telah tergenang banjir. Orang-orang mulai mengungsi ke tempat yang lebih tinggi,” ungkap reporter tersebut.

Uh, untung aku berada di daerah yang lebih tinggi. Meski demikian, selokan di depan rumah mulai meluap, berwarna coklat kehitaman dan bau yang kurang sedap.

Berita lagi:

”Sepanjang jalan AP Pettarani yang selama ini bebas banjir kini mulai ikut tergenang. Menurut seorang warga banjir kali ini adalah yang terparah selama ini.”

Setiap tahun aku sering mendengar ungkapan seperti itu. Dan dari tahun ke tahun banjir selalu saja masih menjadi masalah. Kanal-kanal dibangun, namun di sisi lain, laut juga dibendung, pohon-pohon ditebangi. Daerah resapan air pun semakin mengecil. Upaya pembangunan yang sia-sia dan hanya mengenyangkan segelintir pengusaha konstruksi dan segelintir pejabat. Pembangunan pun lebih bermakna sebagai penghabisan anggaran, alih-alih meningkatkan derajat kehidupan masyarakat.

Terdengar lagi suara gemuruh guntur di udara. Cahaya kilat menyambar sebuah pohon akasia tak jauh dari rumah, yang lalu roboh menutup jalan. Genangan air di jalan pun semakin meninggi.

Malam belum larut. Kurebahkan diri di kasur yang mulai terasa lembab. Tertidur. Dan aku bermimpi tentang sesuatu yang sangat menyeramkan.
**
”Kini seluruh kota mulai tergenang banjir, bahkan di daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah yang paling aman pun mulai digenangi air setinggi atap rumah,” terdengar suara teriak reporter di radio membangunkan aku.

Aku merasakan tubuhku mulai basah. Ya Tuhan, aku mengambang di atas air. Ini benar-benar banjir.

Aku mencoba meraih gagang pintu yang kini tak terlihat lagi dari pandangan mata.

Terdengar teriakan panik dimana-mana. Suara reporter di radio masih terdengar seperti sebuah teriakan ketakutan. ”Banjir..banjir...saya melaporkan dari atas rumah penduduk.”

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku mengambang bersama kasur dan barang-barang lain. Dan aku tidak sendiri. Ratusan atau bahkan ribuan orang juga mengambang di atas permukaan air yang semakin meninggi dan semakin menenggelamkan kota.

Di kejauhan terlihat seorang berseragam coklat muda sedang diwawancarai di atas atap rumah penduduk. ”Kami masih akan terus berusaha mencari solusi dari banjir ini,” kata pria itu. Lalu sebuah helikopter membawanya entah kemana.**
Makassar, Februari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar