Rabu, 29 Juli 2009

Boikot Media, Literasi Media, dan Pencapaian Sinergitas

Dalam sebuah diskusi multipihak, yang dihadiri antara lain oleh budayawan, mahasiswa, LSM, akademisi media, tokoh masyarakat, praktisi media dan sejumlah stakeholders lainnya, semua orang menyampaikan uneg-uneg mereka terkait dengan perkembangan desiminasi media di Indonesia, khususnya sejak masa reformasi.

Budayawan menuding media telah melakukan pembodohan massif dan itu demi mengeruk keuntungan semata. Telivisi adalah media tertuduh pertama dan terutama. Mahasiswa lagi-lagi menuding pengaruh neolib atas semua fenomena media yang terjadi saat ini. Akademisi mencoba lebih netral, seperti biasanya, dengan mengajukan teori-teori yang relevan dengan tema diskusi. Praktisi media, seperti biasanya pula, mencari pembenaran (rasionalisasi) atas berbagai tindakan mereka yang dipersalahkan berbagai pihak.

“Media pada dasarnya tetap berdiri di atas dasar idealisme namun tanpa mengesampingkan bisnis. Media idealis yang mengenyampingkan bisnis mustahil bisa eksis. Sulit mengharapkan media sepenuhnya idealis karena media netral memang hanya akan berada dalam dunia utopia,” begitulah kira-kira pembelaan pratiksi media tersebut.

Mengkaji atas media memang akan senantiasa berujung pada kesimpulan yang sama dan tarik urat yang sama pula. Dari sejumlah diskusi media yang pernah saya ikuti, kesimpulan biasanya takkan jauh-jauh dari
kesimpulan-kesimpulan pada diskusi-diskusi sebelumnya, meskipun pada setiap diskusi itu dihadiri oleh orang yang berbeda-beda. Takkan pernah ada titik temu yang bisa menyenangkan setiap orang, karena kesimpulan biasanya hanya bersifat umum dan telah diperkirakan hasilnya itu-itu juga. Tak ada kesimpulan yang memuaskan setiap orang karena kesimpulan senantiasa berdiri di atas semua kepentingan.

Persoalan media akan senantiasa menyediakan ruang perdebatan yang tajam untuk semua orang. Di satu sisi, media, disadari atau tidak telah menjadi tulang punggung pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Media, tak bisa dipungkiri, telah memoles bangsa ini menjadi lebih beradab dan berkeadilan sosial serta lebih transparan, karena peran yang telah dijalankannya. Tapi media pun menyiapkan jurang yang dalam proses ini. Sebuah paradoksal. Media kerap menjadi momok bagi masyarakat, ketika ia sedang ’sakit’. Simak data berikut:

“Dewan Pers pada 2008 setiap bulannya menerima 20 pengaduan, yang bagian besarnya adalah pencemaran nama baik. Dewan Pers juga menerima 424 pengaduan selama 2008, yang sebagian besarnya adalah pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dan kabar yang paling disayangkan, bahwa sampai 2008, hanya 30 persen media (perusahaan pers) yang sakit.”

(Catatatan: Dewan Pers beranggotakan sembilan orang yang berasal dari tokoh masyarakat (3 orang), jurnalis (3 orang) dan perusahaan media (3 orang), yang dibentuk oleh negara dan dibiayai oleh APBN meskipun penggajiannya masih berada di bawah koordinasi Depkominfo. Dewan Pers antara lain bertugas sebagai lembaga mediasi perselisihan antara media (pers) dan masyarakat, meski pada kenyataannya tak banyak masyarakat yang mengetahui hal ini dan lebih senang mengadukan kebersalahan media (pers) ke kepolisian dibanding ke dewan ini)

Media yang sakit penyebabnya bisa macam-macam. Media yang berpihak terlalu jauh, media yang tak terkontrol, media yang kerjaannya memeras, media dengan pelaporan jurnalistik yang jauh dari kaidah jurnalistik yang benar, media yang eksploitatif dan macam-macam penyakit lainnya. Misalnya saja, menurut Prof Dedy Mulyana, salah satu bukti ’sakitnya’ media di Indonesia adalah pernah menjadi media terporno kedua di dunia setelah Rusia. Media di Indonesia bahkan telah lebih liberal dibanding media di negara-negara liberal lainnya. Ini hanya salah satu kasus saja. Kita pun mengenal berbagai istilah perihal media yang sakit, seperti wartawan bodrex, wartawan amplop, wartawan preman, dsb. Ini juga hanya sejumlah kasus saja.

Lalu apa solusi yang kira-kira bisa ditawarkan?

Seorang peserta dalam diskusi tersebut menyarankan perlunya ada sertifikasi untuk para jurnalis, seperti halnya dokter, pengacara dan profesi lainnya. Butuh stratifikasi pendidikan dan pelatihan tertentu untuk mendapatkannya, dalam artian setiap orang tidak bisa seenaknya menjadi jurnalis, seperti yang terjadi selama ini. Dengan adanya sertifikasi ini setidaknya jurnalis ataupun pelaku media lainnya memiliki standar etika yang harus diikuti secara ketat (Dewan Pers sebenarnya telah menerbitkan standar etika untuk para jurnalis, tapi sepertinya belum berjalan secara efektif). Usulan ini cukup revolusioner, meskipun sebenarnya sudah sering saya dengarkan namun tak pernah ada upaya untuk mewujudkannya sama sekali.

Dari organisasi jurnalis sendiri mengusulkan (dan bahkan memperjuangkan secara mati-matian) adanya peningkatan kesejahteraan para jurnalis, agar mereka tidak harus mendapatkan penghasilan tambahan dengan ‘ngobjek’ seperti memeras dan mengandalkan amplop dari pejabat-pejabat yang korup dan narsis. Banyaknya jurnalis yang tak jujur dianggap salah satu penyebabnya karena rendahnya tingkat kesejahteraan mereka. Sejumlah perusahaan pers bahkan menjadikan jurnalisnya sebagai sumber penghasilan mereka di daerah-daerah dengan memeras ataupun memoroti pejabat-pejabat.

Usul yang paling radikal, mungkin, adalah perlunya dilakukan boikot atas media. Boikot dalam artian masyarakat jangan mengkonsumsi media yang tidak profesional alias ‘kacangan’. Melalui boikot ini maka dengan sendirinya akan terjadi seleksi alam, media mana yang seharusnya tetap eksis dan sebaliknya media mana yang seharusnya mati secara perlahan-lahan. Intinya, ‘remote’ sepenuhnya diberikan pada publik. Merekalah yang kelak menentukan layak tidaknya media itu untuk eksis atau tidak. Saya mencium bau ‘liberal’ dalam usulan ini, meskipun mengakui usulan ini cukup konstruktif dan perlu dipikirkan untuk dijadikan sebuah solusi menghadapi ‘kuasa buruk’ media tersebut. Anggaplah ini sebagai sebuah literasi media, dimana media ditempatkan sebagai obyek yang harus senantiasa dihadapi secara cerdas dan kritis. Media literacy ini, meminjam Eko Maryadi (Item) dari AJI, adalah semacam kemampuan untuk mengakses, memilih, memilah, mengkritisi dan memanfaatkan media sesuai kebutuhan, dimana masyarakat akan bisa terhindar dari pengaruh media jika memiliki bekal ini.

Istilah ini pun sudah cukup lama saya dengar gaungnya. KPI telah mencanangkan ‘hari tanpa TV’ untuk hari-hari tertentu demi menjauhkan masyarakat secara perlahan dari konsumsi media secara berlebihan. Sekelompok mahasiswa mempelopori hari tanpa TV tidak hanya sehari dua hari, tapi selama mungkin, demi menanamkan kesadaran bahwa TV bukanlah Dewa yang harus “disembah” setiap harinya. Sejumlah pemda telah mencanangkan pembatasan menonton TV di waktu malam untuk anak-anak sekolah. Media watch diupayakan hadir di tiap daerah. Diskusi-diskusi dan seminar telah ribuan kali dilakukan untuk ini. Tapi apa itu cukup efektif dalam mengubah sikap masyarakat atas media dan memperbaiki kinerja dari media itu sendiri? Tanpa bermaksud meremehkan daya kritis masyarakat kita, namun dalam berbagai realitas yang terjadi selama ini, kuasa media masih memiliki kekuatan yang tak terbendung melebihi upaya-upaya ini. Masyarakat tidak menjadi semakin kritis dan malah semakin terjerumus dalam ritual konsumsi media yang berlebihan dan tak bijak. Sedikit kemajuan mungkin bisa kita temui pada media cetak, yang terbukti dengan semakin berkurangnya koran-koran kuning dengan kualitas berita kacangan. Tapi secara umum masih jauh panggang dari api. Solusi media literacy hanya akan efektif bagi masyarakat dari kalangan menengah ke atas, sedangkan masyarakat kita sebagian besarnya justru berada pada lapisan menengah ke bawah. Artinya apa? Masyarakat memang harus terus dicerdaskan melalui media literacy ini, tapi sebaliknya perlu pula dilakukan pembenahan berbagai regulasi terkait dengan desiminasi media. Pembatasan bukan untuk pengekangan, tapi semata-mata menciptakan sinergitas antar kepentingan masyarakat dan kepentingan para pemilik dan praktisi media (kepentingan pemerintah tidak kita masukkan karena kepentingan pemerintah biasanya memiliki sejumlah konsekuensi kuasa dan kooptasi). Sinergitas akan menciptakan desiminasi media yang sehat, dimana setiap orang, setiap pihak menyadari peran dan tanggungjawabnya dalam pencapaian masyarakat madani yang tidak hanya demokratis namun juga tercerahkan dan berdaya kritis yang kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar