Pada Kompas hari ini, Minggu (26/07), memuat sebuah berita tentang Iran berjudul "Masyarakat Internasional Memprotes Rezim Iran." Sekilas tak ada yang aneh dari judul ataupun isi dari artikel ini, namun jika kita mencermati lebih dalam setidaknya ada beberapa hal (kejanggalan) yang mesti kita kritisi dalam artrikel tersebut.
Hal pertama adalah, pemilihan judul dengan menggunakan kata "masyarakat internasional". Penggunaan kalimat ini akan membuat pembaca mengartikannya bahwa "dunia" memprotes rezim Iran atau dengan kata lain sebagian besar orang di dunia ini memprotes rezim Iran, karena menggunakan kata "masyarakat" yang bisa berarti sekumpulan individu dalam jumlah yang banyak. Dengan judul tersebut, si penulis pesan, penulis artikel tersebut, sebenarnya mengatakan pada kita bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintahan Iran dengan memenangkan Ahmadinedjad sebagai presiden pada Pilpres yang lalu, hasilnya ditolak dan dikecam oleh sebagian besar orang di dunia ini. Benarkah demikian?
Hal kedua, Jika kita membaca isi berita maka gambarannya tidak akan sedahsyat judulnya. Pada kenyataannya yang melakukan demonstrasi hanyalah sebagian kecil orang di dunia ini, yang kebanyakan adalah aktivis yang memang kerjaannya demonstrasi jika melihat sesuatu kondisi yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Yang berorasi menolak Ahmadinedjad hanyalah sekumpulan orang yang anti-Ahmadinedjad yang memang akan banyak kita temui di Barat, yang tak tahan dengan sepak terjang seorang Ahmadinedjad yang berani berkata "tidak" kepada mereka. Judul ataupun isi berita tersebut terlihat sangat tendensius mengarahkan opini pembaca bahwa Ahmadinedjad memang patut ditolak meskipun ia telah memenangkan pemilihan secara demokratis menurut takaran siapapun yang kita inginkan. Jika media selama ini dianggap sebagai pilar keempat dari demokrasi, mengapa mereka harus menjadi penghambat bagi jalannya proses demokratisasi itu sendiri? Takaran demokrasi manakah yang harus kita terima?
(Takutnya media di Indonesia juga sudah seperti ini kondisinya).
Kejanggalan lainnya tidak berkaitan dengan judul atau isi berita secara langsung tapi terkait secara umum dengan isu demokratisasi itu sendiri secara umum. Pertanyaan saya, kapan sebuah negara dikatakan demokratis, khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pemilihan umum yang mereka lakukan? Siapa yang berhak mengukur dan mengklaim bahwa sebuah negara sudah demokratis atau tidak? Selama ini jawaban yang saya temukan dari berbagai realitas yang terjadi, dari semua klippingan berita yang saya kumpulkan, bahwa negara baru demokratis jika sesuai dengan keinginan Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya. Ketika Iran melaksanakan pemilu dan yang memenangkannya adalah seorang yang selama ini sangat dibenci oleh AS dan Eropa, seperti halnya Ahmadinedjad di Iran, maka pemilu itu dikatakan penuh kecurangan dan harus ditolak. Kasus yang sama dapat kita lihat pada saat Allende di Chili memenangkan pemilihan di Chili pada tahun 1973 namun tidak direstui oleh AS, sehingga digagaslah pemberontakan yang dipimpin Pinochet (seorang Jenderal pro-Amerika). Allende ditolak karena ia adalah seorang komunis, dimana kemenangannya dalam pemilu di Chili dianggap sebagai sebuah inovasi baru bagi pemerintahan komunis yang tidak mengambil alih kekuasaan bukan melalui kekerasan (revolusi) tetapi melalui jalan pemilu yang demokratis. Kemenangan Allende dianggap sebagai sebuah potensi ancaman baru bagi kepentingan AS di Amerika Latin.
Beda misalnya, ketika di Indonesia meski pelaksanaan Pilpresnya penuh kecurangan dan kejanggalan, namun AS tidak bergeming atau bereakasi sedikit pun, karena yang terpilih memang adalah "orang-orang" yang dianggap "memahami" betul kepentingan mereka.
Lalu takaran demokrasi mana lagikah yang harus kita terima?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar