Akbar, seorang teman saya, adalah pendukung salah satu pasangan Capres/Cawapres pada Pilpres 2009 lalu. Ia bukan tim sukses, bukan seorang yang melek politik, bukan seseorang yang akan mendapat apa-apa jika calonnya terpilih, selain mungkin, kepuasan batin belaka. Meski bukan tim sukses ia dengan sukarela ikut mengiklankan capres andalannya. Terkadang dalam sehari 3 (tiga) kali SMS-nya nongol di HP saya. Ia mengajak dan menyarankan dengan bahasa yang kerap membuat kita tersenyum-senyum. Di setiap pertemuan dengannya pun ia sering, bahkan mungkin selalu hanya membicarakan kehandalan capres pilihannya, sambil tertawa ceria penuh kehangatan dan kebahagiaan.
Beberapa saat setelah hasil Quick Count Pipres dirilis di hampir semua stasiun TV, tiba-tiba ia muncul di depan kamar saya dengan wajah yang masam dan tak bergairah. Ia terlihat frustasi berat. Dan saya pun sudah menduga-duga penyebab perubahan sikapnya itu.
Ia bersedih dengan kekalahan calon andalannya, meski masih versi QC. TV yang sedang menyala di kamar tiba-tiba ia matikan. “Siaran TV hanya membuat semakin frustasi,” katanya gusar. Berhari-hari kemudian ia pun enggan melihat TV. TV bahkan menjadi ‘makhluk’ yang paling dibencinya sedunia, selain Koran dan berita-berita di internet.
Awalnya saya menertawakan saja sikapnya tersebut. Secara bercanda saya katakan tak usah bersedih. Toh calonnya saja menerima dengan lapang dada dan senyum-senyum, koq dia malah tidak bisa menerima. Tapi ia tak menanggapi saran tersebut. Ia malah marah dan pergi sambil mengumpat-umpat. Anak yang aneh. Begitulah kira-kira yang terbersit di pikiran saya saat itu.
Lalu saya bertemu dengan teman-teman saya yang lain, di berbagai even. Sikap mereka tak jauh beda dengan yang dialami oleh Akbar. Mereka umumnya orang-orang yang frustasi dengan sebab yang sama: kekalahan Pilpres. Ternyata bukan hanya Akbar yang mengalami rasa frustasi itu, ada banyak Akbar-Akbar yang lain yang bahkan jauh lebih frustasinya. Ada banyak tingkah mereka, mulai dari boikot menonton TV dan membaca berita, hingga mencari kegiatan-kegiatan yang bisa menghilangkan rasa gundah di hati mereka, seperti mancing, berkaraokean dan lainnya.
Kenapa mereka begitu terluka? Toh tak ada bedanya jika calon yang terpilih adalah calon pilihan mereka atau bukan. Toh mereka tidak akan menjadi lebih kaya karenanya. Toh Indonesia tak akan jauh beda dari yang dulu, sekarang dan yang akan datang? Yang berganti hanya pemimpin, sementara cara mereka memimpin tak akan jauh bedanya dengan yang sebelum-sebelumnya. Kemiskinan dan pengangguran akan tetap menghantui dimana-mana. Kekerasan refresif aparat akan tetap menjadi santapan berita sehari.
Inilah simulakra Pilpres. Dengan iklan-iklan dan janji-janji para capres/cawapres kita telah mampu membius dan memanipulasi keinginan dan harapan masyarakat ‘seakan-akan’ berkaitan dengan perikehidupan mereka secara langsung.
Sangatlah tidak bijak jika pemerintah kelak menutup mata dengan semua keinginan-keinginan mereka: harapan akan Indonesia yang lebih baik. Daripada lebih memikirkan kompisisi kabinet, kenapa mereka tidak secara langsung mendengar rintihan-rintihan masyarakat yang penuh harap ini. Berikan mereka bukti, bukan janji. Buktikan bahwa mereka memang lebih pantas memimpin negeri ini dibanding calon lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar