Sebagai daerah yang dulunya menjadi bagian dari kerajaan yang membawa sifat feodalistik, Makassar dan beberapa daerah lainnya di Sulawesi Selatan masih menyisakan banyak warisan budaya yang tidak lekang oleh pengaruh pendidikan modern. Jika bangsawan Jawa dipanggil ‘Raden’, kalangan yang berdarah biru Bugis-Makassar ataupun keturunan kerabat kerajaan dipanggil dengan sebutan ‘Andi’ atau ‘Daeng’. Sementara dalam bahasa verbal atau penyebutan nama biasanya menggunakan gelar ‘Petta’, ‘Puang’, ataupun ‘Karaeng’.
Penyebutan gelar ini yang biasanya disebut mendahului pemakaian nama asli bersangkutan. Contoh: Andi Rahman maka ia akan merasa senang jika dipanggil ‘Puang Rahman’, ‘Petta Rahman’, atau ‘Karaeng Rahman’. Kalau sedang bertemu muka dengan sosok yang bersangkutan, maka cukup menyapanya dengan mengatakan ‘Puang’, ‘Petta’, atau ‘Karaeng’ saja.
Penyebutan gelar tersebut dianggap sebagai sebuah pengakuan atas kebangsawanan seseorang dalam masyarakat, berlaku di sebuah lingkungan tempat seseorang dikenal luas oleh masyarakat sekitar atau di tempat ia dilahirkan. Penyebutan itu sifatnya melekat dan sesuatu yang tidak diminta. Akan hadir dengan sendirinya tanpa harus memaksakan seseorang untuk menyebutnya. Masyarakat akan spontan menyebut gelar kebangsawanan itu tanpa melihat status kehidupannya apakah ia kaya, berpengaruh, dan sebagainya. Pengungkapan itu dianggap oleh masyarakat setempat sebagai kelaziman yang memang sifatnya “wajib”. Bagi yang tidak mematuhi aturan itu, maka ia dianggap telah melanggar adat kesopanan yang telah menjadi kesepakatan tidak tertulis dari sebuah masyarakat, dalam hal ini masyarakat Bugis-Makassar. Ia akan dituduh lancang, tidak sopan, tidak mengenal adat istiadat. Sebuah pengalaman bisa mengilustrasikan hal ini adalah pernah saya alami.
Dulu semasa kecil, ayah saya adalah agen penyalur koran di Pinrang, sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan yang berjarak 182 kilometer utara Makassar. Bila waktu menagih para pelanggan korannya, Ayah selalu mengingatkan agar saya menyebut orang yang saya datangi dengan mengimbuhi kata ‘puang’. “Jangan sebut ‘pak’!” begitu Ayah mewanti-wantiku. Kata Ayah lagi, biasanya tagihan tidak akan digubris bila tak panggil ‘puang’.
Namun ini tak mengenal batas usia dan status sosial. Kerap pula seorang yang lebih tua dan kaya serta terpandang justru memanggil seseorang yang lebih muda dengan gelar kebangsawanannya. Atau seorang atasan tetap memanggil bawahannya dengan sebutan ‘puang’ yang kerap saya dapati di lingkungan kantor pemerintahan. Tampaknya status yang telah dimiliki si bawahan sejak lahir tidak lekang oleh pengaruh kedudukan dan posisi di tempat kerjanya.
***
Besarnya budaya feodalistik dalam masyarakat Bugis-Makassar bagi sebagian besar masyarakat masih bisa diterima dan dianggap sebuah kelaziman. Akan tetapi tidaklah bagi sebagian orang. Seseorang malah ada yang merasa risih jika harus memanggil dengan ‘puang’ dan memberi penghormatan yang berlebihan pada seseorang. Tak jarang ada yang bahkan sampai mengumpat sembunyi-sembunyi lantaran harus berhadapan dengan pejabat yang hanya mau ditemui bila dipanggil gelar tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak pejabat di Makassar yang hanya mau menerima kedatangan seseorang jika dipanggil ‘puang’. Sebaliknya jika seseorang memanggilnya ‘puang’ karena mungkin sudah menerima informasi sebelumnya, maka ia akan diterima dengan ramah dan bersahabat. Dengan kata lain kita cukup memanggil ‘puang’ dan memberi kesan sebagai “hamba” yang meminta maka semua urusan akan selesai dengan cepat dan sukses.
“Saya pernah mengalami hal ini,” ungkap Marlina, mahasiswi Universitas Hasanuddin Makassar. Marlina mengaku pernah suatu hari harus audensi dengan pejabat pemerintah daerah. Sayang hasil audensi itu tidak sesuai dengan yang harapan Marlina. Pada temannya ia mengeluh soal kegagalannya memperoleh dana dari pemerintah untuk sebuah kegiatan kemahasiswaan. Ia cuma bisa terperanjat ketika temannya kemudian mengungkapkan bahwa ada hal sepele yang bisa melicinkan segalanya. “Lho! Memangnya masih ada yang seperti itu?”
Sejak kejadian itu, mulailah Marlina mencari informasi mengenai hal-hal yang perlu ia lakukan bila menghadap ke beberapa gelintir petinggi daerah di kantor-kantor pemerintahan. Hasilnya, kata Marlina, memang banyak yang mengharapkannya untuk rela untuk mengimbuhi ‘puang’ ketika berhadapan dengan pejabat tertentu. Hasilnya? Sudah bisa ditebak: ia berhasil mendapat tambahan dana untuk kegiatan kemahasiswaan yang sedang diurusnya.
***
Namun penyebutan ‘puang’ ini ternyata tidak hanya berlaku di instansi pemerintahan. Hal ini pun tidak memberi pengecualian pada institusi pendidikan. Seorang pejabat di tingkat fakultas, bahkan hanya akan melayani mahasiswa dengan baik jika kita memanggilnya dengan gelar ‘puang’.
Keadaan di lembaga pendidikan tinggi itu diperparah dengan gelar akademis pun kini dijadikan sebuah ukuran dalam status sosial. Gejala ini sering ditemui pada penulisan nama untuk undangan. Bagi pihak pengundang, proses pada bagian menulis nama inilah yang paling menguras perhatian. Salah sedikit bisa mengakibatkan ketersinggungan yang pihak yang diundang. Bisa-bisa dianggap melecehkan harga diri yang bersangkutan. Mungkin sebab inilah, maka di setiap mencetak undangan, terutama perkawinan, selalu tercetak “Maaf Bila Ada Kesalahan Penyebutan Nama dan Gelar” tepat di bawah kolom nama .
Pernah beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan seorang profesor di Universitas Hasanuddin. Lantaran tidak tahu-menahu adanya ‘aturan-aturan’ tidak tertulis dan harus diketahui sebelum bertemu dengan sang profesor. Saya malah dengan entengnya langsung saja memanggilnya dengan sebutan ‘pak’. Sang profesor ini spontan menghardik dan menganggap saya tidak punya etika sama sekali. Ia marah karena saya tidak menyebutnya dengan panggilan ‘prof’. Ia bahkan menceramahi saya panjang lebar tentang perlunya ada etika ketika berkomunikasi dengan seseorang yang lebih tua dan lebih tinggi tingkat pendidikannya. “Kamu tahu untuk dapat gelar ‘prof’ tidak gampang. Perlu berdarah-darah untuk mendapatkannya. Kamu harus menghargai itu!” katanya. Nadanya begitu tinggi. Dan saya tak enak hati.
Keadaan yang berlaku di Makassar dan sekitarnya ini memang membuat dongkol. Namun kadang pula mengharuskan kita menerima kondisi yang sudah terjadi sejak lama. Apalagi jika memang keharusan itu sebagai jalan keluar untuk memudahkan urusan di birokrasi. Sebuah prinsip yang mungkin bisa menjelaskan keadaan ini adalah: “Kalau memang cukup dengan memanggil ‘puang’ urusan bisa lancar, apa salahnya dilakukan”. Seorang kawan pernah bilang, ini jauh lebih baik dibanding menggunakan ‘uang’ sebagai pelicin, yang juga banyak dipraktekkan oleh para petugas dalam lingkaran birokrasi.[*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar