Oleh Wahyu Chandra
Entah berapa lama aku meringkuk di dalam kamar. Di depan komputer Pentium III yang kadang ngadat dengan layar yang mulai suram. Aku berusaha membetahkan diri. Aku merenung-renung. Aku mengenakan headset di telingaku, mendengarkan sealbum The Cake dari MP3 ponselku.
I will survive
As long as I know how to love
I know I’ll be alive
Meski suara itu begitu melegakan namun, tak urung mendatangkan inspirasi, apa yang harus kutulis. Aku berpikir untuk istirah, sekedar jedah dari kepenatan dan kepusingan yang tiba-tiba menghantam jadah kepalaku.
Tapi suara-suara itu terus menuding. Suara-suara itu menghentikan upaya yang setengah mati kulakukan.
Aku melepas headset. Keheningan tiba-tiba menyeruak, seperti halnya ketika kita keluar dari kerumunan yang membisingkan. Tapi kesunyian tak juga menjadi mantra yang mempan bagiku. Aku benar-benar telah kehilangan semuanya: sang Imajinasi yang Agung dan dipertuankan oleh para seniman dan pengarang.
Apa benar kata orang-orang selama ini. Aku telah kehilangan imajinasiku. Apakah ini akhir dari dunia yang kucoba bangun selama ini? Aku akan kehilangan mahkotaku. Aku akan kehilangan semua kebanggaan yang telah susah payah kubangun selama ini. Aku bukan lagi seorang pengarang, karena sosok itu telah mati dalam diriku.
Aku mencoa berdamai dengan diriku. Aku mengingat-ingat semua yang telah kubaca di koran-koran, atau kudengar dan kutonton dari tivi. Moga-moga itu bisa membantu seperti halnya dulu.
Aku mengingat sebuah berita tentang bencana. Orang-orang yang berlarian, histeris ketika banjir dan longsor tiba-tiba merombak kehidupan dan harga diri mereka. Aku mencoba memejamkan mata. Aku berupaya berimpati, menyatu dengan kepedihan dan kesedihan mereka.
Satu jam berlalu.
Tapi imajinasi itu tak jua kunjung datang. Yang ada hanya rasa hampa yang tak tertahankan, dan jeritan pilu pada nasib yang tak bersahabat.
Aku mencoba mengingat pemberitaan tentang korupsi seorang pejabat tinggi. Begitu banyak yang berkelabat dalam pikiranku. Aku mencoba mencari sisi manusia dari semua itu. Orang-orang yang berharap. Orang-orang yang berteriak sepanjang jalan. Orang-orang yang mendamba keadilan.
Tapi imajinasi itu tak kunjung datang. Yang ada hanya rasa hampa dan kebencian pada kenyataan yang tak memihak pada akal sehat.
Aku mencoba mengingat segalanya. Orang-orang yang antrian BBM yang krisis. Orang-orang yang saling berebut jatah makanan. Orang-orang yang antrian mencari kerja. Orang-orang yang menangisi keluarganya yang mati terlindas truk. Perceraian selebritis.
Semua terasa hambar dan imajinasi itu tak pula bertandang menemuiku. Aku gagal menangkap sisi dramatis dari semua kejadian-kejadian itu.
Ada apa dengan diri ini? Apakah aku yang memang bermasalah dengan imajinasiku, atau peristiwa-peristiwa itu memang tak lagi menjadi sesuatu yang pantas ditulis, karena memang telah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja dan lumrah terjadi? Aku ingat, ketika aku menjadi seorang jurnalis, aku ingin menulis sesuatu tengan korupsi, tapi redakturku menolak memuatnya, karena menurutnya tak lagi menarik untuk dipublikasikan. Semua orang bicara tentang korupsi, apa lagi yang harus ditulis darinya? Begitulah kira-kira pesan yang kutangkap dari penolakan itu.
Aku berusaha berdamai dengan perasaanku. Aku mencoba memaafkan diriku. Tapi tetap saja rasa kehilangan itu begitu mendalam. Maafkan aku! maafkan aku imajinasiku tercinta. Aku tak pernah merawatmu dengan baik. Aku telah menelantarkanmu selama ini. Aku telah membuatmu menjauh dari diriku dan menjadi pengemis di jalanan yang basah dan bau. Kamu mungkin telah begitu dendam pada diriku hingga enggan menjengukku meski hanya sesaat. Aku sadar sepenuhnya, selama ini terlalu sibuk mengurus egoku semata dan melupakan yang subtansial dari hidupku: dirimu.
Bagaimana lagi aku bisa menjangkau imajinasi-imajinasi itu. Imajinasi-imajinasi liar yang mampu membuatku mampu menjadi siapa saja dalam hidup ini: menjadi koruptor yang bijak, menjadi penjahat yang kejam namun melangkolis, menjadi anak yang manja namun terlalu mencintai ayahnya, menjadi kekasih yang terluka dan memohon dengan segenap jiwanya agar pacarnya kembali, menjadi istri yang selingkuh namun bangga dengan perselingkuhannya. Aku tak bisa lagi menjangkau semua itu. Aku tak bisa lagi menjadi siapa-siapa. Aku bahkan tak mampu memerankan diriku sendiri.
I will survive
I will survive
As long as I know how to love
I know I’ll be alive
Dan tiba-tiba aku begitu sedih memikirkan diriku kelak. Terkerangkeng dalam tubuh yang ringkih ini tanpa bisa kemana-mana lagi. Bagaimana aku bisa bertahan dengan semua ini?
Lalu aku mencoba menghadirkan dirimu dalam benakku yang mulai terasa kering. Katanya, perasaan cinta pada sesuatu mampu menghadirkan inspirasi. Aku ingin membuktikannya. Aku memasang headset lagi. Kupilih lagu Best I Ever Had dari Vertical Horizon.
do you want me back
you just the best I ever had
Bayangan dirimu merona seakan hadir dalam pendaran layar monitor. Aku mencoba berimajinasi sejenak tentang semua hal menyangkut dirimu. Kupejamkan mata sejenak. Engkau memang terlalu indah untuk dicintai. Tapi aku menjadi linglung kemudian. Apa benar aku mencintaimu? Ketika aku merasa senang meski sekedar mengingatmu, apakah itu bisa disebut cinta? Ketika aku gelisah untuk sekedar melihat wajahmu, apakah itu bisa disebut cinta? Pikiranku ngelantur kemana-mana. Aku tak jua mendapatkan imajinasiku kembali. Kucoba menulis puisi:
ada gerak lembut dalam sekujur tubuhku
getar-getar perlahan, tapi koq menyiksa
nafasku menjadi sesak
hanya karena kudengar namamu disebut
dalam tiupan angin yang mengiringi malam
Aku menghapus kelimat-kalimat itu. Terlalu melangkoli. Terlalu gombal. Aku mencoba lagi mencari kalimat-kalimat lainnya. Tapi tak kutemukan satu kata pun yang pas untukmu. Apakah cinta memang selamanya harus diungkapkan? Aku benar-benar tak bisa menemukan kata-kata yang pas untukmu, seperti halnya tak kutemukan imajinasiku yang hilang.
Makassar, 1 Januari 2008 (Pukul 00.01)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar