Saya mendengar kematian Mbah Surip ketika sedang menghadiri sebuah pertemuan dan pameran Kawasan Timur Indonesia di hotel Clarion Makassar. Dari perbincangan sekerumunan orang yang begitu serius, yang membuat saya bertanya pada seorang teman, “Ada apa?”
“Mbah Surip dikabarkan baru saja meninggal. Itu loh yang menyanyikan lagu ‘Tak gendong kemana-mana’,” kata seorang teman yang berasal dari Kendari. Tanpa embel-embel penyanyi lagu ‘Tak gendong kemana-mana’ pun semua orang tahu siapa Mbah Surip itu, gerutu saya dalam hati. Kemanakan saya yang baru berumur 3 tahun pun tahu, yang bahkan dengan fasihnya menyanyikan ‘ak endong emana-mana’ setiap harinya.
Lalu kata teman tadi dengan bercanda, “Mbah Suri mati kena serangan jantung, kaget dapat uang 4 miliar.” Bah, kematian koq dileluconkan.
Saya belum begitu percaya. Lalu datang SMS dari seorang teman nun jauh di sana mengabarkan hal yang sama. Saya jadi percaya karenanya. Saya terdiam sejenak sambil bergumam dalam hati ‘Innalillahiwainnalillahi rajiun’. Lalu hati saya bertanya, koq bisa ya? Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu ada karena kematian bisa datang saja, dimana saja dan bagi siapa saja tanpa mengenal bulu. Kebetulannya, pada subuh sebelumnya saya sempat mendengar ceramah Ustadz Uje di salah satu stasiun TV bertema kematian.
Sepanjang hari saya terus mengingat-ingat Mbah Surip. Merewain kembali saat-saat dimana saya pernah melihat dan mendengar namanya pertama kali. Seingat saya ia sering muncul di berbagai FTV, meski hanya sekilas dengan peran sebagai orang gila. Saya tahu benar tentangnya ketika lagu ‘Tak gendong-gendong kemana-mana’ lagi diputar di berbagai stasiun TV. Saya mungkin termasuk yang pertama menggunakan lagu itu sebagai RBT di HP saya. Lagunya lucu, meriah, sederhana dan mudah dihafal, bahkan oleh anak kecil berumur 3 tahun.
Lalu Mbah Surip pun belakangan muncul layaknya bintang yang jatuh dari langit. Berbagai stasiun TV secara bergantian dan intens terus mengekspos (mengeksploitasi) dirinya. Bahkan pada acara launching Indonesian United Team yang akan melawan MU di salah satu stasiun TV, ia menjadi salah seorang bintang tamu, yang membuat semua tamu yang hadir dalam acara itu tertawa terpingkal-pingkal. Ia pun muncul di acara Bukan Empat Mata yang membuat Tukul ‘mati kutu’ karena semua pertanyaannya dijawab dengan tawa khas Mbah Surip…Hahahahaha..dengan mulut terbuka lebar.
Banyak yang senang dengan kehadiran Mbah Surip, meski banyak juga yang prihatin, khususnya dari mereka yang menganggap diri penikmat musik ‘berkasta tinggi’. Musik Mbah Surip dinilai terlalu sederhana, dangkal, tak bermakna, kampungan, dsb. Ia menjadi tokoh yang dicintai sekaligus dicaci-maki.
Saya adalah orang yang termasuk melihat kehadiran Mbah Surip dalam ‘ruang hidup kita’ secara apa adanya. Saya senang mendengar musiknya yang lucu, tapi saya pun tidak menilainya secara berlebihan. Yang sempat membuat saya gerah belakangan adalah betapa media dan ‘kita’ telah begitu mengeksploitasi diri seorang Mbah Surip demi sebuah ‘tawa’ tanpa memperhitungkan diri Mbah Surip sendiri. Ibarat komputer, Mbah Surip adalah Pentium II yang dipaksa melakukan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh komputer Pentium IV. Fisik dan raganya dipaksa untuk terus memenuhi ‘nafsu’ hedonisme kita yang sudah semakin akut. Jika ada yang harus bertanggung jawab atas kematian Mbah Surip, maka tanggung jawab itu ada pada ‘kita’, masyarakat kita yang sepertinya sedang sakit parah hingga harus terus tertawa untuk bertahan hidup.
Dalam konteks ini, Mbah Surip , tanpa kita sadari, telah menjadi dokter bagi kita. Menyembuhkan berbagai ‘luka’ dari tatanan sosial kita yang semakin tergerus dan teralianasi oleh dirinya sendiri. Mbah Surip telah mengajarkan bagaimana kita untuk terus tertawa untuk hidup ini, apa pun yang terjadi, apa pun yang berlaku pada kehidupan kita, yang terbukti dari sikapnya yang terus tertawa ketika ditanya tentang sesuatu.
Selamat jalan Mbah Surip. Terima kasih atas segalanya. Terima kasih akan makna yang terus kau berikan pada kehidupan ini. Terima kasih atas tawamu yang sederhana. Maafkan pula atas kerakusan kami atas diri dan karyamu. Atas semua eksploitasi kami pada dirimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar