Oleh Wahyu Chandra
Ketika majalah Playboy versi Indonesia terbit pertama kali, Inul Daratista, sang penyanyi dangdut yang kerap menyulut kehebohan, baik dengan goyangannya yang “panas” maupun dengan pernyataan-pernyataannya yang kadang malah jauh lebih “panas”, menyatakan kesiapannya untuk tampil di majalah itu dan malah secara lantang menyalahkan pemrotes majalah tersebut sebagai sebuah sikap monopolistik moral dari agama tertentu. Ironisnya pernyataan itu diucapkan justru di tengah kontraversi RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi (APP) .
Inul adalah sebuah fenomena dalam pentas budaya Indonesia kontemporer. Di satu sisi dipuja sebagai ikon kebebasan berekspresi, namun di sisi lain ia juga dituding sebagai pembawa masalah, perusak moral bangsa, dan berbagai tuduhan negative lainnya. Inul dalam hal ini telah menempatkan dirinya pada sebuah titik pertentangan antara agama dan modernitas.
Modernitas, Globalisasi, dan Geliat Komsumerisme
Modernitas sebagai sebuah arus perubahan peradaban, muncul sebagai akses langsung dari proses industrialisasi yang telah mengawali terjadinya proses penduniaan atau globalisasi. Dalam perjalanannya, proses besar ini menggiring manusia untuk mengindustrikan apa saja yang ada. Termasuk dalam hal ini adalah ”tubuh”.
Kemolekan tubuh wanita disadari belakangan merupakan produk industri yang menjanjikan keuntungan yang sangat besar, seiring dengan perkembangan industri entertainmen, seperti majalah, film dan pertelevisian dan periklanan. Majalah Playboy, misalnya, yang sebagian besar isinya berupa eksploirasi atas tubuh wanita, di negara asalnya sendiri, Amerika Serikat, setiap kali terbit bertiras 2 juta oplah, belum termasuk produk-produk lainnya, yang dijual dengan harga yang lebih mahal karena dinilai memiliki kelas tersendiri.
Dalam bidang periklanan, kemolekan tubuh para selebritis dianggap sebagai ”penglaris” atas produk-produk yang mereka jajakan. Sebuah iklan dianggap ”kering” jika tidak menampilkan kecantikan dan sensualitas wanita dalam tampilannya.
Globalisasi pun menggiring ”agama” baru ini menjelajah hingga ke pelosok setiap negeri, bahkan hingga ke pedalaman-pedalaman terpencil. Akses atas televisi yang benar-benar menasional dan hadirnya parabola yang mampu menghadirkan siaran-siaran luar negeri tanpa saring, berperan penting dalam membentuk paradigma baru masyarakat atas berbagai pernik kehidupan, sangat jauh dari keyakinan ataupun persepsi mereka selama ini.
Keberadaan internet juga berperan besar dalam proses pendunia ini. Majalah Playboy dan bermacam-macam majalah sejenis bahkan bisa diakses langsung dimana saja di dunia ini melalui situsnya di dunia maya (internet), tanpa harus terbatasi oleh aturan-aturan atau larangan-larangan tertentu.
Menampilkan lekuk-lekuk tubuh yang selama ini dianggap sebagai tabu dan bahkan haram, pada akhirnya kini difahami sebaliknya sebagai bentuk aktualisasi kedirian ataupun ekspresi atas tubuh yang ”merdeka”. Proses pengjungkirbalikan nilai terjadi tanpa tertahankan, bahkan tidak oleh agama, yang menjadi benteng moral masyarakat selama ini.
Kehadiran Inul yang membawa trah baru di dunia dangdut kontemporer dan diterima secara luas di masyarakat menegaskan betapa modernitas beserta globalisasi telah menyusup ke dalam pola perilaku budaya masyarakat Indonesia dan mengubah secara drastis persepsi sebagian masyarakat atas ”tubuh”. Tubuh bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus ditutup-tutupi dan dikungkung namun harus menampakkan dirinya sebagai sebuah diri yang merdeka.
Pada ranah lain, massivitas kebebasan dan budaya populer telah merangsang bagi tumbuhnya budaya baru yang bernama komsumerisme. Sebuah sikap hidup yang berorientasi ”belanja”. Beban budaya yang berat dan intens ini tidak dibarengi oleh perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang memadai. Akibatnya muncullah akses negatif dari semua ini, seperti maraknya pencurian, penjambretan dan bahkan perampokan yang disertai pembunuhan sadis. Sikap toleransi antar sesama turut memudar. Yang berkembang malah sikap saling ”memangsa” satu sama lain.
Pergeseran pola hidup, perilaku dan ataupun budaya ini perlahan namun pasti telah menggeser ”agama” ke wilayah pinggiran dan bahkan telah secara terbuka dicaci–maki dan dilecehkan sedemikian rupa atas nama demokrasi dan kebebasan. Agama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Agama terseret lebih jauh ke arah pengucilan dan dijadikan tak lebih sebagai simbol, seiring dengan semakin menipisnya modal-modal sosial di tengah masyarakat.
Agama Versus Modernitas
Munculnya gerakan-gerakan keagamaan sempalan seperti Forum Pembela Islam ataupun ataupun Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menandakan sudah semakin kerasnya modernitas menggiring agama ke wilayah-wilayah marjinal. Kelahiran kelompok-kelompok ini tidak bisa disalahkan begitu saja, karena mereka tak lebih dari ”produk” dari arus budaya menyimpang tersebut. Negara yang diharapkan mampu meredam akses negatif dari proses modernitas dan globalisasi ini tidak mampu berbuat banyak ataupun memformalisasikan kebijakan-kebijakan yang mampu menengahi benturan yang terjadi. Tengoklah misalnya pada kasus penerbitan Playboy ini. Di satu sisi pemerintah membiarkan media ini diterbitkan atas dasar kebebasan pers, namun di sisi lain aparat pemerintah juga melakukan sweeping majalah ini dengan alasan sebuah tindakan persuasif untuk meredakan kemarahan massa yang mulai anarkis. Sebuah sikap kemenduaan yang malah semakin membingungkan masyarakat.
Penerbitan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang awalnya diharapkan menjadi penengah dan rambu yang jelas atas pertikaian ini juga belum membuahkan produk hukum seperti yang diharapkan dan malah memicu konflik baru antara moralitas dan kebebasan. Wacana ini malah seakan dibiarkan terus berlarut-larut untuk menutupi permasalahan utama yang sebenarnya dihadapi masyarakat saat ini: kemiskinan, korupsi yang merajalela, penggusuran dimana-mana dan semakin kurangnya kualitas hidup masyarakat dari segi pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan hidup.
Inilah kompleksitas yang terjadi di masyarakat kita saat ini. Masalah-masalah bercampur aduk tanpa sebuah penyelesaian yang jelas. Sebuah penyelesaian yang bijak dan bisa diterima oleh berbagai pihak mustahil akan lahir dalam kondisi ini dan malah akan semakin berlarut-larut dan melahirkan masalah-masalah lain.
Masyarakat yang mulai tidak percaya dengan itikad baik dan kemampuan pemerintah dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang ada pada akhirnya menempuh cara sendiri-sendiri secara anarkis. Tindakan ini meskipun efektif, namun sifatnya hanya sementara waktu. Dan yang pasti akan memicu sikap apriori masyarakat terhadap langkah-langkah yang tidak elegan tersebut. Agama pun lagi-lagi disalahkan.
Pada akhirnya agama dan modernitas seakan diperhadapkan untuk saling mengalahkan satu sama lain. Dalam kondisi ini, kejernihan dalam menyelesaikan masalah dan sikap arif antara berbagai kalangan menjadi solusi yang memadai untuk menyelesaikan konflik-konflik ini. Termasuk menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan saling menyerang satu sama lain. Modernitas seharusnya dilihat sebagai sebuah proses evolusi yang positif bagi pembentukan karakter manusia untuk lebih beradab dan lebih ”manusia”, bukan malah sebaliknya. Dan sebaliknya agama, seharusnya menjadi ”energi” bagi keberlangsungan proses ini, yang melakukan perannya secara bijak dan rahmatan lilalamin dan tanpa ada upaya untuk saling mengalahkan satu sama lain.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar