Oleh Wahyu Chandra
Hampir setiap hari media massa memberitakan maraknya kasus penggusuran pedagang kaki lima (PKL) di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Di Makassar sendiri, kebijakan penertiban ini dilakukan di jalur-jalur utama dan biasanya berakhir dengan bentrok fisik antara aparat penertiban dengan para PKL, menyisakan puing-puing kesedihan dan masa depan yang suram bagi pelaku sektor informal tersebut. Ironisnya, penanganan PKL malah kadang harus merenggut korban jiwa.
Hampir setiap hari media massa memberitakan maraknya kasus penggusuran pedagang kaki lima (PKL) di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Di Makassar sendiri, kebijakan penertiban ini dilakukan di jalur-jalur utama dan biasanya berakhir dengan bentrok fisik antara aparat penertiban dengan para PKL, menyisakan puing-puing kesedihan dan masa depan yang suram bagi pelaku sektor informal tersebut. Ironisnya, penanganan PKL malah kadang harus merenggut korban jiwa.
PKL yang merupakan sektor informal adalah persoalan utama di kota-kota besar tidak hanya di Indonesia, namun juga terjadi di negara-negara berkembang lainnya. Di negara maju sendiri, seperti Amerika Serikat dan Eropa, keberadaan PKL justru berada dalam proteksi pemerintah, memiliki aturan jelas yang terintegrasi dengan kebijakan penataan kota.
Rumitnya penanganan PKL di Indonesia lebih karena hingga saat ini belum ada instrumen yang valid guna memprediksi tumbuh-kembang sektor informal sehingga memungkinkan terakomodasi dalam perencanaan kota secara memadai.
Penanganan PKL pada akhirnya menimbulkan dilema bagi Pemkot, karena di satu sisi harus menegakkan aturan yang ada, namun di sisi lain harus berbenturan dengan warga sendiri, yang seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Hanya saja cara penanganan PKL selama ini di mana-mana senantiasa dilakukan terkesan menafikan kompromi dan selalu menempuh cara penggusuran sebagai sebuah ”jalan pintas”, yang tanpa disadari sebenarnya telah menciptakan ”bom waktu” sosial yang siap meledak kapan saja.
Sektor Informal: ”Anak Tiri” dalam Struktur Perekonomian Indonesia
Salah satu kendala dalam penanganan PKL sebagai salah satu derivasi dari sektor informal selama ini, karena posisi sektor ini yang tidak jelas dalam struktur perekonomian Indonesia. Istilah sektor informal sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Keith Hart pada tahun 1971 dalam penelitiannya tentang ”Small-Scale Enterpreneurs in Ghana”. Terminologi Hart tersebut kemudian dipopulerkan oleh ILO/UNDP (1972) melalui hasil penelitian di Kenya. Selanjutnya, Sethuraman (1972) secara intensif melalui berbagai penelitiannya baik perseorangan maupun bersama-sama dengan ILO/UNDP memperluas konsep sektor informal ini.
Menurut Hans Singer sebagaimana dikutip oleh Lubell (1991), sektor informal yang sesungguhnya sulit digambarkan dan hanya diketahui melalui pengamatan langsung. Usaha sektor informal tidak saja berskala kecil, tetapi juga cenderung diletakkan dalam struktur yang tidak jelas. Melalui pengertian itu terlihat bahwa posisi sektor informal dalam struktur ekonomi terkesan tidak diakui karena posisi mereka diletakkan dalam struktur yang tidak jelas.
Hans-Dieter Evens (1991) menyebut sektor informal sebagai ekonomi bayangan atau ekonomi bawah tanah (undergound economy) yang didefinisikan sebagai kegiatan apa saja, mulai dari kegiatan di dalam rumah tangga, jual beli yang tidak dilaporkan ke dinas pajak, wanita bekerja yang tidak dibayar, sampai dengan penggelapan pajak, pekerja gelap, serta berbagai kegiatan perekonomian yang bertentangan dengan praktek ekonomi legal.
Posisi sektor informal dalam struktur ekonomi pada akhirnya terkesan: a) tidak diakui, dimana posisi mereka diletakkan dalam struktur yang tidak jelas, b) mereka sama sekali tidak mendapat proteksi atau perlindungan secara hukum, c) usaha sektor ini seringkali dinilai secara negatif oleh pemerintah, d) bahkan dianggap sebagai kegiatan perekonomian yang bertentangan dengan praktek ekonomi legal. Dengan posisi seperti itu, maka sektor informal pada akhirnya menjadi ”anak tiri” dalam struktur perekonomian di Indonesia. Sehingga wajar saja jika pemerintah pada akhirnya tidak memberi ruang yang jelas bagi pengembangan PKL, karena di sisi lain keberadaan PKL yang ”liar” dan tidak terkontrol kadang malah lebih sering menimbulkan berbagai masalah-masalah sosial, khususnya dalam hal penataan kota, seperti penyebab kemacetan, kesemrawutan dan lain sebagainya.
Sumber Masalah
Keberadaan PKL di sudut-sudut kota yang ”liar” dan menjamur ini pada akhirnya menjadi akar dari tindakan refresif dari Pemkot terhadap PKL. Umumnya upaya penggusuran dan penertiban dilakukan dengan dalih bahwa keberadaan PKL hanya mengganggu pemandangan kota, penyebab kemacetan dan kesemrawutan, mengganggu pejalan kaki, ilegal karena tidak memiliki izin usaha dan biasanya beroperasi di lokasi-lokasi publik. Di sisi lain PKL sendiri merasa bahwa selama ini mereka sudah berada dalam koridor yang benar dan sah secara hukum, karena biasanya mereka membayar restribusi kepada pihak yang berwajib. Ironisnya Pemkot sendiri merasa bahwa para PKL ini tidak memberi kontribusi yang berarti bagi pendapatan daerah, sehingga bukan menjadi sebuah kewajiban untuk mempertahankan keberadaannya.
Format penggusuran biasanya menggunakan kekerasan, dan kadang tanpa pembicaraan dan sosialisasi yang konfrehensif, dan tanpa ada ruang kompromi bagi sektor informal. Hasilnya pun tidak pernah dievaluasi tingkat keberhasilannya dan terkesan hanya menghabiskan dana. Artinya, ketika ada dana untuk penertiban, maka langkah penertiban dilakukan dan ketika tidak ada dana, penertiban terhenti. Berhentinya proses penertiban ini pada akhirnya akan kembali memberi peluang bagi pelaku informal untuk berjualan di tempat yang sama ataupun di tempat lain (Alisjahbana, 2005).
Di sinilah masalah yang sebenarnya dari upaya pengusuran yang terjadi selama ini, yaitu ketidaktegasan pemerintah atas berbagai aturan yang telah mereka ciptakan sendiri. Meski aturan untuk berjualan di tempat-tempat tertentu sudah ada sejak dulu, namun selama ini tidak ada ketegasan dalam penegakkannya. Di samping itu, masyarakat juga kurang memahami akan adanya aturan tersebut karena memang sangat jarang disosialisasikan secara massif. Masyarakat pun menjadi seenaknya membangun kios-kios liar di sepanjang jalan utama karena pertimbangan strategis. Ironisnya upaya penggusuran baru dilakukan ketika para kios-kios PKL ini sudah bertahun-tahun berada di lokasi tersebut dan bahkan ada yang menganggap lokasi tempat mereka berjualan sebagai kepunyaan sendiri.
Solusi yang Memadai
Upaya penertiban PKL yang dilakukan Pemkot selama ini meski secara hukum memiliki landasan yang kuat, namun tetap harus mempertimbangkan masa depan PKL yang tergusur tersebut. Pemerintah tidak bisa mengabaikan begitu saja masa depan mereka dan harus dicarikan solusi yang memadai. Berbagai langkah solutif yang bisa dilakukan pemerintah kota, antara lain penyusunan konsep tentang sistem dan pembinaan serta penyediaan lahan sesuai dengan rencana tata kota, penataan secara terpadu dan menyeluruh dengan melibatkan instansi terkait yang didampingi oleh LSM dan membidani sektor informal, dan tak kalah pentingnya adalah perlunya Perda tentang penataan dan pemberdayaan sektor informal yang lebih refresentatif. Bahkan kalau perlu Pemkot bisa menelurkan Perda tentang Perlindungan PKL, sehingga setiap persoalan terkait penanganan PKL bisa lebih mengedepankan upaya solutif dibanding konfrontatif.
Pemerintah juga seharusnya sejak sekarang lebih tegas dalam menjalankan setiap aturan yang ada. Misalnya, pemasangan papan-papan larangan mendirikan kios secara permanen di jalur-jalur tertentu atau di lokasi yang seharusnya menjadi ruang publik, disertai tindakan yang tegas bagi yang melanggar.
Jangan lupa bahwa para PKL juga warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Berbagai tindakan refresif untuk menertibkan mereka seperti yang dilakukan selama ini seharusnya tidak lagi dianggap satu-satunya solusi yang tersedia.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar