Rabu, 04 Mei 2011

Dokter Yang Baik

Oleh Wahyu Chandra
Ia kena setrum, Dok. Tolong cepat diobati, nanti keburu mati,” seorang ibu memohon kepada dokter yang baru saja menangani anaknya yang sekarat kesetrum listrik ketika memperbaiki atap rumahnya.
“Ia tidak akan apa-apa, nanti suster yang tangani,” kata dokter itu tanpa melihat ke arah si ibu itu. Ia kemudian beralih ke pasien lain, dengan ekspresi yang sama: dingin.
Suster, seorang wanita muda yang sepertinya belum berpengalaman, panik mencoba berpikir apa yang bisa dilakukannya.
Ibu itu terus menangis, seperti juga anaknya. Sebagian besar tubuh anak itu hitam terbakar listrik ribuan volt yang hampir merengut nyawanya seketika.
”Ia tidak akan apa-apa,” suster itu mengulang kata-kata si dokter, meskipun tampaknya ia tak yakin dengan apa yang dikatakannya.
Suster, seperti halnya dokter, setelah melakukan sedikit prosedur penanganan pasien darurat, juga berpaling ke pasien lain. Tidak peduli pasien yang baru saja ditinggalkannya masih saja meringis kesakitan.
Ibu itu menangis lagi. Anak itu juga masih menangis, meskipun berusaha untuk tidak terdengar oleh orang lain. Dokter yang berada tak jauh dari tempat itu sejenak berpaling ke arah ibu itu, lalu menggelengkan kepala.
”Tidak usah menangis seperti itu, ia tidak akan apa-apa. Jangan sampai menganggu pasien lain,” dokter itu mendekat lagi ke arah ibu dan anaknya.
”Ia akan mati, Dok!”
”Ia akan baik-baik saja,” dokter itu mengulang lagi kata-kata itu, seakan-akan hanya kalimat itu saja yang diketahuinya.
”Tapi ia kesakitan, Dok.”
Dokter itu hanya menoleh sejenak ke pasien yang masih saja meringis kesakitan, lalu pergi terburu-buru tanpa sedikit pun menyentuh tubuh si pasien.
***
Aku melihat dokter dari kejauhan. Aku sedang menunggui sepupu yang masuk ke UGD pagi tadi karena maag akut. Ia mahasiswa baru kedokteran.
Sepupuku, yang sudah agak baikan, sepertinya tahu aku sedang memperhatikan dokter itu. ”Ia dokter yang baik,” katanya mencoba mengusik lamunanku pada kejadian barusan.
Aku tersenyum. Aku tahu ia membaca pikiranku atas dokter itu.
”Dokter yang sangat baik,” kataku tersenyum kecut dan tiba-tiba menyadari bahwa sepupuku itu pun seorang calon dokter.
”Kalau saja semua dokter seperti itu...,” kata-kataku menggantung di udara.
Sepupuku tersenyum. ”Harapanmu pasti akan terkabulkan,” katanya tanpa kutahu maksudnya.
”Semua dokter yang kuketahui bersikap seperti dokter tadi. Bagi mereka pasien hanya sebuah benda yang harus diperbaiki,” katanya, ”Itu akan menjauhkannya dari rasa bersalah bila ternyata salah dalam melakukan diagnosa ataupun praktek mereka. Dan yang terpenting bahwa dengan sikap seperti itu membuatnya terlihat hebat di mata orang-orang.”
”Semacam arogansi profesi?” tanyaku hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
”Entahlah. Mungkin saja perasaan itu tumbuh dengan sendirinya. Kamu tahu sendiri betapa susahnya menjadi seorang dokter, hanya orang-orang terpilih secara intelektual,” katanya seperti sebuah ingauan.
”Aku tahu kata-kata yang akan mereka ucapkan bila gagal menolong si pasien,” kataku dengan antusias ketika tiba-tiba mengingat sebuah film yang pernah kutonton, ”Aku sering melihatnya di film-film.”
”Ya, sebuah prosedur, ’kami sesudah berusaha, tapi Tuhan berkata lain’. Seperti kukatakan tadi, itu akan membuat kami tidak bertanggung jawab atas tidak tertolongnya si pasien. Semacam pengalihan tanggung jawab kepada sesuatu yang ’yang terjangkau’ dan tidak akan ada yang bisa menuntutnya,” katanya.
”Memang diajarkan seperti itu?” tanyaku penasaran.
Ia malah tertawa karena mungkin merasa disindir, ”Aku juga belajar kalimat itu dari film-film. Aku hanya menyimpulkan sendiri kegunaannya.”
***
Lain waktu, aku sendiri yang harus berurusan dengan dokter dan rumah sakit. Sebuah titik di kepalaku infeksi karena kebanyakan digaruk dan terluka. Baunya seperti daging yang busuk.
Oleh bagian registrasi rumah sakit aku diarahkan ke bagian spesialis penyakit dalam. Seorang perawat memeriksaku sebelum bertemu si dokter.
”Ini infeksi yang gawat,” katanya setelah memeriksa lukaku. Meskipun aku sangsi kalau ia benar-benar memeriksanya. Ia terlihat hanya melihatnya sekilas dengan pandangan jijik.
”Ini mesti dioperasi,” katanya kemudian sambil menulis sesuatu di secarik kertas, ”tapi sebelum itu, harus periksa darah dulu.”
”Ini kan cuma infeksi biasa,” kataku. Aku bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ia bisa menyimpulkan secepat itu tanpa harus memeriksa lukaku dengan saksama. Apalagi ia terlihat lebih seperti staf administrasi, bukan perawat yang terlatih.
Ia mengeleng. Kalau tidak segera dioperasi nanti akan semakin parah, katanya.
”Biasanya ongkos periksa darah berapa?” tanyaku penasaran.
”Kalau tidak punya ASKES ongkosnya ratusan ribu.”
”Operasi?”
”Dua jutaan dan bisa lebih mahal lagi,” katanya cepat, seperti sudah menghapal semua kalimat yang akan diucapkannya.
Kini aku yang panik. Aku hanya punya uang puluhan ribu di kantongku. Bahkan ditambahkan dengan tabunganku di bank juga tidak akan cukup. Melihat kepanikanku, perawat tadi lalu menunjukkan jurus ampuhnya.
”Kamu tidak punya uang sebanyak itu?” tanyanya dengan nada seperti sebuah pernyataan empati.
Aku mengangguk pasrah.
Ia mendekatkan badannya ke arahku dan dengan suara sedikit berbisik berkata: ”Aku bisa membantu bicara dengan dokter. Kamu cukup datang ke tempat prakteknya. Ia bisa memberi diskon limapuluh persen untuk pasien yang tidak mampu, apalagi kalau mahasiswa seperti kamu,” katanya seperti sebuah bujukan, memberiku secarik kertas kartu nama si dokter.
Sekilas kuamati kartu nama itu. Aku menghitung-hitung dalam hati. Puih, setengah dari setengah biaya yang disebutkan perawat itu pun aku takkan sanggup.
Aku meninggalkan rumah sakit tanpa bertemu dengan dokter itu lagi. Bertemu dengan perawat itu saja sudah cukup menjadi teror bagiku.
Dan aku membayangkan hidupku takkan lama lagi.
***
Seorang teman menganjurkan periksa ke seorang mantri di kampung. Aku menurutinya, karena sepertinya cuma itu satu-satunya harapan yang bisa terjangkau.
Oleh si mantri aku hanya diperiksa beberapa menit, dan menyimpulkan hanya infeksi biasa. Dengan peralatan sederhana ia membersihkan luka di kepalaku, memberinya suntikan bius lokal, dan memotong bagian kulit yang infeksi dan mengeluarkan bau yang tidak sedap itu. Jauh di luar dugaanku ia hanya meminta pembayaran duapuluh ribu rupiah sebagai ganti obat dan perban. **
Makassar, Februari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar