Rabu, 04 Mei 2011

Puang Lolo

Oleh Wahyu Chandra
            Andai saja aku tak mengenalnya dengan baik, maka pastilah akan beranggapan seperti orang-orang kebanyakan selama ini bahwa orang itu gila. Tingkah lakunya jauh dari kewarasan dan memancing tawa siapapun yang melihat dan mendengarkan ucapan-ucapannya. Adalah hal yang lazim dalam hidup ini bahwa kita cenderung menilai seseorang dari tampilan luar belaka dan melupakan sesuatu yang lebih esensial--sesuatu yang oleh segelintir orang malah di sembunyikan. Amat berbeda pula dengan kebanyakan orang yang justru dari tampilan luarnya adalah sebagai orang yang bermartabat tinggi tapi ternyata adalah serigala yang berbulu domba.
            Orang-orang sekampung memanggilnya Puang Lolo maka aku pun memanggilnya demikian, walau menurut sebuah penjelasan yang bisa dipercaya sebenarnya ia punya nama lain tapi ia disebut Puang Lolo karena selalu tampak malolo yang dalam istilah bugis berarti muda. Puang sendiri adalah gelar kebangsawanan di masyarakat bugis dan itu berarti Puang Lolo adalah keturunan bangsawan. Mungkin karena itu pula masyarakat tidak pernah mempermasalahkan tindak tanduknya yang di luar prilaku kewajaran untuk masyarakat setempat.
            Umurnya kuyakin sudah uzur walau kondisi tubuhnya masih terlihat sehat walafiat. Bentuk fisiknya atletis dan giginya yang masih utuh. Ketika aku menanyakan perihal kebugarannya itu, ia menjawab tidak punya resep khusus. Yang ia lakukan hanyalah rutinitas keseharian yang bersember pada ajaran agama. Shalat pada waktunya, makan tidak berlebihan, puasa senin kamis. Semua rahasia kebugarannya dijelaskan dengan filosofis keagamaan.
            “Air wudhu yang membasahi wajah membuatmu akan selalu bersinar dan berseri-seri serta juga bersih. Ibarat sebuah benda yang senantiasa dibersihkan, kotoran apa lagi yang bisa tersisa padanya?”
            Perihal ia dituding gila sebenarnya adalah hal yang wajar-wajar saja. Itu kupahami kemudian setelah mencermati setiap tingkah lakunya. Ia senang berteriak di setiap keramaian orang dengan ajakan kebajikan. Bagiku itu hanya upaya dakwah karena ia berteriak justru untuk memberitahu orang-orang agar menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Hanya caranya penyampaiannya di luar kelaziman. Pakaiannya yang penuh tambalan bagiku itu hanyalah bukti kesederhanaan hidupnya. Ia mampu membeli beberapa pakaian yang ia butuhkan karena punya gaji bulanan hingga mati kelak. Ia seorang veteran perang perjuangan 45 berpangkat Sersan. Ia tahu sejarah perjuangan di daerah kami dan tahu siapa yang benar-benar berjuang dan yang tidak melakukan apa-apa tapi justru digelari pahlawan. Ia pun tak pernah mengenakan alas kaki dan kuyakin itu juga salah satu penjelasan kebugarannya selama ini. Yang justru membuatku berpikir tentang dirinya adalah bahwa ia selalu merasa masih dalam suasana perang kemerdekaan. Ia masih beranggapan bahwa Belanda masih bercokol di nusantara ini. Mungkin semacam trauma perang, walau aku tak yakin dengan perkiraanku.
            Kebiasaan unik yang membuatnya disenangi anak-anak kecil adalah memberi mereka permen atau makanan kecil lainnya sehabis tanggal gajian hingga aku kadang berpikir bahwa tak ada yang ia nikmati dari gajinya itu selain hanya sebagian kecil saja. Bahkan sebagian orang dewasa kerap kali meminta uang pembeli rokok darinya dan orang tua itu memberi mereka uang dengan senang hati dan ekspresi kepuasan di wajahnya.
            Aku senang bila ia mulai bercerita. Sehabis shalat magrib ia akan mengambil posisi yang sama tiap harinya di sebuah pilar Mesjid dan duduk bersandar dengan tasbih lusuh di tangannya. Sajadah dan kopiah yang ia pakai pun sudah sangat berkarat hingga  bila ia berbagi sajadah pada orang di sampingnya di saat shalat, maka orang itu akan menepisnya walau dengan cara halus agar tidak menyakiti perasaannya. Walau ia dituding gila namun orang-orang sangat mengormatinya. Kampung kami rasanya takkan lengkap tanpa keberadaannya. Ia punya banyak lelucon-lelucon segar yang bisa membuat kita terpingkal-pingkal mendengarnya sekaligus memetik hikmah yang mendalam dari lelucon-leluconnya itu. Dan karena kesadaranku akan kesucian hatinya maka aku pun sangat menghormatinya dan setia mendengar cerita-ceritanya yang penuh hikmah.
            Kalau ia bercerita, biasanya anak-anak akan duduk melingkar mengelilingi dan ia pun bercerita dengan gaya yang khas, meletup-letup hingga orang yang tepat berada di depannya harus bersiap menerima semprotan air dari mulutnya. Ia biasanya bercerita tentang nabi dan rasul serta cerita-cerita kepahlawanan sahabat-sahabat Rasulullah. Dia antara sahabat Rasululah yang paling dia kagumi adalah Abu Dzar dan Khalid bin Whalid. Abu Dzar dianggap mewakili kesederhanaan hidup yang  juga selalu disampaikannya pada setiap orang, sedang Khalid bin Whalid mewakili keberanian hidup dan totalitas perjuangan untuk membangun kebesaran Islam. Dan di akhir cerita pesan-pesan pun mengalir agar kita mengikuti aqidah dan perbuatan-perbuatan baik mereka.
            Suatu waktu ketika ia lagi duduk sendiri di bawah sebuah pohon sambil membersihkan sepedanya yang sudah sangat tua, aku menghampiri dan ia menyambut dengan ramah, seperti yang  biasa dilakukannya pada semua orang.
            “Sini Nak duduk. Di tempat ini sangat sejuk hingga kadang aku berpikir bahwa seandainya surga hanya akan seperti ini keadaannya, aku sudah akan sangat senang bila diperkenankan tinggal di dalamnya kelak.”
            Aku mengambil posisi duduk tepat di sampingnya dan mengamatinya menggosok-gosok velg sepedanya hingga mengkilat kembali. Inilah pertama kali aku melihatnya dengan saksama. Guratan ketuaan sudah terlihat jelas di wajahnya tapi memang masih terlihat kokoh. Anak muda yang kuat pun kuyakin akan berpikir dua kali untuk menantang adu fisik.
            Aku iseng-iseng bertanya akhirnya. Pertanyaan yang sebenarnya muncul begitu saja tanpa kupikirkan sebelumnya, “Kalau Puang diberi kesempatan hidup lebih lama, berapa tahun yang Puang inginkan?”
            “Tujuh puluh tahun,” jawabnya spontan dan kuyakin tanpa ia pikirkan. Kupikir ia hanya iseng pula menjawab dengan spontanitas seperti itu. Tapi tetap juga aku butuh jawaban kenapa tujuhpuluh tahun, “Kenapa tujuh puluh Puang?”
            Ia tertawa setelah melirikku sejenak dan aku  memasang wajah serius. Mungkin karena itu pulalah yang membuatnya tertawa.
“Aku ingin hidup selama usiaku sekarang.” Seadanya ia menjawab. Benar-benar mengusik keingintahuanku.
“Kenapa?”
Ia masih tertawa, tapi aku tidak tersinggung bila seandainya ia benar-benar menertawaiku, karena kuyakin ia punya penjelasan menarik untuk setiap jawabannya.
“Aku merasa  belum melakukan apa-apa dalam hidup ini. Aku ingin hidup lebih lama  bila memang diperkenankan sekedar untuk memperbanyak ibadah. Sesuatu yang selama ini jarang kulakukan.”
Aku semakin terheran-heran dengan jawabannya itu. Selama ini aku merasa di kampung kami dialah yang paling saleh (selain gila menurut orang tentunya). Ia yang paling pertama masuk masjid dan paling akhir keluar. Setiap diberi rezki dibagikannya pada orang lain tanpa peduli bahwa sebenarnya ia pun sangat membutuhkannya. Setiap orang yang meminta pertolongan akan dibantunya dengan senang hati. Apa lagi yang kurang dari dirinya, “Apa lagi yang kurang dari Puang selama ini yang menurutku  sudah teramat saleh.”
Tawanya semakin keras. Mulanya aku mengira ia menertawai kebloonganku dan agak malu juga rasanya. Tapi tatapan matanya membuatku berpikir lain. Ia sedang menertawai sesuatu yang lebih besar. Mungkin menertawai kehidupan.
“Apa kamu yakin dengan semua yang telah kulakukan selama ini dapat membuatku menjadi salah seorang penghuni surga?”
Aku mengangguk. 
Ia menggeleng.
“Semua itu belum cukup anakku. Dan aku pun tak terlalu yakin dengan diriku selama ini.” Ia lalu menatap kosong ke hamparan lapangan rumput di depan kami yang biasa di tempati orang main sepak bola.
“Maksud Puang?” semakin bingung dengan penjelasannya.
“Selama ini setiap melakukan kebaikan maka aku selalu berpikir orang-orang akan menyukaiku karenanya. Itu bukanlah sebuah ketulusan. Itu riya walaupun mungkin kecil dan tanpa disadari. Ketika aku berpakaian seadanya dan berprilaku seadanya pula maka itu pun karena aku ingin dilihat sebagai panutan untuk sebuah kesederhanaan hidup. Itu pun riya anakku. Ketika beribadah maka yang terbayang padaku adalah gambaran surga yang kan kutempati kelak seakan-akan aku benar-benar akan di tempatkan di dalamnya. Bukankah itu adalah sebuah kesombongan spritual? Dan hal itu terus menerus terjadi dalam diriku tanpa kusadari dan ketika tersadar aku hanya bisa menyesalinya.
“Dan aku pun khilaf selama ini di masa laluku. Aku rajin beribadah memang, tapi atak pernah menganjurkan orang-orang untuk itu. Aku terlalu egois dan ingin beribadah untuk kepentingan diri sendiri. Aku telah memonopoli Tuhan dan tidak pernah mencoba untuk membaginya pada orang lain. Aku menjadi otoriter dalam segala tindakan karena selalu muncul dalam hati kecilku bahwa akulah yang selalu di pihak benar dan menuduh orang lain yang tak sepaham denganku sebagai orang-orang yang dilaknat. Bahkan untuk sekedar untuk menyembah Tuhan pun aku berbuat serakah.”
Aku mencoba menangkap makna setiap kata-katanya dan aku takjub dengan semua penjelasannya itu. Betapa besar kesadaran orang tua ini sementara aku sendiri yang ibadahnya masih kembang kempis sudah mengklaim diri sebagai hamba Allah yang paling suci. Aku tiba-tiba malu dengan diriku sendiri. Mesti kusembunyikan mukaku ini ya Allah?
“Karena itulah semua, aku ingin diberi kesempatan hidup tujuh puluh tahun lagi agar aku bisa berbuat lebih banyak dalam hidup ini, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga bagi orang lain.”
Bagiku ia bukanlah seorang gila seperti sangkaan orang selama ini tapi benar-benar gila. Ia seorang sufi.
***
Makassar, 1998-2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar