Minggu, 31 Juli 2011

Sang Malaikat Maut (17)

Oleh Wahyu Chandra

Dalam diri Coki, Maya Calisa menemukan sosok seorang kakak yang dirindukannya selama ini. Dulu ia punya seorang kakak laki-laki, Ferdi, yang bertaut tiga tahun dengannya. Mereka begitu saling menyayangi satu sama lain. Ferdi yang senang dengan kehadiran seorang adik ketika berumur tiga tahun benar-benar memanjakan sang adik baru, seperti boneka kesayangan yang enggan dilepasnya. Mereka berdua tumbuh dewasa dengan bahagia, saling berbagi terhadap apa pun yang dimiliki. Saling berbagi rahasia tentang apa saja yang mereka ingin sembunyikan, meski kemudian Maya menyadari bahwa tak banyak kehidupan kakaknya yang benar-benar diketahuinya.

Kakaknya terjerumus dalam kehidupan jankis, suatu hal yang baru diketahuinya ketika menemukan kakaknya itu terbujur kaku dengan mulut berbusa di kamarnya. Tak ada apapun yang bisa dilakukannya saat itu, selain menangis sejadi-jadinya hingga membangunkan semua orang. Ia telah kehilangan segalanya. Bukan kematian kakaknya itu saja yang menggoncangnya, tetapi kenyataan bahwa ia tak mampu menjaga kakaknya selama ini. Ia selalu merasa bahwa dirinyalah yang paling memahami kakaknya selama ini, dan sepanjang pengetahuannya tak ada satupun hal yang salah dengan kehidupan kakaknya. Mereka adalah keluarga baik-baik, dan selama ini selalu baik-baik saja. Tapi darimana goncangan itu tiba-tiba datang? Saat itu, untuk pertama kalinya ia merasa asing dengan kehidupannya selama ini. Bahwa dalam air yang tenang ternyata mengandung ombak yang maha besar. Butuh sekian tahun baginya untuk meredakan gejolak di hatinya.

Kehadiran Coki seperti menghadirkan kembali kenangan yang hampir dikuburnya. Kenangan akan kebersamaannya dengan sang kakak yang selalu melindunginya dari apapun dan siapapun.

Maya Calisa sadar ia tak bisa berharap banyak dengan perasaannya sekarang. Tak banyak hal yang diketahuinya tentang sosok lelaki yang tiba-tiba menjadi penyelamat dari situasi yang dihadapinya. Apalagi ia seorang debt collector, yang sangat tidak populer di mata banyak orang. Tidak banyak orang yang mau menjalani kehidupan sebagai seorang debt collector jika ia bukan seorang yang terbiasa dengan kehidupan yang keras. Maya sempat berpikir bahwa Coki mungkin sedang mendekati dirinya dengan memberinya kebaikan-kebaikan kecil untuk sebuah rasa simpati. Tapi ia kemudian merasa malu dengan kecurigaannya itu. Betapa tak berterima kasihnya dirinya dengan menuduh orang yang telah membantunya. Suatu yang pasti bahwa Coki benar-benar berhasil meraih rasa simpatinya, dengan atau tanpa diinginkannya sedikit pun.

Kecurigaannya menjadi punah ketika dalam berhari-hari ia tidak mendapat kabar sedikit pun dari lelaki itu. Jika lelaki itu benar-benar ingin berupaya mendekatinya, maka ia pasti akan menunjukkannya. Mungkin ia akan menulis pesan singkat menanyakan keadaannya atau malah langsung menghubunginya, berbasa-basi menanyakan sesuatu yang tidak penting. Seminggu berlalu tanpa semua itu. Maya malah uring-uringan sendiri. Tak banyak hal yang bisa dilakukannya agar mereka bisa bertemu kembali. Satu-satunya alasan yang bisa mempertemukan mereka adalah dengan menunggak tagihan dan lelaki itu pasti akan mendatanganiya, karena itulah yang memang menjadi tugasnya, meniup semprit bagi yang melanggar, lalu pada akhirnya memberi finalti jika tak benar-benar digubris. Tapi ia tidak akan sebodoh itu melakukan hal yang sama dua kali. Ia sudah berjanji kejadian itu hanya akan sekali terjadi dalam hidupnya, karena seorang buta pun takkan pernah jatuh di lubang yang sama dua kali.

Apa yang kupikirkan? Kembali Maya mencela dirinya. Ia merebahkan diri di kasur tempat tidurnya dengan tangan terlentang. Ia tak punya gambaran sedikit pun akan kehidupannya kemudian. Yang ada kini hanya rasa kosong di hatinya. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, ia merasa sangat tak berarti dalam hidup ini dan tak satu pun yang menyenangkan untuk dipikirkan. Bayangan lelaki itu, yang sesekali datang berkelebat hanya menimbulkan rasa sakit. Ia kembali lagi mencela dirinya, mencela kehidupannya, menempatkan dirinya sendiri dalam jurang keputusasaan yang dalam. Ia mencela dirinya yang tak pernah jujur dengan dirinya sendiri tentang perasaannya. HP-nya tiba-tiba bergetar mengagetkannya, membangunkannya dari lamunan. Ia tersenyum pada akhirnya melihat sebuah pesan singkat: Semoga ini waktu yang tepat untuk menagih sebuah utang. Aku ada di kafe sekarang jika memungkinkan bagimu untuk datang. Coki.

Maya refleks berdiri dari rebahannya. Sesuatu yang tidak disadarinya ia lakukan. Tapi ia tidak ingin berdebat dengan dirinya sendiri saat ini. Dalam sekejap ia menyulap dirinya serapi dan seanggun mungkin. Ia sepertinya lupa, sesaat lalu dirinya adalah seonggok sampah di jurang yang dalam. Lupa pada celaannya atas diri dan kehidupannya. Lupa akan perasaan tak berdaya dan tak menyenangkan yang dirasakannya. Di depannya kini hanya sebuah bentangan taman penuh bunga-bunga berwarna-warni.



Membunuh karena uang adalah konsep yang menjijikkan bagi sebagian besar orang. Bagaimana mereka hidup dari uang yang berlumuran darah? Begitulah selalu pikiran yang muncul di benak orang-orang tentang pembunuh bayaran.


Di zaman dulu, di sebuah desa di Jepang, hidup sekelompok orang yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran. Tribe. Mereka bukan pembunuh bayaran dadakan yang menjalani profesi ini karena keterpaksaan. Bagi mereka menjadi pembunuh bayaran adalah panggilan jiwa dimana alam pun telah memberi mereka begitu banyak anugerah yang mendukung profesi mereka. Seorang Tribe adalah pembunuh dengan bakat alami tertentu, mereka umumnya memiliki kemampuan mendengar yang sangat baik dan sangat ahli dalam penyamaran. Tak ada satu hal pun yang lolos dari pengamatan mereka. Jika salah seorang dari mereka mencoba menghindari takdirnya, maka mereka harus membayarnya dengan nyawa mereka sendiri. Karena seorang Tribe yang menolak takdirnya sebagai pembunuh bayaran, adalah orang yang menolak kehidupan itu sendiri.

Tengok pula kisah tentang bangsa Saracen dari suku Ismailiyah. Mereka adalah masyarakat dengan ideologi kematian yang maha mempesona. Mereka hidup dari kematian orang lain, menjadi kaki tangan para pangeran yang ingin memusnahkan saingan-saingan mereka. Mereka digambarkan hidup dalam sebuah pegunungan yang hanya bisa dimasuki melalui sebuah lubang sempit yang dijaga ketat. Merekalah laskar para pembunuh yang namanya kemudian diabadikan sebagai assassin, pembunuh bayaran.

Seberapa pentingkah uang bagi sang Malaikat Maut? Uang seperti tak berarti baginya, meski ia terus menumpuknya di sebuah rekening yang tak terlacak. Seseorang mungkin mencoba menelusuri jejak uang yang dimilikinya, hasil dari semua aksinya selama ini, di bank Swiss berbekal ratusan surat sakti dari berbagai negara. Tapi mereka benar-benar melakukan hal yang sia-sia. Swiss adalah satu-satunya negara dengan otoritas perbankan yang tak tersentuh oleh kuasa manapun. Pernah suatu ketika dilakukan pengusutan harta seorang diktator dari sebuah negara berkembang yang tergulingkan, dan ketika surat perintah itu diterbitkan, hanya menjadi kertas sampah yang tak berarti. Kendala yang sama dihadapi ketika sebuah rezim dunia mencoba meredam laju pencucian uang, dengan mencoba melakukan intervensi perbankan. Namun Swiss memang sebuah benteng yang tak tertembus. Surga bagi para koruptor dan para penjahat-penjahat kelas kakap yang bingung bagaimana menyembunyikan uang hasil kejahatannya. Hal yang bisa dilakukan hanyalah menelusuri aliran dana itu sebelum berakhir di salah satu bank di Swiss.

Membayangkan seorang Malaikat Maut, dalam kaitannya dengan uang, maka bayangkanlah tokoh Joker dalam film Batman. Dengan pongahnya ia membakar uang hasil jarahannya, karena uang bukanlah sebuah tujuan baginya. Uang hanyalah alat untuk sebuah tujuan yang lebih besar: kuasa seperti halnya Tuhan. Konsep kuasa selalu terdengar absurd bagi sebagian orang, karena kuasa bukan hanya semata-mata kendali atas dunia yang maha luas. Kuasa juga adalah hasrat untuk mencapai kemanusiaan sejati. Dalam kuasa, manusia mencapai eksistensi dirinya. Kalau kuasa atas yang hidup memberimu kebahagiaan yang tak terkira, maka coba bayangkan kebahagiaan yang jauh tak terkira jika kita memiliki kuasa bagi yang mati. Dalam kuasa meniadakan yang ada menjadi ada, manusia menjelma menjadi Tuhan: sesuatu yang Maha Berkehendak atas segalanya. Begitulah sang Malaikat Maut harus dipahami.

Pada salah satu misi pembunuhan yang dilakukannya, salah seorang korban yang menyadari dirinya sedang diincar mencoba mengelak. Malaikat Maut, sang perencana sejati, telah memperkirakan segalanya. Dengan sigap ia segera berada di tempat dimana tujuan orang itu. Tempat dimana si korban itu merasa sangat aman. Tapi sang Malaikat Maut sudah ada di sana dengan tangan terbuka, dalam remang-remang cahaya malam. Si korban, yang mulai tersudut dengan ketakutan luar biasa bertanya: “Bagaimana kau bisa menemukanku di sini? Bagaimana kau akan membunuhku di tempat ini?”

Sang Malaikat Maut hanya tertawa dengan bangga. Katanya, “Apa kamu pikir bisa lari takdirmu? Jika kematian mengincarmu, maka tak ada tempat yang benar-benar aman untukmu. Semakin kau menghindarinya maka semakin pula ia mendekatimu.”

Alih-alih segera membunuh korbannya, Malaikat Maut malah bercerita tentang sebuah kisah, yang tak pernah ia tahu tiba-tiba berada dalam ingatannya.

Dulu hidup seorang pemuda yang tampan. Ia datang ke istana menghadap sang Raja. Sang Raja, seorang yang bijak dengan kemampuan berkomunikasi dengan segala macam makhluk hidup, jin dan bahkan malaikat, tampak sedang berbicara berbisik dengan seseorang. Pandangan mereka sesekali menatap ke pemuda tampan itu. Lelaki yang membisiki sang Raja pun akhirnya pergi entah kemana meninggalkan istana itu. Sang pemuda yang merasa sedang dibicarakan bertanya pada sang Raja.

“Ada apa gerangan Baginda dengan orang tadi. Ia tampak sangat kebingungan dan kalau tidak salah kalian menatapku dengan tajam seakan akulah yang menjadi objek pembicaraan kalian.”

“Memang benar, anak muda,” ujar sang Raja, “Orang itu sedang membicarakan dirimu.” Lalu sang Raja menceritakan bahwa orang itu adalah malaikat maut yang akan segera mencabut nyawa pemuda itu.

Pemuda itu menjadi sangat pucat dan memohon perlindungan pada sang Raja. Raja yang bijak menyatakan bahwa ia tak bisa membantunya menghindar dari kematian karena itu adalah takdir setiap orang.

“Aku tidak memintamu membelaku darinya baginda. Aku hanya meminta sedikit pertolonganmu, membawaku ke tempat paling aman di dunia ini. Tempat dimana sang Malaikat Maut takkan menemukanku.”

Sang Raja menyanggupinya, namun ia tak tahu tempat yang dimaksud pemuda itu.

“Aku tahu tempat itu baginda dan aku hanya butuh kendaraan untuk menuju ke sana.”

Maka sang Raja pun memberinya sebuah permadani terbang yang kemudian membawa pemuda itu ke sebuah gunung tertinggi di dunia, tempat dimana pemuda itu pikir sang Malaikat Maut takkan mampu menemukannya.

Dengan lega, bersama permadani terbangnya, si pemuda pun sampai di puncak gunung itu. Baru saja kakinya menginjak ke tanah ketika ia tersentak kaget melihat bahwa orang itu, malaikat maut telah berdiri di depannya, seperti memang berada di tempat itu untuk menunggunya.

Kata sang malaikat maut, “Tadi aku sempat bingung bagaimana membawamu ke tempat ini, karena takdir telah menuliskan bahwa kau akan mati di tempat ini. Aku katakan itu pada sang Raja dan ia tak bisa berbuat apa-apa untuk membantuku. Tapi syukurlah bahwa takdir sendirilah yang menuntunmu ke tempat ini, suka atau tidak suka.”

Dan begitulah pemuda tadi menghadapi takdirnya. Adalah pongah jika manusia berpikir bahwa ia adalah raja bagi dirinya sendiri. Manusia bahkan tak pernah tahu apa yang akan dihadapinya hingga dijalaninya sendiri nasibnya itu.

Seberapa pentingkah uang bagi sang Malaikat Maut? Uang baginya hanyalah alat untuk mencapai tujuan-tujuannya. Uang dalam jumlah besar yang harus dibayarkan padanya untuk sebuah pembunuhan juga tak lebih daripada sebuah mahar, karena kematian selalu punya harga. Harga yang haruslah sangat mahal. Secara acak ia mengirimkan uang ke rekening-rekening orang-orang yang ia anggap membutuhkannya. Baginya, uang itu haruslah bisa mengganti yang terenggut. Jika kau telah mengambil sebuah kematian, maka kau pun harus menggantinya dengan seribu kehidupan.



(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar