Minggu, 31 Juli 2011

Sang Malaikat Maut (18)

Oleh Wahyu Chandra

“Abang sudah menikah?” pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Maya dan ia terlambat untuk menyesalinya. Ia tiba-tiba menjadi panik. Jangan-jangan ia pikir aku sedang menggodanya.

Coki pun seperti tak siap dengan pertanyaan itu. Namun ia segera memperlihatkan jemarinya, dimana tak ada satupun cincin yang melingkar di sana.

“Maaf dengan pertanyaan itu. Aku hanya tidak ingin ada prasangka dari orang lain. Mungkin saja tiba-tiba seseorang datang dan melabrak aku sebagai penggoda suami orang,” jelas Maya dengan sedikit gugup. Apakah ia curiga ada maksud lain dari pertanyaanku itu?

Coki malah tertawa cekikikan, “Satu-satunya orang yang mungkin akan datang melabrak adalah atasanku, yang mengira aku sedang menggoda seorang klien.”

Maya terlihat tersenyum lega. Jangan-jangan ia mulai berprasangka dengan pertanyaan itu?

Coki sepertinya bimbang untuk sebuah jawaban yang lain. Dan ia pun memutuskan bahwa masih tersedia cukup waktu untuk menceritakan segalanya suatu saat kelak.

Maya yang masih terlihat canggung, sepertinya kesulitan memulai sebuah pembicaraan yang terlihat wajar. Dengan kalimat-kalimat yang wajar dan tidak membuatnya terlihat murahan di depan lelaki itu. Ia harus mampu menunjukkan bahwa pertemuan itu tidak bermakna apa-apa selain seperti yang semestinya. Hanya sebuah utang yang harus dibayarkannya.

Coki yang mungkin memahami posisi wanita itu mencoba menetralkan situasi. Ia lalu bercerita tentang hal-hal yang menggelikannya sehari ini. Seorang wanita tua yang gagal melunasi tagihannya mencoba menyogoknya dengan mengenalkannya dengan anaknya yang masih sangat muda.

“Aku sebenarnya kasihan dengan apa yang dilakukannya,” ungkap Coki sambil cekikan, “dan ia hanya mencoba mengalihkanku dari tugas yang seharusnya kulakukan.”

“Lalu apa yang kau lakukan?” tanya Maya dengan penasaran. Mengapa ia menceritakan hal ini padaku?

“Aku bilang anaknya sangat cantik dan pasti akan sangat banyak lelaki yang akan menginginkannya. Apalagi ia masih sangat muda,” lanjut Coki.

“Lalu?” Kenapa ini mulai terasa menyiksa?

“Ia lalu menanyakan hal sama dengan yang kau tanyakan tadi.”

Maya terlihat cemas. Mungkin ia memang mengira aku sedang menggodanya?

“Aku hanya tersenyum. Aku bilang ia tak harus membayar cicilan itu hari ini jika memang belum sanggup. Tapi ia harus berjanji untuk melunasinya dalam dua minggu ini. Ia mungkin menganggap aku terjebak dalam permainannya, meski sebenarnya aku hanya ingin memberinya sedikit kelonggaran. Orang tua mana yang tega dan rela mengorbankan anaknya jika ia memang tidak sedang dalam situasi yang kritis?”

Mungkin ia memang tergoda atau sempat tergoda. Apalagi anak wanita itu yang masih muda. Lelaki mana yang menolak wanita dengan kemudaannya?

“Sekritis apapun kondisinya ia tak punya hak melakukannya,” ujar Maya setengah berbisik.

Coki mengangguk mengiayakan, “Aku mungkin salah dengan memberinya keringanan dan membiarkannya berpikir aku tergoda dengan tindakannya, tapi aku tetap merasa harus membantunya. Setidaknya aku tidak terlihat terlalu menakutkan sebagaimana ia dan kalian sangka selama ini.” Coki hampir tertawa ketika mengatakannya.

Lalu mereka bercerita tentang hal lain. Hal-hal yang remeh-remeh di sekitar mereka. Tentang cuaca yang tak pernah stabil, kemarau panjang yang membuat jalanan terasa seperti dipanggang. Tentang banyaknya anak-anak yang berkeliaran mengemis di tiap lampu merah. Tentang banyaknya sinetron di televisi yang tidak berbobot dan jauh dari unsur edukasi. Mereka sepertinya, disadari atau tidak, mencoba mencari kesesuaian satu sama lain. Mereka saling menilai dalam hati kecil mereka.

Apakah kita akan bertemu lagi?

Maya menatap tak pasti ketika Coki berdiri dan mereka akan segera terpisah. Ia mengambil tasnya dari meja. Keduanya berjalan menuju halaman parkir.

Bagaimana caranya agar kita bisa bertemu lagi?

Maya menyalakan motornya terlebih dahulu. Ia telah siap berangkat ketika Coki tersenyum padanya sambil berkata, “Ini sangat menyenangkan. Aku harap kamu tidak bosan bertemu denganku besok atau kapan pun. Bisa kita bertemu lagi kapan-kapan, mungkin makan seperti tadi di sini atau di tempat lain, atau mengajakmu ke tempat lain?”

Tak butuh banyak waktu Maya untuk memikirkannya karena ia segera mengangguk sambil tersenyum. Apakah ia bisa membaca pikiranku?






Sembilan bulan dengan segala kuasa di tangannya membuat Maskito merasa betapa menyenangkannya memiliki kendali atas segala hal. Ia mengambil apa yang bisa diambilnya, bahkan sesuatu hal yang paling dihindari oleh Big Boss. Meski mengelola perusahaan yang menjadi surga bagi para pencuci uang, Big Boss tak pernah sedikit pun tertarik dengan usaha yang dikelola sebagian besar kliennya, yaitu menjadi bandar narkoba. Big Boss tanpa pernah menjelaskannya sedikit pun padanya, kenapa tidak pernah mau menyentuh bisnis paling menguntungkan itu. Ia pernah membicarakannya dengan Big Boss namun tak pernah ada respon sedikit pun. Big Boss hanya akan berkata sambil tersenyum, “Ini sudah lebih dari cukup. Jika seseorang sudah mengharap lebih dari yang seharusnya maka kelak ia akan runtuh dengan sendirinya.”

Maskito mencoba bertanya lebih jauh, namun tampaknya Big Boss memang tak pernah memikirkan kemungkinan itu.

Tanpa sepengetahuan Big Boss, Maskito pun mulai melakukan apa yang selama ini dipikirkannya. Ia melihat betapa potensi keuntungan yang sangat besar terpampang di depannya tanpa harus mengeluarkan modal se-sen pun. Ia akan menunda transfer uang dari para klien, mungkin seminggu atau sedikit lebih lama, dan takkan pernah ada yang menyadarinya. Uang itu akan berkembang jauh lebih banyak dan terus berlipat ganda. Tak ada kesulitan sedikit pun untuk mengelola uang itu, karena dengan semua sistem yang dimilikinya, ia mampu melakukan segalanya.

Maskito sadar dengan resiko dari setiap tindakan makarnya, namun bukankah selama ini ia sudah terbiasa dengan segala macam resiko? Ketika ia memutuskan meninggalkan kampung halaman dengan sedikit modal yang bahkan tak mampu menghidupi kesehariannya adalah resiko yang tak kalah besarnya. Resiko adalah bagian dari hidup dan mereka yang tak pernah menghadapinya takkan pernah mendapatkan apa yang diinginkannya.

Hanya dalam hitungan bulan ia pun mampu memasuki semua jaringan perdagangan narkoba internasional, mengambil peran di dalamnya, sekaligus menyediakan jalan keluar bagi yang bermasalah dengan penyimpanan uangnya. Ia mengumpulkan semua bandar besar narkoba dari berbagai negara dan melakukan sedikit presentasi, sekedar jaminan bagi mereka bahwa ia mampu melakukan segalanya. Ia menawarkan sistem baru yang lebih sulit terdeteksi dan jaminan bahwa dengan semua kendali ada padanya maka takkan ada yang berani menyentuh mereka.

Para bandar itu tentu saja tergiur dengan semua tawaran Maskito. Dalam dua tahun terakhir bisnis narkoba memang sedang menghadapi masa suram. Tak banyak jalan yang tersedia mereka untuk berbisnis secara aman sekaligus menguntungkan. Semakin sedikit pejabat di negara-negara mereka yang bisa disuap atau pun kalau ada malah menginginkan porsi yang lebih besar. Semakin besar resiko, maka akan semakin besar harganya.

Ketika para bandar itu butuh contoh sukses, Maskito memaparkan portofolionya yang tak tercela dengan nihil kegagalan. Termasuk kedekatannya dengan banyak petinggi kepolisian. Maskito pada akhirnya mampu menarik hati para bandar itu. Ia kelak akan menjadi raja di raja bagi para pengedar narkoba di mana pun, khususnya di kawasan Asia.

Satu-satunya hambatan saat ini adalah Big Boss sendiri, yang meskipun kehadirannya secara fisik tak diketahui, namun seperti hantu, ia menjadi momok yang menakutkan jika tidak segera disingkirkan. Selama ini tak ada seorang pun di jajaran direksi perusahaan menentangnya karena ia punya mandat penuh dari Big Boss sendiri untuk menggantikan kehadirannya. Ia pun perlahan namun pasti terusa berupaya menarik dukungan dari para direksi itu. Big Boss adalah masa lalu, dan dirinya adalah masa depan cerah. Begitulah yang selalu dikatakannya pada para direksi secara hati-hati. Ia pun mulai memberi insentif pada mereka, dengan menghadiahi mobil-mobil mewah terbaru dan juga rumah yang lebih besar dan megah. Beberapa direksi yang awalnya ragu dengan keberpihakan mereka, lebih karena rasa takut pada Big Boss, mulai luluh dan menerimanya dengan tangan terbuka. Maskito adalah manajer yang ulung, yang menyadari bahwa rasa rakus akan kekuasaan dan kekayaan kadang mampu mengalahkan setiap rasa takut bahkan dari Tuhan sekali pun.

Ketidaktahuannya akan keberadaan Big Boss juga menjadi masalah tersendiri. Big Boss selalu menghubunginya secara anonim. Ia bisa dimana saja, bahkan mungkin saja selama ini ia tak benar-benar jauh darinya. Mungkin saja ia kini berada di sebuah tempat yang memungkinkannya mengawasinya tanpa diketahuinya sedikit pun. Apakah ia tahu apa yang sudah kulakukan semenjak ia pergi? Ketidaktahuan yang berlanjut dengan rasa takut adalah sebuah masalah yang harus segera terselesaikan. Tak ada jalan lain yang bisa dilakukannya selain menemukan teknologi yang memungkinkannya mengetahui keberadaan si penelpon, yang berarti ia harus menyadap telponnya sendiri.

Kesulitan terselesaikan ketika seorang kliennya dari Jepang menawarkan teknologi itu. Maskito memutuskan untuk meminjam alat itu, yang diterimanya secara gratis, meski pun ia tahu tak ada yang benar-benar gratis di dunia ini. Ia mengambil resiko berutang budi pada seorang Yakuza, meski ia tak pernah tahu dengan apa ia akan membayarnya kelak.

Tinggal sekarang adalah menunggu Big Boss menelpon, yang tak pernah ia ketahui waktunya. Ia pun melalui sebuah penantian yang panjang dan mendebarkan. Bagaimana jika ternyata Big Boss tahu ia sedang menyadapnya dan menjadi tidak senang karenanya. Bukankah itu sama saja dengan menyulut perang terbuka dengan orang yang telah membesarkannya selama ini?

Alat itu memang sangat ampuh dan bekerja dengan baik. Ketika Big Boss menelponnya, seperti biasanya, sekedar menanyakan perkembangan usaha mereka dan apakah semuanya baik-baik saja, di layar alat itu yang berfungsi sebagai GPS, muncullah lokasi geografis si penelpon. Maskito sedikit terkejut sekaligus senang ketika mengetahui bahwa Big Boss tidak benar-benar di luar negeri seperti yang dikatakannya selama ini, atau sedang berada di sebuah gedung yang tak jauh dari kantor mereka seperti yang dikhawatirkannya. Ia mencatat koordinatnya secara hati-hati sambil terus berbicara dengan atasannya itu.

Dengan rasa puas ia mulai menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya. Ia duduk bersandar di kursi tingginya, sambil mengatupkan kedua tangannya di depan hidungnya, dan sesekali memukul-mukulkan kedua ruas tangannya itu. Begitulah yang biasa dilakukannya jika sedang berpikir keras.

Sebuah gambaran berkelebat di kepalanya. Ia sepertinya telah memiliki sebuah pilihan tindakan yang akan dilakukannya. Ia pun menelpon salah seorang kliennya. Seorang triad dari Hongkong yang dikenal dengan kekejaman dan kelicikannya. Maskito selama ini tak pernah berkeinginan berinteraksi dengan orang ini kecuali untuk kepentingan bisnis. Tapi sebuah kepentingan lain jauh lebih mendesak untuk segera dilakukan. Dan hanya si Triad itu yang kemungkinan besar mampu memecahkan masalahnya.

Dengan rasa puas atas semua capaiannya saat ini, Maskito pun mengambil secarik kertas. Ia menuliskan sesuatu, sebagaimana disarankan oleh si triad itu, di sebuah kertas dan lalu memanggil sekretarisnya.

Si sekretaris, seorang wanita berumur 30-an, melihat sekilas ke kertas yang baru saja diterimanya dari bosnya. Ia tak habis pikir dengan apa yang diminta atasannya itu. Perintahnya sangat jelas, alasannyalah yang sangat tidak jelas. Sesaat ia ingin bertanya apakah bosnya serius atau hanya mencoba menggodanya. Tapi melihat ekspresi dari bosnya itu, maka wanita itu mengurungkan niatnya dan mulai menelpon ke bagian iklan sebuah media nasional.

“Bisa diulang sekali lagi Mbak isi iklannya?”

Dengan ragu dan perasaan merinding wanita itu membacakan kembali iklan yang diinginkannya, “Dibutuhkan sebuah peti mati berbahan kayu hitam. Bagi yang mampu menyediakannya harap menghubungi kami di nomor di bawah ini…”

Iklan peti mati? Wanita itu benar-benar tak habis pikir dengan iklan itu. Dan ia pun tak boleh menggunakan telpon kantor atau telpon pribadinya. Ia harus membeli sebuah nomor baru dan harus memusnahkan nomor itu setelah digunakan. Wanita itu benar-benar tak menyadari bahwa ia telah mencatat kematian seseorang dengan iklan itu. Iklan itu adalah sebuah pesan. Sebuah panggilan. Tak lama lagi sang Malaikat Maut akan menemukan korbannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar