Senin, 22 Agustus 2011

Gapura Kenangan



Saya punya kenangan tersendiri dengan acara 17-an. Ceritanya sekitar 16 tahun silam, ketika perayaan HUT RI ke-5o, tepatnya tahun 1995. Saya teringat perayaan 17-an tahun itu sangat berbeda, karena dinilai memiliki momentum tersendiri. Disebut HUT ‘emas’ karena usianya yang ke-50. Hiruk pikuk perayaan sangat terasa dimana-mana melebihi perayaan 17-an sebelum-sebelumnya. Tak terhitung baliho di jalanan untuk memeriahkannya. Om saya yang memiliki percetakan benar-benar kebanjiran orderan tahun itu.

Setiap jalan, lorong, sekolah-sekolah, instansi-instansi dan RT berlomba-lomba membangun Gapura atau pintu gerbang. Bahkan yang terhitung sebagai gang buntu pun tak ketinggalan ikut mendirikan gapura. Kebahagiaan merebak dimana-mana. Saya yang ketika itu baru saja tamat SMA juga kebanjiran orderan membuat baliho dan gapura. Saking banyaknya baliho yang saya buat sampai-sampai saya hapal betul logo HUT RI ke-50 ketika itu. Mungkin baru pada saat itu HUT RI dirayakan dengan logo khusus.

Lalu tiba-tiba saya harus berpindah kota dari Kabupaten Pinrang ke Kota Parepare, Sulsel, yang berjarak sekitar 30 km, dua minggu sebelum 17-an. Berbeda dengan tempat lain, RT dimana saya tinggal, kalau nggak salah namanya Kampung Pisang, tak memiliki gapura satu pun. Ada sekitar 4 jalanan di RT itu dan tak satu pun yang memiliki gapura. Terasa ada yang berbeda.

Saya baru beberapa hari di daerah tersebut dan saya belum mengenal tetangga seorang pun. Saya hanya kenal dengan tante dan dua orang anak dan 2 orang cucunya, tempat saya numpang hidup. Walhasil, teman bergaul saya hanya seorang saja, yaitu sepupu lelaki yang seumuran dengan saya.

Di depan rumah yang saya tempati adalah ujung jalan. Suatu sore, ketika sedang duduk di beranda rumah tiba-tiba kepikiran berbuat sesuatu. Saya tanya ke sepupu saya, ada nda bambu di sekitar tempat itu. Saya menyatakan niatan saya membuat sebuah gapura sederhana dari bambu, seadanya. Sepupu saya, yang bernama Budi ini ternyata tertarik dengan ide saya, maka sore itu juga ia pun mengumpulkan bambu-bambu tua yang ditemukannya berserakan di jalan. Kami tak punya kelengkapan apapun, selain sebuah parang (golok) untuk membelah bambu, maka peralatan lain seperti gergaji dan palu kami pinjam dari tetangga. Paku-paku dan tali untuk mengikat pun kami temukan di jalanan. Satu-satunya yang kami beli hanyalah cat merah, karena kebetulan persediaan cat putih Budi sepupu saya masih ada.

 
Sumber: http://dgi-indonesia.com/logo-1990-1999/

Setelah semua bahan dan alat terkumpul, yang tentu saja seadanya, kami berdua pun mulai membuat gapura sederhana. Karena dikerjakan di depan rumah, yang merupakan jalanan umum, maka aktivitas kami terpantau dari tetangga-tetangga. Menjelang magrib, satu dua orang tetangga mulai berdatangan untuk membantu. Tak lama kemudian tiba-tiba ada yang menyiapkan lampu penerang. Menjelang isya, tetangga, yang tak satu pun yang saya kenal, mulai banyak berdatangan. Bahkan ibu-ibu dan anak-anak gadisnya banyak yang datang membantu dan membawakan kue dan kopi. Kampung itu tiba-tiba ramai. Jika awalnya konsep gapura kami hanya seadanya, maka sekarang sepertinya akan dibuat lebih mewah, karena banyak yang kemudian membawa balok dan triplek dari rumah masing-masing. Tidak hanya itu, dalam waktu singkat seorang tokoh masyarakat bahkan melakukan pengunpulan dana untuk pembelian cat, lampu-lampu hiasan dan peralatan lainnya.

Aktivitas kami berlanjut hingga larut malam. Orang-orang yang berkumpul semakin banyak, dan saya pun, yang pendatang baru di kampung itu, tiba-tiba menjadi buah bibir pembicaraan warga. Malam itu, sebuah gapura, lengkap dengan lampu hias dan logo HUT RI 50 berhasil kami dirikan. Besoknya, warga melanjutkan aktivitas semalam dengan melakukan kerja bakti. Jalanan yang awalnya penuh dengan sampah dibersihkan. Selokan-selokan pun ikut dibersihkan. Menurut tante saya, ini baru pertama kali kerjasama warga dilakukan seperti saat itu.

Tidak hanya sampai di situ, besoknya, jalanan dan kampung sebelah, setelah melihat gapura kami berdiri dan mendengar aksi gotong royong yang kami lakukan, juga melakukan hal yang sama. Walhasil semua ujung jalan, yang berjumlah empat itu, sekarang berdiri gapura.

Saya takjub dengan apa yang baru saja terjadi. Ketika berniat mendirikan gapura tersebut, tak ada sedikit pun bayangan bahwa apa yang akan saya lakukan akan menjadi semeriah dan seheboh itu. Hanya dalam sekejap, seluruh warga di kampung itu mengenal saya tanpa saya harus memperkenalkan diri. Dalam sekejap, tiba-tiba seluruh warga merasa ada yang harus mereka lakukan bersama. Sebuah langkah kecil yang bermakna sangat besar.

Kejadian 16 tahun silam ini masih teringat-ingat setiap perayaan 17-an. Saya biasanya tersenyum jika mengingat kejadian hari itu. Dan jika saya ke kampung itu, pasti ada saja warga yang menyinggungnya. Ini mungkin kado HUT RI terindah yang pernah saya peroleh sepanjang hidup saya. Tahun ‘emas’ yang bernar-benar bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar