Senin, 22 Agustus 2011

Sang Malaikat Maut (19)

OLEH WAHYU CHANDRA

“Aku sudah menikah,” ungkap Coki secara tiba-tiba ketika mereka sedang berada di pinggiran Pantai Losari, suatu hari dimana mereka telah sepakati untuk sebuah pertemuan.

Sesaat Maya terlihat terkejut dan tak mampu menyembunyikan ekspresi keterkejutan itu di wajahnya. Namun ia sepertinya mampu mengendalikan diri dan mencoba tersenyum. Getir.

“Waktu aku tanya di kafe itu kamu tidak bilang apa-apa selain memperlihatkan jari-jarimu dimana tak ada satu pun cincin di sana,” ujar Maya sedikit gugup. Ia melihat ke kiri kanan dengan gelisah dan ia sepertinya ingin segera beranjak meninggalkan tempat itu.

Coki yang merasa bersalah dengan semua itu, mengangguk lemah dan mencoba memegang salah satu tangan Maya, yang segera ditepis secara halus oleh Maya.

“Sori..” ujar Coki dengan rasa bersalah yang semakin dalam.

“Aku tak bermaksud….aku hanya ingin memulai segalanya dengan baik dan itu berarti aku harus belajar jujur sejak dari awal.”

Maya menatap dengan kening berkerut, tanda ketakmengertiannya dengan apa yang barusan Coki katakan. “Aku kira semuanya sudah sangat jelas. Dan apa maksud kamu memulainya dengan baik? Memangnya apa yang akan kita mulai?” suaranya terdengar ketus. Ya Allah, apakah aku perebut suami orang? Bagaimana aku bisa berada di situasi ini?

Coki kembali meminta maaf. Ia semakin sulit menemukan penjelasan lain pada wanita itu, yang sepertinya sudah membentengi dirinya agar tak tersentuh oleh apa pun dari luar dirinya.

“Sebelum kamu memutuskan berlalu dari tempat ini, bahkan dari kehidupanku, bolehkah aku bercerita sedikit hal padamu?”

Maya semakin gelisah dengan sekelilingnya, karena tiba-tiba merasa takut seseorang wanita akan datang ke tempat itu dan melabrak mereka. Kegelisahannya sudah cukup menjadi jawaban atas keinginan Coki tersebut.

“Aku memang sudah menikah. Atau tepatnya pernah menjalaninya dengan seseorang. Tidak seperti yang mungkin kamu duga, aku bukanlah seorang lelaki bersuami yang meninggalkan istrinya di rumah dengan segala harapan dan cinta demi sebuah petualangan dengan wanita lain yang lebih muda. Aku tidak berbohong ketika memperlihatkan jari manisku yang tak bercincin, karena aku memang sudah tidak bersama siapa pun lagi saat ini. Aku bersalah karena tidak menjelaskan ini lebih awal. Aku bingung saat itu dan kupikir memang bukanlah waktu yang tepat untuk menjelaskannya saat itu.”

Maya yang sudah merasa sedikit lega dan tak segelisah tadi masih tetap diam. Ia menatap matahari besar keemasan yang sebentar lagi meninggalkan ufuk. Meski sudah sedikit lega namun ia belum bisa menemukan dirinya kembali secara utuh.

Coki yang merasakan situasinya semakin baik lalu bercerita lebih jauh. Ia bercerita bagaimana ia kehilangan istrinya beberapa bulan sebelumnya. Meski tidak menceritakan segalanya, namun semua penjelasan itu ia harapkan setidaknya membuat Maya tidak langsung menilainya secara buruk. Ia mencoba menjelaskan bahwa ia adalah lelaki baik, yang mencintai istrinya secara tulus dan hubungan mereka selalu baik-baik saja hingga kematian memisahkan mereka.

“Aku turut berduka,” kata Maya kemudian, yang mungkin mulai merasa simpati atas yang menimpa Coki. “Ia pasti wanita yang hebat, kalau mendengar cerita-ceritamu.” Apakah ia tahu kalau aku cemburu dengan cintanya yang sangat besar pada istrinya yang telah tiada?

Coki mengangguk sambil tersenyum perih dan sekaligus lega telah menceritakan segala hal yang disimpannya selama ini. “Aku tak pernah berharap bisa menemukan kembali cinta itu hingga kemudian mengenalmu.”

“Maksud kamu?” dada Maya berdegup kencang. Sebuah serangan sporadis menerjang secara tiba-tiba.

“Aku tidak mencoba membandingkanmu dengannya meski betapa miripnya kalian dalam banyak hal. Aku hanya berpikir bahwa pertemuan kita bukanlah hal yang terjadi secara kebetulan belaka.”

Maya terlihat semakin bingung dengan penjelasan Coki. Sebuah perahu yang melintas sedikit menyita perhatiannya. Ia melambai ke nelayan itu dan segera dibalas oleh sang nelayan dengan senyum sumringah.

Coki lalu melanjutkan ceritanya tentang apa yang dilakukannya setelah kematian istrinya dan pertemuannya dengan seseorang yang telah membuka hati dan pikirannya. Sebuah pencerahan tiba-tiba mengarahkannya pada sebuah kehidupan baru, pada sebuah tekad untuk menunjukkan betapa merasa bersalahnya ia dengan ketakmampuannya untuk menuruti keinginan istrinya ketika ia masih hidup. Dan sekedar menunjukkan rasa bersalah dan cintaya itulah ia pun memutuskan menjadi seorang debt collector.

“Awalnya aku tak melihat permintaan itu sebagai sesuatu yang bermakna. Aku menjalani kehidupan baruku ini hanyalah sebuah utang yang harus aku bayar, dan semakin aku menjalaninya, dan setelah bertemu denganmu, aku mulai menyadari hal lain.

“Ini sebuah petanda, Maya. Ini bukan suatu kebetulan belaka. Ini sebuah petanda bahwa aku harus menemukanmu. Istrikulah yang mempertemukan kita, karena ia selalu mencintaiku dan kuyakin setelah kepergiannya ia akan berharap aku akan menemukan wanita yang tepat.”

Maya sepertinya tidak puas dengan penjelasan itu. Suatu hal dari cerita itu tiba-tiba menganggunya. Menggugah egonya.

“Kalau itu semua adalah kebenaran, sebagaimana yang kau ceritakan, maka itu berarti kamu tidak pernah benar-benar mencintaiku. Aku hanya sebuah pelarianmu dengan dalih sebuah ‘petanda’ yang harus kau temukan. Haruskah aku menerima cinta seseorang karena sebuah keterpaksaan?”

Coki menjadi kalang kabut. Ia benar-benar tak menyangka akan mendapat serangan balik seperti itu, padahal bukanlah seperti itu yang benar-benar ingin dikatakannya. Ia hanya ingin mengatakan betapa ia telah menemukan seorang wanita yang mampu membuatnya bangkit kembali dan semua itu bukan semata karena kehendaknya, tapi karena sesuatu yang jauh lebih besar. Takdir.

“Bukan seperti itu, Maya. Maaf dengan penjelasanku tadi, tapi bukan seperti itu yang benar-benar ingin kukatakan…”

Maya yang sepertinya merasa tak nyaman di tempat itu segera berpaling dan bersiap-siap untuk segera beranjak. Lampu-lampu taman mulai menyala, jalanan pun mulai terasa sesak dan bunyi klakson bertautan menandakan betapa jalan itu mulai dipenuhi kendaraan yang lalu lalang.

“Aku harus segera pulang. Sudah magrib dan aku harus segera tiba di rumah sebelum benar-benar malam.” Maya terdengar dingin dengan kata-katanya. Ia benar-benar beranjak untuk segera meninggalkan tempat itu. Ia memasang helm dan mulai menyalakan motornya dan sepertinya tak mengacuhkan upaya Coki untuk menahannya.

Coki yang masih terpana di tempatnya, dengan semua yang terjadi, terlihat begitu kalah. Sesuatu yang tak pernah mungkin bisa diterimanya di masa lalu. Meski ia tak menyesalinya. Ia malah bersyukur dengan kejujuran yang baru saja disampaikan pada wanita itu. Ia bersyukur bahwa setidaknya sudah berupaya memulai hidupnya dengan cara yang baik. Jika kini ia tak bisa lagi berharap wanita itu akan membuka hatinya untuknya, setidaknya ia kini bisa berharap menemukan jati diri yang baru bagi dirinya. Dirinya yang benar-benar baru.

Maya Calisa berkendara menyusuri jalanan yang sudah benar-benar padat dan bising, dengan setumpuk beban di hati. Ketika ia menerima sms siang tadi dari Coki mengajaknya ketemuan di Pantai Losari, ia tak mampu mendefinisikan betapa senangnya perasaannya saat itu. Ini adalah pertemuan ketiga mereka sejak di kafe itu. Dan dalam dua pertemuan sebelumnya mereka menikmati kebersamaan yang indah. Mereka sempat jalan ke mall dan makan di sebuah restoran atau pun ke sebuah pusat permainan yang baru saja buka. Setidaknya ia merasa harus mulai membuka kembali lembaran hidupnya secara baik dengan lelaki yang baik dan mencintainya.

Perbincangan mereka di pantai itu menjadi titik klimaks tertentu bagi hubungan mereka, yang sebenarnya mulai menapak menuju hubungan yang lebih serius. Ia merasa seperti berada di situasi dimana ia melepaskan sesuatu yang hampir saja diraihnya. Apakah ini arti dari mimpinya semalam? Ia bermimpi menapak sebuah gunung yang dipenuhi bunga-bunga indah. Salah satu bunga yang terindah di taman itu berada di tempat yang lebih tinggi dan ketika ia ingin meraihnya ia justru terbangun karena terjatuh dari tempat tidur. Apakah itu sebuah petanda yang buruk baginya?

Mimpi itu memang bisa berarti apa saja. Dan bagaimana ia terbangun dari mimpi itu, juga bisa berarti apa saja. Maya bergelut dalam pikiran-pikiran yang saling bertentangan. Kalau mimpi itu berakhir tanpa memberinya kejelasan akhir apakah ia berhasil meraih bunga itu atau tidak, apakah itu berarti bahwa takdirnya belum benar-benar diputuskan hingga ia sendiri memilih takdir mana yang akan dipilihnya?

Ia tak menemukan sedikit jawaban apapun hingga sampai di rumah dan langsung masuk dalam kamar. Ia ingin menutup dirinya dari apapun. Dan ketika terbangun esok hari ia berharap semuanya akan baik-baik saja, karena semua yang barusan dihadapinya hanyalah mimpi lain yang akan segera berakhir.






Inspektur Alex segera tahu dengan apa yang akan dilakukannya dengan izin penyadapan yang sangat tak mudah diperolehnya. Bukti hasil autopsi penyebab kematian istri pengusaha itu akibat racun setidaknya menguatkan alasan bagi terbitnya izin itu, meski benteng yang akan dihadapinya juga bukanlah hal yang mudah untuk ditembus.


Izin penyadapan, apalagi untuk seorang dengan koneksi yang besar pada kekuasaan, memang kerap kali terlalu sulit diberikan. Akan muncul banyak pertanyaan yang sulit dijawab jika penyadapan itu tidak didasari pada sebuah dugaan yang kuat. Bisa-bisa malah akan merembet ke masalah politik. Sejumlah kasus setidaknya telah membuktikan hal ini dan Kadivhumas Kapolri harus siap dengan segala argumen pembelaan atas semua tindak-tanduk jajaran mereka.

Dengan modal izin itu, Inspektur Alex pun menyusun rencana. Dikumpulkannya sejumlah petugas lapangan terpilih, yang memang sangat ahli dalam hal penyadapan dan penyamaran. Sebuah teknologi penyadapan terbaru juga dipinjamkan oleh FBI, yang begitu antusias dengan perkembangan baru ini dan berjanji akan melakukan atau memberikan apapun yang dibutuhkan asal target mereka segera diketahui keberadaannya.

Inspektur Alex masih sangat ingat tentang saran dari agen FBI itu bagaimana ia menemukan target yang layaknya hantu itu, “Kamu hanya bisa mengidentifikasinya dari korbannya. Ia akan memilih korban dari kelompok sosial tertentu dan akan sulit mengetahui jejak yang ditinggalkannya tanpa sebuah usaha yang kuat untuk mendapatkannya.”

Ini sebuah tantangan tersendiri bagi Inspektur Alex. Hal lain yang membuat tugasnya bermakna penting adalah kenyataan bahwa ini adalah sebuah pertarungan besar untuk sebuah profesionalisme.

Ia telah menyiapkan sebuah perencanaan yang matang dengan sejumlah personil lapangan pilihan. Sebuah mobil penuh teknologi komunikasi, tentu saja bantuan pemerintah AS melalui FBI, ditempatkan di radius tak begitu jauh dimana target penyadapan berada. Sejumlah intel juga bertugas mengawasi segala pergerakan Maskito. Hal yang mudah dari tugas ini adalah kemungkinan bahwa Maskito benar-benar tidak menyadari penyadapan atas dirinya. Diasumsikan bahwa ia tidak berupaya melindungi dirinya karena merasa bahwa ia telah mampu mengendalikan segalanya.

Dalam seminggu pengamatan atas diri Maskito, Inspektur Alex dan timnya belum menemukan hal-hal yang berarti. Sejumlah transaksi via telpon memang dilakukan dengan mitra asingnya, yang kemungkinan adalah transaksi narkoba. Namun instruksi Inspektur Alex pada timnya sangat jelas, bahwa bukan itu yang menjadi target mereka. Maskito hanyalah umpan untuk pancingan yang lebih besar. Sebuah telpon lain, yang terdengar sangat aneh, yaitu seperti sebuah transaksi peti mati, juga diabaikan, meski tetap menjadi sebuah catatan penting.

Dalam telpon itu, dimana Maskito adalah penerima telpon, si penelpon yang bersuara berat, bertanya apakah ia, Maskito, yang memesan peti mati lewat telpon.

Maskito mengiayakan, dan si penelpon kembali meminta klasifikasi peti yang diinginkan. Maskito melanjutkan bahwa ia menginginkan sebuah peti termahal dan ia tidak perduli dengan harganya.

“Anda yakin menginginkan peti mati ini?” suara si penelpon yang terdengar tegas dan dominan mencoba meyakinkan niat Maskito.

Maskito yang terdengar agak gugup kembali menegaskan niatnya dan ia bersungguh-sungguh dengan harga yang ditawarkannya.

“Bagaimana saya bisa memberikan detilnya pada anda?” tanya Maskito kemudian.

“Apakah kita sudah sepakat dengan harganya?” suara itu malah terdengar sedikit khawatir.

“Ya, saya sudah punya skema harga terendah dan tertinggi anda. Saya akan membayar dengan harga tertinggi full sebagai tanda jadi dan akan ada penambahan 30% setelah barangnya terkirim. Anda puas dengan penawaran saya?”

Beberapa saat si penelpon terdiam, seperti sedang mempertimbangkan tawaran itu, lalu kemudian terdengar lagi suara, “Ini tawaran yang sempurna. Jangan khawatir dengan barangnya. Saya yakin anda akan mendapatkan peti mati terindah seperti yang anda inginkan.”

“Jadi, bagaimana saya mengirimkan detilnya? Saya akan mengirimkannya secepatnya setelah saya merasa benar-benar siap. Tak ada masalah kan menunggu untuk beberapa hari? Maaf saya harus menelpon jauh-jauh hari agar saya yakin bahwa anda siap dengan ini.”

Pembicaraan itu benar-benar aneh dan boleh jadi sebuah transaksi narkoba seperti biasanya. Ini jelas-jelas sebuah bahasa kode yang biasanya memang dipergunakan oleh para pengedar narkoba. Peti mati? Apakah yang dimaksud “peti mati’ sungguhan yang berisi puluhan kilogram narkoba berkualitas tinggi atau itu hanya sebuah hiasan? Pikir Inspektur Alex. Istillah yang paling sering didengarnya dari sebuah transaksi narkoba adalah ‘duren’, sedangkan istilah ‘peti mati’ benar-benar tak pernah didengarnya. Kalau memang ini adalah narkoba dalam paket peti mati, tentu saja ini adalah tangkapan yang besar. Tapi Inspektur Alex berusaha fokus dengan apa yang dikerjakannya. Kasus narkoba Maskito, kalau memang ada, maka itu bisa menunggu. Tinggal mengontak divisi narkoba dengan bukti rekaman itu maka semuanya akan terselesaikan. Dan jika itu dilakukannya sekarang maka resiko yang dihadapinya adalah ia akan kehilangan tangkapan besar yang justru paling diinginkannya. Inspektur Alex berusaha menepis godaan itu.

Beberapa hari setelah telpon aneh itu muncul telpon lain. Inspektur Alex memiliki rekaman suara si pengusaha yang menjadi atasan Maskito dari sebuah rekaman wawancara di sebuah stasiun TV setahun lalu. Mendengar suara si penelpon tim penyadap segera memberi tanda bahwa mereka sudah mendapatkan target yang diinginkan. Sebuah alat GPS canggih diaktifkan, yang mampu mendeteksi asal penelpon meski mereka melakukan pengacakan asal telpon mereka. Suasana di van itu benar-benar tegang. Hanya dalam hitungan detik di layar komputer di depan mereka tertera lokasi geografis si penelpon. Inspektur Alex yang segera mendapat konfirmasi mengamati percakapan itu di tempat lain dan takjub dengan apa yang dilihatnya. Ia tersenyum tipis. Ia sudah punya gambaran dimana posisi target mereka dan memerintahkan tim untuk tetap siaga hingga perintah pemberhentian penyadapan dilakukan.

Dengan tergesa-gesa Inspektur Alex bergegas menemui atasannya yang berada di ruangan lain. Beberapa teman menyapanya, yang dibalasnya dengan senyum dan menunjuk ke arah yang ingin ditujunya, yang sebenarnya ingin dikatakannya bahwa ia sedang tergesa-gesa dan ia tak punya waktu untuk meladeni mereka.

Lima menit kemudian ia sudah berada di ruangan komandannya melaporkan apa yang diperolehnya dan meminta surat perintah jalan, tiket pesawat PP untuk perbangan lokal.

“Kapan kamu akan berangkat?” tanya komandanya.

“Sebaiknya sore ini, setelah semuanya disiapkan. Kita tak punya banyak waktu. Target bisa saja akan segera berpindah ke tempat lain yang tidak kita ketahui.”

Komandannya mengangguk mengiayakan. Ia lalu menelpon sekretarisnya dan ke beberapa orang lainnya. Dalam setengah jam sepertinya semuanya sudah rampung karena, komandannya kemudian berkata, “Kamu segera berangkat sekarang juga. Saya berharap ini benar-benar seperti yang kamu perkirakan. Ingat, ini bukan hanya tentang dirimu. Ini tentang kita semua.”

Inspektur Alex merasa merinding dengan tanggung jawab yang sangat besar yang tiba-tiba dibebankan padanya. Ia mengangguk dan segera pamit untuk berkemas.

“Tunggu sebentar!”

Komandannya kemudian menelpon ke beberapa orang lainnya. Tampaknya ia menelpon ke agen FBI yang dulu pernah datang ke kantornya. Lalu ia kembali menelpon orang lain, yang tampaknya orang penting di Mabes. Katanya kemudian pada Inspektur Alex:

“Agen FBI akan segera mendatangkan beberapa agen terbaik mereka. Mereka menunggu kepastian darimu dalam dua tiga hari ini. Aku juga mengontak komandan Densus 88 untuk kesiapan mereka jika untuk mengantisipasi hal-hal yang di luar perkiraan kita.”

Inspektur Alex tampak kikuk dan menyatakan keberatannya, “Apa tidak terlalu dini untuk itu, komandan? Mungkin sebaiknya kita tunda saja dulu keterlibatan mereka hingga ada kepastian di lapangan? Takutnya akan menimbulkan kehebohan, tidak seperti yang kita harapkan dari semula.”

Komandannya yang terlihat sangat antusias menggeleng, “Kamu salah, Lex. Kita takkan pernah tahu apa yang akan terjadi? Kamu tahu sendiri siapa yang akan kita hadapi ini kan? Ini hanya sebuah tindakan jaga-jaga. Kalaupun ini akan menjadi kehebohan, saya yakin kita bisa meluruskannya. Kamu tahu sendiri bagaimana Densus menyelesaikan masalah seperti ini, kan?”

Sekilas Inspektur Alex melihat senyum kecil tersungging di wajah komandannya.

Mau tak mau Inspektur Alex menyetujui rencana komandannya. Pernyataannya tentang Densus 88 jelas sebuah sindiran halus atas kinerja Densus 88 selama ini yang banyak mendapat sorotan di masyarakat. Dalam beberapa kasus yang ditanganinya, Densus 88 selalu punya cara untuk meyakinkan masyarakat akan tindak-tanduknya dan kerusakan yang ditimbulkannya. Densus 88 terlatih untuk tidak perduli dengan apapun sorotan masyarakat selama itu dilakukan untuk menangkap ataupun membunuh seseorang yang dituduh sebagai teroris. Mereka berlindung dalam lisensi yang mereka miliki untuk melakukan apa saja yang dianggap perlu, termasuk menghilangkan nyawa seseorang.

Inspektur Alex tak bisa membayangkan jika memang Densus 88 benar-benar terlibat langsung dalam upaya penangkapannya ini. Ia tahu karena pernah menjadi bagian darinya, meski kemudian dimutasikan ke divisi lain karena sikapnya yang kadang bertentangan dengan sikap komandannya.

“Dan jangan lupa untuk terus memberi kabar perkembangan di sana,” pesan terakhir komandannya sebelum ia akhirnya berlalu dari tempat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar