Sabtu, 01 Oktober 2011

Sang Malaikat Maut (20)



Pesawat yang ditumpangi Inspektur Alex tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar tiga jam sejak ia meninggalkan ruangan komandannya. Selain beberapa pasang pakaian santai, sepucuk pistol yang beramunisi penuh, surat penugasan dan sejumlah uang tunai di dompetnya, sebuah laptop dan HP canggih pinjaman FBI, tak ada lagi yang dibawanya. Penting baginya untuk tidak membebani dirinya dengan barang bawaan banyak, yang hanya akan merepotkannya.

Bandara Hasanuddin tampak berbeda semenjak ia menginjakkan kakinya di Makassar beberapa tahun lalu. Bandara ini, yang diproyeksikan sebagai bandara internasional telah direlokasi ke tempat yang lebih luas dan kondusif. Bangunannya pun dipercantik dan menunjukkan nuansa lokal yang kuat. Konon bandara ini dibangun dengan menggunakan sumber daya lokal yang tidak seperti bandara utama lainnya di Indonesia, yang menggunakan tenaga ahli dan konsultan dari luar negeri.













Sebagai seorang polisi yang dipersenjatai ia pun harus melalui sebuah prosedur khusus. Senjata memang barang yang paling diharamkan berada di pesawat sehingga prosedur membawa senjata di penerbangan sangat diperketat. Meski harus melalui sejumlah prosedur, namun ini tidaklah berlangsung lama. Dalam tiga puluh menit ke depan ia sudah berada di atas taksi yang akan membawanya ke sebuah hotel bintang lima di tengah kota Makassar.

Tidak seperti kebiasaan, ia tidak melapor ke Polda Sulsel sebagai otoritas kepolisian lokal. Komandannya pasti sudah menyelesaikan hal ini. Ia harus benar-benar fokus dan sesedikit mungkin melakukan kontak dengan polisi lokal.

Sesampai di hotel, ia segera membuka laptopnya dan memeriksa tampilan GPS lokasi dimana target menelpon beberapa jam sebelumnya. Ia membuka peta Makassar untuk membandingkan lokasi itu. Tempat yang dituju tidak terlalu jauh dari tempatnya kini berada. Jelas tempat itu bukan dari sebuah hotel, karena tak ada satu pun hotel berbintang di lokasi yang ditunjuk di peta digitalnya. Ia pun tidak bisa menjamin bahwa sang target akan tetap berada di lokasi itu untuk waktu yang lama. Yang jelas ia kini punya batu pijakan yang jelas.

Sebuah foto 10 R diambilnya dari bagian samping tas laptopnya. Ketika masih di Jakarta, melalui komandannya ia sudah mengajukan permintaan penyidikan polisi lokal atas foto itu. Dalam perintah itu hanya disampaikan permintaan informasi atas orang yang dimaksud tanpa ada penjelasan alasan pencarian orang itu. Meski pun ia punya akses untuk meminta langsung hasil pencarian itu di polisi lokal, Inspektur Alex tidak melakukannya. Ia memilih untuk menunggu hasil itu dari kantor pusat. Sangat penting baginya untuk menjaga kerahasiaan atas keberadaannya di kota itu. Kontak, tentu saja, akan tetap dilakukan pada saatnya nanti, jika memang sudah benar-benar diperlukan.






Cinta selalu datang tak terduga dan pergi dengan cara yang sama. Maya Calisa mencoba tidak meratapi apa yang tengah dihadapinya. Namun tetap saja ada perih yang tak tertahankan. Begitulah cinta bekerja. Semakin besar upaya mengenyahkannya, semakin ia mengakar kuat dan beranak pianak.

Maya mencoba merenungi apa yang sedang terjadi antara dirinya dengan Coki. Sejujurnya, ia tidak memahami kebenciannya pada Coki. Bukankah kejujurannya, yang meski telat, adalah, seperti yang dikatakannya, adalah hal yang patut dihargai? Lalu ketika Coki menyatakan dirinya adalah masa depan yang harus diraihnya, sebagai petanda yang ditinggalkan istrinya, mengapa ia tidak bisa menerima kenyataan itu? Apa yang seharusnya ia harapkan dari hubungan mereka? Tidakkah cinta yang ditawarkan Coki sudah lebih dari yang seharusnya diharapkannya? Seberapa besar karat cinta yang benar-benar diharapkannya?

Maya Calisa berupaya melawan dorongan egonya yang begitu besar. Cinta memang selalu kemaruk, selalu ingin lebih dan lebih, selalu ingin segalanya. Jika seseorang yang dicintanya bertanya seberapa banyak cinta yang diharapkannya, maka ia akan segera menjawab seratus persen. Tapi, sanggupkah ia dengan semua totalias itu? Para pecinta tak pernah mempertimbangkan hal lain, karena cinta pun berarti mengabaikan hal lain. Dalam totalitas, cinta menjadi buta. Irasional. Emosional.

Kenapa ia tak belajar dari masa lalunya, ketika ia merasa cinta total terasa telah dimilikinya, tapi ternyata hanya fatamorgana belaka?

Maya pun terjebak dalam paradoksal yang diciptakannya sendiri. Dan di tengah kegalauannya ia justru memutuskan untuk menanggalkan semua perasaannya itu.

Maya mencoba menyibukkan diri dengan bekerja lebih giat. Ia tak memberi ruang bagi dirinya untuk kekosongan. Sepulang dari sekolah ia langsung mengerjakan hal lain. Tugas menumpuk dari sekolah, yang selalu menjadi momok, kini malah seperti dewa penolong baginya. Ia mengerjakan semuanya dengan semangat.

“Ada apa denganmu, tuan puteri?” Nita teman kerjanya tersenyum-senyum sambil geleng-geleng kepala dengan perubahan dirinya dalam sekejap itu.

Maya hanya tertawa cekikan kecil dan mengabaikan kritikan itu. “Kamu seharusnya mendukung. Ini hal baik kan?”

“Aku senang dengan perubahanmu, tapi seseorang yang biasanya mengeluh dengan pekerjaan yang menumpuk lalu tiba-tiba berubah antusias mencintai pekerjaan berjubel itu pastilah karena suatu sebab yang luar biasa. Apakah ini sesuatu yang juga ingin kamu sembunyikan sebagaimana masalah-masalahmu yang lain?” Nita mencoba bersimpati padanya dengan pandangan sedih dan Maya menjadi begitu bersalah, karena tiba-tiba menyadari betapa tertutupnya dirinya selama ini dari dunia luar, bahkan dari sahabatnya sendiri. Bukankah sahabat seharusnya adalah tempat berbagi suka dan duka?

Sesaat ia merasa tidak berlaku adil pada Nita. Nita yang selalu mendukungnya, sekaligus yang selalu diabaikannya. Ia rela Nita berjam-jam menangis di hadapannya dengan sejuta masalahnya, namun tak sedikit pun ia pernah berbagi pada sahabatnya itu.

“Apakah ini karena cinta?”

Nita mungkin membaca keraguan di wajahnya. Apakah ia melihat segalon air matanya yang sebentar lagi akan tumpah ruah?

Maya memeluk Nita dengan lembut. “Aku baik-baik saja. Semua orang tahu aku akan baik-baik saja. Bukankah selama ini aku baik-baik saja?”

“Kamu tidak sedang baik-baik saja, honey” bantah Nita, “Kita semua tahu kau tidak sedang baik-baik saja saat ini.” Nita sepertinya benar-benar memahami kegundahannya. Sehebat apapun wanita menyimpan kegalauannya ia takkan pernah benar-benar mampu untuk terus menyembunyikannya dari dunia luar.

“Kamu tak perlu menceritakan apapun sekarang jika kamu memang belum ingin melakukannya, tapi kamu tahu aku selalu ada jika kamu butuh, honey.”

Maya mengangguk. Sebentar lagi ia akan baik-baik saja. Pekerjaan pasti akan sangat ampuh menyembuhkannya dari apa pun, seperti juga selama ini.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar