Minggu, 02 Oktober 2011

Sang Malaikat Maut (21)



Inspektur Alex terbangun setelah sekian waktu tertidur di kamarnya. Ia melirik jam tangan. Tanpa terasa sejam lebih ia tertidur lelap. Tak biasanya ia secapek ini. Mungkin karena antuasiasme atas kasus yang tanganinya membuatnya harus ekstra berpikir dan beraktivitas. Ia melirik handponenya, dan tertera 5 kali panggilan tak terjawab dan dua pesan yang belum dibaca.

Bergegas ia membaca asal panggilan dan pesan itu. Tiga panggilan dari komandannya dan 2 pangilan dari istrinya. Dua pesan singkat juga dari komandan dan istrinya dengan pertanyaan yang sama: bagaimana penerbangannya?

Inspektur Alex menjawab sms itu sekali untuk dua orang sekali kirim berisi permohonan maaf karena tertidur dan ia baik-baik saja, hanya sedikit jetlag.

Sesaat ia menunggu balasan sms itu, dan setelah sekian lama menunggu tanpa ada respon sedikit pun, ia pun beranjak menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.

Siraman air di kepalanya membuatnya merasa segar kembali. Tiba-tiba ia teringat percakapan aneh Maskito dengan seorang tentang ‘peti mati’. Jika melihat percakapan Maskito yang lain, maka percakapan tentang peti mati ini tidak memiliki relevansi sekalipun.

Inspektur Alex memejamkan mata mencoba memikirkan kemungkinan lain. Bukankah peti mati juga bisa berkaitan dengan kematian itu sendiri? Inspektur Alex terhenyak ketika secara tiba-tiba memikirkan kemungkinan lain. Apakah ini berarti bahwa Maskito sedang membicarakan kematian seseorang? Peti mati adalah bahasa kiasan untuk sebuah pembunuhan yang akan dilakukannya melalui jasa seseorang. Bisa jadi si penelpon itu bersuara berat itu adalah seorang pembunuh bayaran dan ketika itu mereka sedang melakukan sebuah transaksi. Lalu siapa pembunuh pembayaran itu? Siapa calon korban yang diincar Maskito?

Inspektur Alex segera mengeringkan badannya dengan handuk putih yang tergantung di sampingnya. Ia mencoba fokus dengan menepis pikiran-pikiran lain yang mencoba merasukinya dan berpotensi mengalihkan konsentrasinya pada kasus yang sedang ditanganinya. Tapi bagaimana jika semua itu berkaitan? Pikirannya benar-benar tak bisa berdamai. Ia malah terjebak dalam pikirannya sendiri.

Setelah mengenakan pakaian santai, ia membuka laptop dan mengambil foto si pegusaha tersebut, yang tergeletak di atas media. Melihat dari raut wajah dan penampilannya, Inspektur Alex memperkirakan usia orang itu sekitar 35 tahun. Ia punya profil singkat si pengusaha yang tampaknya sangat cemerlang. Di usia 25 tahun ia sudah memimpin sebuah perusahaan kecil yang perlahan namun pasti berkembang menjadi sebuah perusahaan berskala besar dan menasional. Tak seorang pun yang mengetahui darimana ia berasal. Ia bukanlah putra seorang pengusaha terkenal, yang kemudian mewariskan perusahaan padanya. Tak ada informasi yang jelas tentang dirinya sebelum akhirnya memimpin perusahaan yang dipimpinnya sekarang. Ia seperti jatuh dari langit. Perusahaannya terus berkembang hingga memiliki cabang dimana-mana. Orang ini jelas memahami konsep diversifikasi usaha untuk meningkatkan deviden perusahaan mengingat beragamnya jenis usaha yang dikelolanya, mulai dari jasa konstruksi, farmasi, tekstil hingga sejumlah media lokal. Perusahaan ini pun tercatat memiliki reputasi tak tercela dan beberapa kali meraih penghargaan sebagai perusahaan dengan perfomance terbaik.

Si pengusaha kemudian menikahi seorang selebriti muda yang sedang naik daun, gadis yang diimpikan oleh lelaki mana pun. Dilihat dari sejumlah foto mereka berdua, yang diunduhnya dari internet, terlihat bahwa mereka bahagia dengan perkawinan mereka. Pesta perkawinan mereka yang sangat meriah dan dihadiri oleh sejumlah pejabat, pengusaha dan ratusan selebriti jelas menunjukkan kualitas pasangan ini. Lalu apa yang kemudian terjadi dengan perkawinan mereka? Jelas ada yang salah, jika kemudian sang istri dinyatakan meninggal karena over dosis.

Betapa anehnya dunia ini. Rumit dan tak terjelaskan. Jika kekayaan, kuasa dan ketenaran tak menjamin kebahagiaan, mengapa semua orang masih menjadikan semua itu sebagai tujuan akhir hidup mereka? Begitu banyak pasangan, yang oleh media disebut sebagai pasangan paling ideal di awal perkawinan mereka namun akhirnya harus berakhir di pengadilan perceraian. Terlalu banyak contoh yang bisa dikemukakan. Konon cinta dalam perkawinan paling lama bisa bertahan selama 7 tahun? Sebagian yang mampu bertahan hanya karena hadirnya buah hati di antara mereka. Anak memang menjadi salah satu alasan utama bertahannya sebuah perkawinan ketika cinta tidak lagi memiliki keampuhannya atau ketika cinta yang dulunya 100% menyusut drastis menjadi 0%.

Inspektur Alex membayangkan pernikahannya dengan istrinya yang sudah dijalaninya selama 12 tahun dan telah memberinya dua putra. Ia meraba pada kehidupannya sendiri. Apakah cintanya pada istrinya telah susut dan mungkin hilang dalam 7 tahun pernikahan mereka? Inspektur Alex mencoba mengingat-ingat kapan terakhir ia menyatakan cinta pada istrinya. Dan seberapa hambarkah hubungan mereka selama ini? Jika istrinya menelponnya menanyakan keadaannya, bahkan belum sehari ia meninggalkannya menunjukkan bahwa ‘rasa’ itu masih setia menemani mereka. Atau jangan-jangan itu menunjukkan ketidakpercayannya padanya? Ia kembali mengingat sesaat yang lalu ketika ia membaca sms istrinya dan segera dibalasnya. Apa yang dia rasakan dengan sedikit perhatian itu? Apa yang istrinya rasakan ketika menelpon dan mengirim pesan padanya? Rindu atau curigakah ia padanya?

Mereka pernah melalui badai perkawinan sebagaimana hampir semua pasangan pernah merasakannya. Tapi semua badai itu berhasil mereka lewati dan menjadi awal baru bagi mereka untuk memulai lagi semuanya dari awal. Tapi apakah semuanya bisa baik-baik seperti semula hubungan mereka?

Inspektur Alex tersenyum sendiri dengan pikirannya yang liar. Ia benar-benar tak ingat kapan terakhir ia memikirkan tentang cinta, baik pada istrinya, anak-anaknya ataupun pada orang lain. Ketika ia menembak seseorang karena kejahatan yang dilakukannya, apakah ia pernah memikirkan bahwa orang itu bisa saja adalah kekasih atau istri, ayah ataupun anak seseorang yang begitu mencintanya. Ia tak pernah memikirkan bagaimana nasib orang-orang terkasih yang ditinggalkan orang yang dimatikannya, karena baginya semua orang bersalah mendapatkan balasan yang setimpal. Semua hal yang terjadi pada mereka dan keluarga yang ditinggalkannya adalah konsekuensi yang telah dipilihnya sendiri. Siapa yang harus disalahkan dalam di situasi ini? Bukankah hidup sudah merupakan resiko yang harus ditanggung setiap orang yang menjalaninya? Bukankah setiap orang menjalani perannya masing-masing dalam hidup ini? Dan setiap orang yang mencoba menghindar dari peran yang seharusnya dilakoninya sama halnya menolak takdir itu sendiri?

Inspektur Alex menatap foto close up pengusaha itu lekat-lekat. Ia jelas bukan tipe seorang pembunuh ataupun bajingan kelas kakap dengan melihat guratan di wajahnya. Wajah yang sendu, beribawa dan kemungkinan cerdas. Ia sendiri belum yakin dengan apa yang sedang dicarinya dengan mengikuti orang itu. Semuanya tentunya lebih karena sebuah intuisi yang semakin menguat seiring dengan temuan mengejutkan bahwa istri pengusaha itu meninggal bukan seperti yang dilaporkan. Lalu jika ternyata wanita itu memang mati karena dibunuh suaminya sendiri, apa keterkaitannya dengan pencariannya dengan sang Malaikat Maut, target utama dalam perburuan ini?

Secara logika ia tak mampu memahami jalan pikirannya sendiri. Jelas-jelas ia tidak berpikir secara jernih ketika memutuskan untuk mencari tahu tentang si pengusaha. Ini pastilah pekerjaan alam bawah sadarnya, yang entah kenapa, menggiringnya ke tempatnya sekarang.

Inspektur Alex mencoba mengumpulkan keyakinannya. Ia benar-benar hampir lupa bahwa dengan tindakannya sekarang ia tengah mempertaruhkan banyak hal. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk orang-orang yang kini sangat bergantung pada yang sedang dilakukannya. Hasil dari tindakannya sekarang secara jelas memiliki makna yang besar dalam dua sisi. Positif maupun negatif. Ketenaran ataupun kekalahan.

Pertaruhan atas nama pekerjaan adalah yang lumrah dalam institusi kepolisian. Dengan besarnya tuntutan masyarakat atas profesionalisme kepolisian, mau tidak mau kepolisian setiap saat harus menunjukkan kinerja terbaik mereka. Kehadiran televisi di ruang private keluarga tentunya membantu kepolisian dalam mensosialisasikan apa yang telah mereka lakukan atau bagaimana kehadiran polisi di tengah-tengah masyarakat memang sangat dibutuhkan. Kasus-kasus narkoba yang melibatkan para selebritis yang diungkap pihak kepolisian juga setidaknya mendongkrak popularitas kepolisian di tengah masyarakat. Biasanya kasus-kasus seperti ini akan terus diekspos oleh media secara berlebihan, karena media selalu berpandangan bahwa masyarakat menyukai sesuatu yang kontraversial. Publik akan secara berlebihan merespon berita-berita yang melibatkan tokoh idola mereka, entah sebagai wujud simpati ataupun sekedar cermin dalam menilai diri mereka sendiri bahwa ketenaran tidak selalu membawa kepada kebahagiaan. Para petinggi polisi pun dapat nebeng mendongkrak popularitas mereka dalam kasus-kasus ini.

Namun media tidak selamanya menjadi teman yang baik bagi polisi atau bagi siapa pun. Jika media dapat mendongkrak popularitas seseorang dalam sekejap, maka sebaliknya ia dapat merebutnya, juga sekejap. Seorang petinggi polisi bisa tiba-tiba dicopot dari jabatannya karena media menginginkannya demikian.

Pada pukul 9 malam, rasa lapar melilit perutnya. Ia segera menuju resto di lantai bawah dengan baju kaos berkerah dan celana pendek hingga selutut beralas kaki sendal hotel yang tipis. Resto di hotel menawarkan banyak makanan lokal dan semuanya tampak lezat untuk dicicipi, yang disajikan secara prasmanan. Setiap orang bebas memilih makanan apapun yang diinginkannya. Ia memilih mencicipi udang dan cumi-cumi yang sangat jarang dikonsumsinya selama ini. Untuk sayur ia memilih sup jamur bercampur brokoli yang terlihat sangat menggoda.

“Serasa ingin mencicipi semua yang ada di sini.” Seseorang yang berada di sampingnya, seperti halnya dirinya, memilih makanan yang akan dinikmatinya sebagai makan malam membuatnya sedikit terkejut. Ia melirik sejenak dan tersenyum ramah.

“Ini memang benar-benar saat sulit tapi terus saja kita hadapi, ketika harus memilih sesuatu yang malah akan menghancurkan hidup kita jika tak terkontrol.”

Lelaki di sampingnya tersenyum lebar sangat bersahabat. Sesaat Inspektur Alex merasa ada yang aneh dengan lelaki itu. Entah itu model rambut, bulu kening dan rambutnya yang lebat. Rasa laparnya membuat daya analisisnya melemah dan ia mencoba tidak menjebak dirinya dalam spekulasi yang tak penting. Tapi ia benar-benar merasa ada yang aneh dengan lelaki itu.

Inspektur Alex menuju sebuah meja kosong dan lelaki itu ternyata memilih tempat tak begitu jauh dari tempatnya duduk. Dalam posisinya, orang itu jelas mampu mengamatinya secara leluasa. Posisi duduk yang sering dipilihnya jika sedang memat-matai seseorang. Sesekali Inspektur Alex melirik ke samping dengan pura-pura menjatuhkan sendok atau apa pun benda di sampingnya. Lelaki itu tampaknya sibuk dengan santapannya dan tak ada indikasi ia sedang mengamatinya. Inspektur Alex bernafas lega dan mengutuk dirinya yang tak pernah benar-benar percaya dengan orang lain, khususnya untuk yang berlaku ramah padanya. Beberapa saat kemudian ia kembali melirik sekali lagi ke lelaki itu, dengan berpura-pura menggaruk kakinya, lelaki itu sudah tidak lagi berada di sana. Ia melihat di sekeliling dan tak ada satu pun tempat dimana lelaki itu berada. Ia menghilang secara tiba-tiba sebagaimana kedatangannya. Inspektur Alex menepis berbagai spekulasi di kepalanya. Apa kira-kira yang aneh dengan lelaki itu?

Setelah selesai menikmati santapannya, Inspektur Alex ke ruang lobi mencari bahan bacaan koran lokal. Penting baginya mengetahui sedikit seluk beluk dan perkembangan terakhir kota yang sedang didatanginya. Di lobi pun ia bisa mendengar berbagai perbincangan orang lain dan bisa saja salah seorang dari orang yang ada di lobi itu adalah orang yang sedang diincarnya.

Dengan duduk bersilang kaki, Inspektur Alex membolak-balik koran bacaannya. Lelaki itu kembali terlihat di kejauhan dan tampaknya berusaha tersenyum padanya. Inspektur Alex berpura-pura tidak melihat dan sibuk dengan bacaannya. Lelaki itu menuju ke luar. Si pintu keluar masuk ia berhenti untuk berbicara dengan salah seorang satpam hotel. Mungkin ia seorang pendatang, sebagaimana halnya dirinya dan sedang menanyakan sesuatu tempat yang ingin didatanginya pada pegawai hotel. Inspektur Alex tiba-tiba merasa pernah melihat lelaki itu, setidaknya dari tatapan mata, postur tubuh dan caranya berjalan. Sesaat ia mencoba mengingat-ingat. Ia menjadi tidak berkonsenterasi dengan bacaannya. Namun ia tak menemukan jawab sedikit pun. Sesaat ia melihat lelaki itu seperti melirik dan tersenyum padanya, tapi itu mungkin hanya imajinasinya, pikirnya. Ia pun menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan pikiran itu agar bisa lebih konsentrasi dengan bacaannya.

Setengah jam kemudian ia kembali ke kamar. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang yang empuk. Ia rebah dengan kedua tangan menyilang di belakang kepalanya. Ia kembali merasa begitu mengantuk dan untuk beberapa saat tertidur. Namun ia tiba-tiba terhentak bangun. Ia menemukan apa yang ia cari. Bukankah lelaki itu adalah lelaki yang dilihatnya di bandara beberapa jam yang lalu? Tapi rambut dan kumisnya yang tebal berbeda dengan yang dilihatnya di bandara. Mereka sempat bersenggolan secara tidak sengaja dan ia meminta maaf secara sopan dan sangat ramah. Inspektur Alex merasa yakin dengan apa yang dipikirkannya dan sebuah kesimpulan pun terbersit di kepalanya: Lelaki itu jelas-jelas sedang menyamar atau setidaknya menyembunyikan identitas dirinya. Kenapa? Itulah yang tak mampu dijawabnya.






Malaikat Maut mungkin akan menolak andai saja tidak mengetahui siapa yang akan menjadi korbannya. Klien dengan tawaran pembayaran yang sangat besar atau terlalu dermawan bisa menjadi hal yang sangat mencurigakan. Bisa saja itu adalah sebuah jebakan dari seseorang yang menginginkan kematiannya. Kalau hal itu terjadi, maka ia harus segera mengubah cara kerjanya. Seseorang mungkin telah mengendus keberadaan dirinya dan sepasukan orang bersenjata lengkap bisa saja telah menantinya di tempat yang tak diketahuinya. Ketika ia menerima profil dan foto calon korbannya ia pun memutuskan untuk mengambil resiko itu. Ia punya perhitungan yang harus dituntaskannya dengan orang itu dan baginya ini adalah waktu yang tepat.


Malaikat Maut pun menyiapkan segalanya. Tak banyak peralatan yang akan dibawanya. Bahkan tak ada sepucuk senjata yang menemaninya seperti selama ini. Sejak maraknya kasus terorisme, pengamanan berbagai fasilitas publik semakin diperketat. Tidak hanya bandara, mall-mall, hotel-hotel, dan berbagai fasilitas vital lainnya dilengkapi berbagai peralatan pendeteksi. Ini tentu saja dimulai pada tahun 2002 ketika sekelompok turis mancanegara menjadi sasaran pengeboman di Bali, yang dikenal sebagai peristiwa Bom Bali I. Pada peristiwa ini seratusan warga Australia menjadi korban, yang memicu sentimen anti Indonesia di negara Kangguru tersebut. Polisi akhirnya berhasil menangkap tiga pelaku pengeboman tersebut, yang dikenal sebagai Trio Bom Bali, yaitu Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufran alias Muklas. Mereka bertiga pun menghadapi hukuman mati beberapa tahun kemudian di depan regu tembak.

Pada masa-masa selanjutnya tindakan refresif pemerintah semakin meningkat. Di Makassar, ledakan di sebuah rumah cepat saji juga dituduhkan sebagai aksi terorisme yang menyeret sejumlah aktivis Islam sebagai pelaku. Pemerintah juga menangkap Abu Bakar Ba’syir, Presiden Jamaah Islamiyah (JI) yang dianggap sebagai dalang berbagai aksi terorisme di Indonesia di Asia Tenggara. Abu Bakar Ba’syir kemudian dibebaskan karena tidak kuatnya bukti melibatkan dirinya pada berbagai aksi tersebut, meski ia tetap mendapat pengawasan ketat setelah kebebasannya.

Keseriusan pemerintah ditunjukkan pula dengan dibentuknya Densus 88, yaitu pasukan elit di kepolisian sebagai destamen anti-teroris, pada tahun 2005, yang konon dibiayai oleh pemerintah AS dan personelnya dilatih oleh agen CIA dan FBI. Keberadaan Densus 88 ini tidak serta merta diterima masyarakat dengan baik, karena dalam aktivitasnya kerap menjadi pasukan eksekusi yang sangat agresif. Dalam beberapa aksinya mereka bisa menghancurkan apa saja. Para tersangka teroris langsung dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan. Proses pengadilan mungkin dianggap berbiaya tinggi dan kadang menjadi beban politik bagi pemerintah.

Densus 88 semakin membanggakan diri dengan ditembak matinya sejumlah gembong teroris, mulai dari Dr Azhari hingga Noordin M Top, dua orang warga Malaysia yang dituding sebagai pimpinan utama kelompok teroris di Indonesia dan memiliki keterkaitan dengan Al-Qaidah pimpinan Osama bin Laden.

Dalam kenyataannya pemerintah justru melahirkan ketakutan baru bagi masyarakat. Tak ada rasa aman dan nyaman lagi bagi masyarakat untuk berada di mana saja yang mereka kehendaki seperti selama ini. Kebebasan telah terampas dengan dalih kepentingan keamanan nasional. Dan yang paling ironis lagi bahwa korban dari upaya refresif pemerintah ini adalah masyarakat Islam. Pesantren-pesantren diawasi secara ketat. Streotip teroris pada kelompok-kelompok dengan identitas tertentu pun dilakukan dan dikekalkan oleh media massa. Sweeping untuk orang-orang berjanggut, bercadar dan berjubah kerap dilakukan. Begitulah, dunia pun berubah menjadi tanah yang penuh ancaman untuk dipijak untuk orang-orang dengan identitas tertentu.

Malaikat Maut tak membawa sepucuk senjata pun karena ia selalu tahu dimana mendapatkannya di mana saja. Lagi pula, senjata bukanlah hal yang benar-benar merepotkannya, karena apapun bisa menjadi senjata baginya. Pengalaman berada beberapa bulan dengan aktivis Moro di Filipina membuatnya bisa merakit senjata dari berbagai jenis hanya dengan menggunakan benda-benda sederhana yang mudah didapatkannya di manapun ia berada. Ia tahu sejumlah bahan obat ataupun tumbuh-tumbuhan yang diracik dengan kadar tertentu bisa menjadi racun senjata yang sangat mematikan. Dengan semua potensi yang dimilikinya, apalagi yang bisa menjadi penghalang dari rencananya?

Mendarat di bandara Sultan Hasanuddin Makassar matanya langsung tertuju pada seseorang yang tidak begitu asing baginya. Intuisinya mengatakan bukanlah hal kebetulan jika dalam pesawat yang sama ia berada dengan seorang penyelidik dan penyidik khusus dari kepolisian yang memiliki reputasi tak tercela. Melalui kontaknya di kepolisian ia tahu semua orang yang bisa saja menjadi ancaman baginya. Ia mencoba mendekat ke polisi itu dan secara sengaja menyenggol, lalu menyatakan permohonan maafnya secara ramah. Itu memang sengaja dilakukannya karena mencoba menguji peruntungannya apakah polisi itu mengenalinya. Kenyataannya tak ada tatapan terkejut dari polisi itu padanya. Ia menunggu beberapa saat di kejauhan, hingga polisi itu mendapatkan taksi yang diinginkannya.

Setelah taksi yang membawa polisi itu melaju, ia pun mengikuti dengan taksi berikutnya. Ia berpekulasi bahwa polisi itu akan menuju sebuah hotel dimana ia pun akan menginap di hotel itu. Ia harus tahu alasan keberadaan polisi itu di tempat dimana ia akan beraksi. Dan jika itu memang terkait dengan rencana yang akan dilakukannya, maka ia sudah tahu apa yang akan dilakukannya.

Taksi itu memang menuju sebuah hotel bintang lima di tengah kota. Setelah mengetahui hotel yang dituju polisi itu, Malaikat Maut tidak langsung masuk ke hotel itu. Ia malah menuju ke sebuah mall. Di mall itu ia segera mencari toilet dimana ia akan berganti penyamaran. Dan setelah yakin dengan segala penyamarannya, ia pun menuju hotel dimana polisi itu menginap.

Tak sulit baginya untuk mengetahui kamar polisi itu. Ia hanya tinggal menunggu di ruang makan dimana polisi pasti akan berada di saat jam makan tiba. Setelah beberapa jam menunggu, di sebuah sudut ruangan yang sedikit remang-remang ia mengamati polisi itu akhirnya datang memilih makanannya. Ia pun mendekat dan menyapa untuk, sekali lagi, mengetahui seberapa hebat penyamarannya. Dan sekali lagi polisi itu tampaknya tidak mengenalinya. Ia terus mengamati di kejauhan. Polisi itu, yang mungkin merasa sedang diamati, sesekali melirik padanya dengan berpura-pura menjatuhkan sesuatu. Malaikat Maut tersenyum geli sendiri. Setelah puas dengan pengamatannya, ia pun meninggalkan tempat itu secara diam-diam. Setidaknya ia kini tahu dengan siapa kemungkinan ia berhadapan kelak. Ia sudah punya rencana khusus untuk orang itu.






Coki berusaha tak meratapi apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Maya. Jika ingin memulai sesuatu dengan hasil yang baik maka mulailah dengan awal yang baik. Prinsip itu yang kini coba dijalaninya. Apalagi yang terjadi kini lebih pada kesalahpahaman belaka. Hanya butuh waktu dan sedikit kesabaran untuk memulai sesuatu yang baru dalam hubungan mereka.


Setiap siang, di saat-saat jam pulang sekolah ia akan sudah berada di depan sekolah dimana Maya mengajar. Di kejauhan ia hanya bisa menatap penuh harap. Bagi orang lain, mungkin ini sebuah kebodohan, namun baginya ini merupakan wujud dari kesungguhannya untuk meresapi perasaannya. Ia tak mencoba melawan perasaannya, seperti yang biasa banyak orang lakukan. Ia mengikuti irama cinta yang menggelora dalam hatinya. Dengan hanya menatap Maya di kejauhan, Coki merasa mendapat kehidupannya kembali. Ini benar-benar hanyalah masalah waktu hingga ia dapat meyakinkan Maya akan perasannya yang sesungguhnya.

Setiap pagi, siang dan malam ia selalu mengirim sms dengan hanya sekedar menyapa ataupun dengan kata-kata maaf. Meski sms itu tak pernah dibalas Coki tidak perduli. Ini benar-benar hanya butuh kesabaran. Ia berharap Maya akan membaca kesungguhannya dengan semua pesan singkatnya itu.



Hari berganti hari, minggu berganti minggu hingga tak terasa sebulan lebih keterputusan komunikasinya dengan Coki. Sebenarnya bukan benar-benar terputus, karena setiap hari Coki mengiriminya sms yang berisi banyak hal. Dalam hati, ia mensyukurinya dan bahkan seakan menjadi rutinitas baginya menerima sms yang kadang hanya berisi hal yang sama. Kadang sms itu hanya berisi hal-hal yang sepele, namun Maya merasakan begitu banyak cinta yang tak tertuliskan dalam pesan-pesan itu yang Coki coba ungkapkan padanya. Perlahan, perasaan hampa yang menderanya menghilang berganti rasa rindu. Tak ada benci dalam hatinya. Hanya ego yang belum bisa dikalahkannya. Maya seperti larut dalam permainan ini. Akankah takdir benar-benar mempertemukan kami? bisiknya terkadang dalam kesunyian malamnya. Jika cinta begitu indah, mengapa terkadang malah terasa menyakitkan dan menelantarkan?




Maya sedang bersiap untuk pulang ketika seorang siswanya menghampiri membawa sepucuk surat. Belum sempat ia bertanya asal surat itu ketika si siswa itu berlalu bergabung bersama teman-tamannya yang bergerombol pulang. Surat itu bukan untuknya. Di amplop itu tertulis nama yang dituju dengan tulisan tangan yang buruk: Coki. Maya mengerutkan kening merasa heran dengan surat itu. Selembar kertas yang dilekatkan di surat itu bertuliskan: Mohon bantuannya memberikan surat ini pada Coki. Penting.


Maya mencoba menerka-nerka apa yang kemungkinan sedang terjadi. Jangan-jangan ini hanya permainan Coki sekedar alasan untuk bertemu dengannya? Ia bermaksud mengabaikan surat itu, namun sebuah perasaan lain muncul di benaknya. Ia tak mungkin mengabaikan sebuah tanggung jawab yang dipercayakan padanya. Bagaimana jika surat itu benar-benar sangat penting. Tapi kenapa bukan orang itu yang langsung mengirim surat itu ke Coki atau pula menitip padanya? Mengapa orang itu menitipkannya melalui salah seorang siswanya?



Inspektur Alex benar-benar bingung dengan pencariannya. Tak ada sedikit pun informasi yang bisa membantu pencariannya. Tak ada kabar dari pusat tentang keberadaan orang itu. Tak ada kabar baru dari timnya tentang telpon baru dari pengusaha itu kepada Maskito sehingga mereka bisa mendapatkan data geografis yang jelas lokasi dimana ia berada. Dan seminggu sudah berlalu. Ia juga tak pernah bertemu lagi dengan lelaki misterius itu.


Inspektur Alex mencoba lebih agresif lagi dalam pencariannya. Ia pun mulai tempat-tempat keramaian. Ia mendatangi hotel demi hotel berbintang untuk mencari pengusaha itu. Tak begitu sulit baginya untuk memperoleh informasi dari manajer hotel karena ia punya surat sakti yang tak bisa ditolak oleh siapa pun. Penolakan atas keinginannya sama saja dengan penolakan tugas kepolisian dan itu bisa berarti subversif. Terkadang ia harus menggertak untuk mendapatkan informasi itu dan hasilnya tetap nihil. Di sela-sela pencariannya, ia mengabiskan waktu di mall, tempat yang sebenarnya sangat kecil kemungkinannya untuk didatangi si target dengan melihat pada reputasinya sebagai pengusaha ternama.

Inspektur Alex sedang menyeruput kopinya di sebuah kedia kopi modern, ketika secara tiba-tiba sebuah sosok yang dikenalinya berkelabat di depannya. Dengan terburu-buru ia mengikuti orang itu. Ia berada sekitar sepuluh meter di belakang orang itu. Ketika orang itu singgah di sebuah counter pakaian, Inspektur Alex memanfaatkan kesempatan itu untuk melihatnya dari dekat. Ia bahkan berada hanya satu meter di depan orang itu, berpura-pura sedang memilih pakaian sebagaimana orang itu. Dari segi struktur wajah memang orang itu sangat mirip dengan orang yang dicarinya. Tetapi melihat penampilannya, dengan seragam kerja, yang tampaknya dari sebuah perusahaan pembiayaan sangatlah tidak mungkin. Targetnya itu takkan mungkin berada di sebuah counter pakaian murahan dan diobral. Orang itu kemudian mengambil beberapa potong celana dan memasuki ruang ganti yang berada tak jauh di tempat dimana mereka berada. Hampir saja Inspektur Alex memutuskan untuk mengabaikan orang itu dan berlalu dari tempat itu ketika telponnya berdering. Nama salah seorang anggota timnya tertera di layar HP. Tanpa menunggu deringan selanjutnya Inspektur Alex segera mengangkat telponnya dan bergeser mencari tempat yang lebih sunyi.

“Yap,” sapanya pada si penelpon.

“Kita baru saja mendapatkan data baru keberadaan target kita,” terdengar suara yang terburu-buru.

“Ia menelpon. Kapan?”

“Sekarang. Bahkan ia masih menelpon sekarang ini. Tunggu…ia baru saja mematikan telponnya, tapi kami sudah tahu lokasinya.”

“Jangan katakan kalau ia menelpon dari sebuah mall…!”

“Bagaimana komandan tahu, ia memang….”

Inspektur Alex segera menutup telponnya dan berlari kecil ke arah tempat ganti itu. Ia melihat tumpukan pakaian bergelantung di pintu kamar ganti itu. Inspektur Alex bernafas lega. Ia memutuskan untuk menunggu beberapa saat. Hampir lima menit ia menunggu namun orang di dalam kamar ganti belum juga keluar. Tak tahan menunggu lebih lama Inspektur Alex memutuskan untuk menghampiri kamar itu dan membuka pintunya secara paksa. Baru saja tangannya hendak meraih gagang pintu kamar ganti itu ketika pintu itu terbuka dan orang yang hendak keluar dari kamar itu terhenyak kaget, begitu pun dengan Inspektur Alex. Orang itu bukanlah yang diinginkannya.

Inspektur Alex menjadi panik untuk sesaat. Ia meminta maaf pada orang itu dan segera melebarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia berjalan cepat dari ujung ke ujung dan tetap saja tak ditemukannya orang itu. Inspektur Alex benar-benar putus asa. Tiba-tiba ia berlari ke lantai dasar menuju pintu masuk-keluar. Tak perduli dengan pandangan aneh semua orang Inspektur Alex bahkan menerobos rombongan pengunjung melawan arus. Beberapa orang sempat memaki namun Inspektur Alex tak menghiraukannya. Ia harus segera berada di pintu keluar-masuk sekarang. Ketika seorang satpam mencoba menghalanginya ia memperlihatkan lencananya dan tanpa berkata apapun terus mencari di keramaian pengunjung. Berjam-jam lamanya ia menunggu dengan menatap pengunjung yang keluar satu persatu namun hasilnya tetap nihil. Inspektur Alex yang lelah dan frustasi menyesali kelalaiannya yang sejenak itu. Ia mengumpat berkali-kali dan sempat membuat beberapa orang melirik sinis padanya.

Di tengah-tengah keputusaasaan ini tiba-tiba sebuah ide baru berkelebat di kepalanya. Bukankah tadi orang itu mengenakan pakaian kerja sebuah perusahaan pembiayaan? Ia berusaha keras mengingat nama perusahaan itu. Karena tak ada sedikit pun bayangan di kepalanya, ide lain bermunculan. Ia segera masuk kembali ke dalam mall. Kali ini ia ke sebuah kios koran. Ia membeli beberapa koran lokal dan mulai membolak-balik koran itu mencari bagian iklan. Perusahaan itu pasti mengiklankan diri di koran, karena semua perusahaan pembiayaan pasti melakukannya agar dikenal luas masyarakat. Ikhtiarnya tidak sia-sia, karena beberapa saat kemudian ia menemukan iklan yang dicarinya. Meski tidak mengingat nama perusahaan itu namun ia ingat betul logo dan warna tulisannya.

Dalam setengah jam kemudian, atas jasa sopir taksi, ia sudah berada di depan perusahaan itu. Ia tidak segera masuk. Ia memikirkan cara lain untuk mendekati orang itu. Jika memang orang itu memang yang dicarinya maka suatu hal yang pasti ia telah mengganti identitasnya. Pasti ada sebuah penjelasan yang rasional atas semua ini. Inspektur Alex mulai merasakan adanya sebuah titik terang yang mampu menghubungkan segalanya. Ia tak mungkin merusak keseluruhan rencana yang sudah dibangunnya hanya karena sebuah kecerobohan kecil. Jika pengusaha itu mengganti identitasnya maka itu berarti ia memang tak ingin diketahui oleh siapa pun. Ia hanya perlu menahan diri untuk sementara waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar