Dalam sebuah
diskusi terkait kontigensi bencana banjir di Makassar beberapa waktu lalu,
seorang peserta tiba-tiba ‘protes’ dengan kegiatan itu. Mengapa kita bicara
tentang mitigasi bencana, seakan-akan kita memang sudah menunggu dengan ‘pasrah’
banjir itu akan datang?
Mengapa kita bicara tentang pencegahan. Mencegah
terjadinya banjir, saya pikir lebih penting untuk kita lakukan.
Sungguh tepat
apa yang dikatakan bapak ini meskipun ia menyampaikannya di forum yang
salah. Tapi toh kegiatan itu tidak terganggu dengan celotehan si bapak tadi.
Forum itu pun akhirnya menghasilkan draft kontigensi bencana Makassar, sebuah
panduan kesiapsiagaan ketika bencana banjir datang lagi ke makassar, yang
disertai dengan peta-peta dan titik-titik daerah rawan banjir.
Di dalam lubuk
hati, saya sebenarnya bersepakat dengan bapak tadi. Hanya saja, sayangnya forum
yang bertujuan untuk membicarakan tindakan pencegahan banjir tak juga pernah
saya temukan. Mungkin memang kita telah begitu pasrah dengan keadaan. Tapi
apakah memang tak ada cara efektif yang bisa dilakukan guna mencegah atau
setidaknya meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh banjir tersebut?
Coba kita lihat.
Cobalah cari
sungai yang ada di Kota Makassar. Sejauhmana sungai-sungai itu telah mendangkal
dan tak pernah dikeruk hingga saat ini? Coba tengok sungai yang membelah Jalan
Batua Raya. Sepanjang aliran sungai adalah hamparan tanaman enceng gondok yang
menghijaukan sungai dalam arti yang sebenarnya.
Coba cek di
berita. Pernahkah Walikota secara serius berniat baik menyelesaikan langganan
banjir yang setiap tahun menenggelamkan kota kita ini?
Yang justru
banyak adalah sanggahan, bahasa-bahasa berkelit dan saling melimpahkan tanggung
jawab kepada pihak lain. Pemkot menyalahkan Pemprov dan Pusat. Pemprov bilang Pemkot
tidak becus. Inilah yang terus berulang. Aksi saling menuding tak ingin dianggap
sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Banjir ini adalah
masalah, dan setiap masalah pasti memiliki solusi. Tapi pernahkah ada solusi
yang ditawarkan pemerintah daerah, kota dan provinsi? Yang dilakukan justru
menjadi kontraproduktif dengan menimbun pantai dan memberi izin konco-konco
mereka untuk menimbun pantai. Pohon-pohon ditebangi dengan alasan pelebaran
jalan dan pemukiman. Izin pembangunan ruko yang tak terkontrol dan mungkin saja
tanpa kajian yang mendalam.
Ruang hijau
semakin berkurang dan perlahan menghilang. Ruang terbuka semakin tertutup oleh
beton-beton. Tapi apakah Pemerintah daerah peduli dengan semua itu? Godaan
investasi mungkin lebih menggiurkan dibanding pemuliaan terhadap alam dan
lingkungan sekitar.
Dan ketika
kemudian terjadi banjir, reaksi pemerintah kota paling-paling ngikut ke bos
besarnya. Hanya bisa mengatakan “Saya turut prihatin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar