Jumat, 13 Desember 2013

Mahasiswa yang Garang dan Nalar Saya yang Keliru

Menjenguk seorang teman jurnalis korban bentrok antara mahasiswa dan polisi membuat hati ini miris. Luka di kepala, tepat di batok depan kiri, membuatnya harus menjalani operasi. Luka itu tak sekedar harus dijahit.

“Ada sisa darah yang menempel di otak depan yang harus dibersihkan. Karena membengkak, batok kepala yang dilepas tak bisa segera ditutupi,” ungkap keluarga korban menirukan penjelasan dokter.
Kita tak pernah tahu darimana batu itu berasal. Analisis terbaik kami, batu itu adalah jepretan ketapel mahasiswa yang sedang marah kepada polisi.

Teman kami ini memang sedang berada di belakang polisi, ketika jepretan batu ini menyambangi kepalanya. Tak ada helm pengaman, seperti yang biasa dia pakai. Selain karena dipinjam teman, ia juga merasa aman karena berada di jejeran polisi.

“Justru itu yang membuat dia tidak aman sebenarnya,” bisik saya dengan sangat pelan ke teman yang saya temani menjenguk.

Ironis memang. Peristiwa ini terjadi justru ketika peringantan Hari HAM diselenggarakan di seluruh dunia. Saya tak habis pikir, perayaan hari bersejarah yang seharusnya berjalan damai ini, justru dikotori oleh tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai HAM itu sendiri.

Saya ingin  mengutuk mahasiswa, tapi saya sadar mereka sebenarnya memiliki niat yang tulus dalam tindakan mereka. Mereka rela dikejar-kejar dan bahkan dipukuli polisi untuk suatu hal yang mungkin saja mereka belum fahami betul, namun mereka yakini harus lakukan karena rasa frustasi atas kondisi negeri ini yang memang kacau balau.

Kalau pun saya harus mengutuk, mungkin dari cara yang mereka lakukan untuk menyampaikan luapan ekspresi idealisme mereka. Ada suatu keyakinan yang terpatri di benak mereka, bahwa sebuah aksi hanya akan dinilai berhasil jika mampu menciptakan kegaduhan. Dan jiwa muda pun sedang polos-polosnya untuk disulut oleh provokasi sesedikit apapun itu.

Pada akhirnya, saya pun mencoba berhenti mengutuk. Apa yang terjadi pada rekan jurnalis adalah sebuah konsekuensi dari profesi, ungkap seorang jurnalis senior, mencoba menenangkan. Mahasiswa itu, kata teman itu lagi, adalah diri kita di masa lalu yang penuh jiwa berontak. “Mengutuk mereka sama halnya dengan mengutuk diri sendiri.”

Ditenangkan bagaimana pun, logika saya sebenarnya masih belum bisa menerima. Bagaimana bisa kekerasan dianggap sebagai solusi dalam menyelesaikan sebuah masalah? Lebih bingung lagi jika dilakukan oleh orang-orang yang intelek. Bagaimana bisa mahasiswa bisa menjadi sangat garang dengan jiwa pembunuh yang luar biasa. Kecuali memang, jika kekerasan sudah dianggap budaya yang mengakar, yang telah merasuki benak kita, sebagai satu-satunya cara untuk mencapai tujuan.

Saya tiba-tiba teringat buku yang pernah ditulis Donald B Calne “Batas Nalar”, yang menulis antara lain kesalahan dalam keyakinan yang kita anut selama ini. Keraguan dan kebimbangan yang muncul dalam keyakinan kita acap kali merupakan suatu kesimpulan nalar yang menunjukkan bahwa keyakinan kita sering tidak konsisten dan keliru secara logika.

Mungkin saya yang terlalu terpaku pada ‘nalar’ pada ‘logika’ yang sesat selama ini, sebagaimana tudingan Calne, yang menganggap semua manusia adalah baik dan harus baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar