Rabu, 04 Mei 2011

Malam Bertabur Bintang

Oleh Wahyu Chandra

               Kutatap bintang yang gelisah. Bulan pecah. Langit sepertinya tak bersahabat malam ini. Tetapi tetap kuingin menatapnya. Kubayangkan diriku di antara bintang-bintang itu. Aku selalu ingin ke sana sekedar pergi dari kepenatan hidup. Sesaat.  Atau malah tinggal di sana selamanya.
            Sebuah bintang melesat meninggalkan tempatnya. Orang-orang menyebutnya bintang jatuh, maka memohonlah!
            “Aku hanya ingin kau ada di sini,” pintaku dalam hati.
            Tapi malam tetap saja sepi. Bintang-bintang tetap di sana . Kau tak pernah ada di saat kubutuh keberadaanmu. Datang sesaat lalu pergi lagi. Tergesa-gesa. Tak berkata apa-apa. Ada apa dengan hidup ini? Ada apa dengan perasaan kita?
            “Kupikir kita perlu bicara!” suara lembut menyentuh tengkukku. Aku membiarkannya. Tak menoleh. Terus saja menatap bintang-bintang itu, karena merekalah temanku selama ini.
            Sunyi. Betapa sunyi itu pahit di saat-saat seperti ini. Bulan menggeliat seperti menertawakan keluh kesahku. Aku tak perduli. Dingin menikam-nikam hingga ke sumsum rasanya. Darahku seperti membeku. Dan sebuah rasa sakit. Tapi apa ada yang lebih menyakitkan melebihi kesendirian?
            “Kau marah padaku?” lagi-lagi suara itu menuding ke arahku. Tapi bintang-bintang itu terlalu indah untuk ditinggalkan. Dengarkanlah! Coba dengarkan nyanyiannya. Menyanyi dan menari dari satu bintang ke bintang yang lain, dari satu rasi ke rasi yang lain. Dengarkan malam meniup-niupkan kesenyapan. Dengarkan rintihan burung hantu. Dengarkan getir lolongan anjing di kejauhan, sayup-sayup.  Dengarkan Hotel California dari sebuah jendela kamar. Dengar degup jantung ini.  Dengar aliran darah ini. Dengar gemertak di pepohonan. Dengar kesenyapan ini.
            “Aku sangat menikmati bintang-bintang itu hingga tak ada yang bisa merampasnya dariku saat ini,” desahku pelan pada diri sendiri.
            “Tapi kita harus bicara.  Setelah ini terserah kamu.  Kita tak bisa terus menerus seperti ini. Aku letih. Mungkin kita masih bias memperbaiki apa yang masih tersisa di antara kita. Itu pun kalau masih ada,” lirih.
            Lalu ada isakan kecil. Ada kegetiran. Ah, hidup ini ada-ada saja. Selalu saja ada yang ditangisi. Lalu setelah itu tertawa. Menangis lagi. Tertawa lagi. Menangis dan tertawa. Atau bidup memang hanya sebatas tawa dan tangis belaka?
            Bintang-bintang itu melambai padaku seperti ingin membisikkan sesuatu.  Tapi mereka terlalu jauh. Dan aku sudah terlalu letih untuk mendengarnya.
            “Mengapa kau masih di bulan itu hingga terlalu tinggi untuk kuraih?”
            “Aku di sini. Di sampingmu!”
            “Tidak itu bukan kau!”
            “Pegang ini. Lihat baik-baik. Sentuh wajahku. Sentuh bibirku. Ciumlah. Ini benar-benar aku. Kau masih ingat parfumku, kan?”
            Poison. Racun! Mana pernah aku lupa itu. Kau benar-benar telah menjadi racun dalam hidupku. Aku bisa menjadi begitu kuat tapi juga menjadi lemah karenamu, seperti sekarang ini. Kau datang seperti racun dalam darahku. Membuatku tak berdaya di ketakadaanmu. Tapi bukankah semua itu bisa dipalsukan?
            Bukanlah terlalu banyak kepalsuan dalam hidup ini? Bahkan aku tak yakin bahwa diriku yang sekarang adalah diriku yang sebenarnya. Mungkin diriku selama ini hanya seseorang yang menyamar menjadi aku dan mengaku sebagai aku yang real.
            Kau. Mungkin begitu pun kau.  Tak pernah lagi menjadi kau yang sebenarnya.  Dan pada akhirnya semua itu menyeretku pada keyakinan bahwa hidup ini benar-benar penuh kepalsuan. Dan mungkin tak pernah benar-benar ada.
            “Jangan siksa aku seperti ini! Kau boleh marah padaku. Mencaciku atau malah memukulku. Aku rela. Tapi aku tak pernah rela bila kau mengingkariku seperti sekarang,“ terisak lagi. 
Tangannya menutup wajahnya yang basah seakan ingin menunjukkan ekspresi penyesalan yang dalam. Atau memang seperti inilah wanita? Seakan dengan tangis bisa menyelesaikan segalanya.
            “Akuilah aku,” katanya lagi, “akuilah bahwa kita pernah saling memiliki hingga tak ingin dipisahkan. Akuilah semua kenangan indah yang pernah kita lewati bersama.  Please! Aku mungkin akan puas walau hanya sebatas itu.“
            Ah, bintang-bintang itu. Kemana perginya mereka. Siapa yang telah begitu tega merampasnya dariku? Apalagi yang kupunyai sekarang?
            “Maafkan aku,” kataku akhirnya, “tapi apalagi yang kupunyai saat ini selain harapan akan dirimu? Mungkin aku telah terlanjur putus asa.“
            “Aku memang salah,” katanya.
            “Bukan!”
            “Ya, akulah yang paling bersalah atas semua ini.”
            Aku menggeleng.
            “Bilang saja ‘ya’!”
            “Bukan.“
            Benar salah apalah artinya? Semua itu tak akan merubah keadaan.
            Aku menggeleng lagi.
            Kataku, “Hiduplah yang salah. Waktulah yang salah. Keadaan-keadaanlah yang salah. Keputusan kitalah yang salah.“
            “Aku tak menyesali keputusan itu!”
            “Tapi kau selalu pergi.“
            “Aku tidak pergi. Aku hanya perlu menenangkan diri.”
             “Akui saja kalau kau menyesalinya. Tak apa-apa, koq!”
            “Demi apapun yang kau mau, aku tak pernah menyesal.”
            “Sumpah. Aku tak pernah percaya pada sumpah. Terlalu mudah untuk diucapkan.“
            “Terserah. Tapi aku benar-benar tak pernah menyesal.“
            “Tapi aku seperti tak pernah ada dalam kehidupanmu. Tak pernah ada di saat kubutuh keberadaanmu!”
            “Aku benar-benar masih bingung. Aku labil. Benar bahwa aku mungkin belum siap dengan semua ini, tapi itu bukan berarti aku menyesalinya.“
            Diam.
            Tapi ada saja yang melantunkan Crazy di kejauhan. Sayup-sayup memecah kesenyapan. Betapa banyak hal yuang bisa dilakukan di saat malam-malam seperti ini. Betapa banyak suara-suara yang yang bertebaran walau yang terdengar kemudian hanya keheningan. Suara-suara malam, bintang-bintang bertaburan, riak-riak udara di langit, dingin yang menusuk-nusuk, semuanya menjelma dalam bahasa keheningan.
            “Udara di sini dingin. Masuklah, nanti masuk angin!”
            Bahkan kaupun ingin memisahkanku aku dari bintang-bintang itu. Tega nian dikau.
            “Aku masih ingin di sini. Di sinilah hidupku. Kalau ada yang kau katakan lagi, katakan saja.  Aku mendengarnya. “
            Diam lagi.
            Bening di matamu. Matamu adalah telaga bening yang menenangkan. Aku ingat pertama kali mata itulah yang membuatku terpesona. Dan lalu larut dalam kebeningannya. Tiap detik, tiap waktu dalam hidupku adalah kepasrahan pada dirimu. Aku telah dibuai oleh keindahanmu. Dan bila kau benar-benar pergi dalam hidupku, apalagi yang kupunyai dalam hidup ini?
            “Maaf  kalau aku terlalu kasar padamu,“ kataku kemudian.
            Ia beranjak dan merangkul lenganku. Bersandar rapat. Terasa benar wangi racun dari tubuhnya.
            “Aku sudah memutuskan segalanya,” katanya perlahan dengan hentakan nafas yang teramat berat.
            Aku terlalu takut bagian ini. Bagaimana bila ia memutuskan pergi dari hidupku. Apalagi yang indah dalam hidup ini?
            “Jangan katakan kalau kau berubah pikiran dan lalu ingin pergi dariku!” kataku setengah sadar, setengah khawatir. Teramat lirih.
            Sunyi lagi.
            Diam lagi.
            Bintang-bintang itu, apakah juga akan pergi?
            “Aku ingin tetap di sini bersamamu, seperti janji kita dulu untuk selalu bersama apapun yang terjadi.“
            “Maksud kamu?”
            “Tak ada kebimbangan lagi. Tak ada penyesalan apapun. Aku ingin membuktikan bahwa aku benar-benar tidak menyesali semua keputusan kita itu.“
            “Kamu yakin?”
            Mengangguk.
            “Benar-benar yakin?”
            Mengangguk pasti.
            “Terlalu pahit jalan yang akan kita lalui.“
            “Aku tak perduli selama kita bersama. “
            “Kau tahu betapa besar konsekuensi semua ini atas masa depan kamu. Kau mungkin akan kehilangan segalanya. Masa depanmu. Mimpi-mimpimu. Dan segala macam keinginanmu yang mungkin takkan bisa kupenuhi?” kataku mencoba mencari keyakinan itu lebih dalam.
            “Aku tak perduli selama juga kau tak perduli. Kamu sendiri bagaimana?”           
         Aku terdiam. Menatap bintang-bintang itu. Awan gemawan berkelebat hitam seperti harus segara berada di suatu tempat saat itu juga. Ia mungkin membawa butiran-butitran air yang harus segera diturunkan di tempat itu. Entah dimana.  Bulan itu sesaat menghilang, sesaat muncul lagi. Seperti juga harapan. Seperti mimpi-mimpi yang ingin kita bangun.
            “Ya mungkin aku harus pikir-pikir dulu,” kataku tersenyum menggoda.
            Ia mencubit lenganku dan terseyum penuh bahagia. Seperti juga diriku.  Seperti juga bintang-bintang itu.
            Bintang-bintang itu.  Aku selalu ingin ke sana sekedar menghindari kepenatan hidup.  Bertaburan riuh. Cahayanya mengalir indah dan abadi, seperti juga harapan yang tak pernah kering. ** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar