Pascakeputusan MA yang membatalkan cara perhitungan suara tahap kedua KPU pada Pileg lalu, benar-benar membuktikan kebenaran adigium “Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan”.
Pada sebuah diskusi yang disiarkan ANTV yang membahas polemik keputusan MA terkait masalah pileg, menghadirkan dua kubu yang berbeda plus KPU. Kubu pertama adalah mereka yang pro dengan keputusan MA. Tentu saja mereka adalah pihak yang akan diuntungkan dengan keputusan MA ini, antara lain Zainal Maarif dari Partai Demokrat dan Indra J Piliang dari Partai Golkar. Dari yang kontra atau menolak putusan ini adalah antara lain, yang dikenal luas masyarakat, adalah Fuad Bawazier dari Partai HANURA. Dari KPU sendiri diwakli I Gusti Putu Artha, anggota KPU yang paling populer dan dikenal taktis dalam menjawab pertanyaan yang ditujukan pada KPU sehingga kerap dianggap sebagai Jubir KPU.
Yang menarik dari diskusi ini tentunya adalah duduknya Zainal Maarif dengan Indra J Piliang pada posisi yang sama dan di sisi lain Indra J Piliang harus berhadap-hadapan dengan Fuad Bawazier, kawan satu gerbong pada Pilpres yang lalu. Pernyataan indra J Piliang bahwa KPU tidak sepenuhnya independen dalam memutuskan suatu keputusan dibantah oleh Fuad yang justru menilai MA tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri apa yang sebenarnya menjadi urusan KPU. Baik Zainal maupun Indra ‘bersatu kata’ meski kedua partai yang menaungi mereka belum benar-benar sepaham dengan hasil Pilpres kemarin. Indra dan Fuad pun harus mengakhiri ‘bulan madu’ yang dulu begitu ‘mesra’ saling mendukung dan menopang kepentingan masing-masing.
Bagi yang melek politik, ini tentunya dianggap sebagai hal yang lumrah dan ‘biasa’ dalam dunia politik, bahwa kawan hari ini bisa jadi lawan di kemudian hari. Tapi bagi masyarakat umum saya menjadi khawatir hal ini tidak diterima dengan baik alias menjadi shock karenanya. Hasilnya apa? Mereka pada akhirnya menjadi bersikap apatis dengan politik. Salah seorang teman saya, yang saya kenal begitu menggebu-gebu mendukung salah satu calon presiden pada pilpres lalu adalah salah satu contoh. Ia tiba-tiba menjadi muak dan membenci para politisi dan menajiskan mereka dengan segala sepak terjangnya yang, katanya, hanya memikirkan diri sendiri dan tak pernah sedikit pun memikirkan kepentingan rakyat banyak. Meski dengan mulut berbusa-busa saya menjelaskan hakikat politik sebagai pencarian sebuah keharmonisan melalui titik konfromi tidak mampu (atau tidak ingin ) dipahami oleh akal sehatnya. Ia memang selalu memandang segala sesuatu secara hitam putih, berbeda dengan dunia politik yang justru berada di wilayah abu-abu.
Saya lalu berpikir bahwa mungkin lebih banyak lagi masyarakat kita yang memiliki pemaknaan dan pemahaman yang sama dengan teman saya ini. Jika tujuan partai politik salah satunya adalah memberikan pendidikan bagi masyarakat, seharusnya parpol memiliki tanggungjawab yang lebih besar untuk ‘mendidik’ masyarakat dengan berpolitik secara sehat dan bertanggung jawab. Ini berarti bahwa setiap parpol harus memiliki konsep tersendiri yang mudah diintegrasikan dengan pemahaman dan kepentingan masyarakat. Namun sejauhmana parpol di Indonesia memiliki konsep tersebut? Pada kenyataannya parpol di Indonesia lebih banyak berkutat pada kepentingan sendiri alih-alih memikirkan konsepsi apa yang akan ditawarkan pada masyarakat. Meski tak ada yang salah dengan adigium bahwa “Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan”, tapi seharusnya para elit parpol bisa bersikap arif dalam segala tindakan mereka. Setidaknya mereka punya setiap jawaban dari seluruh pertanyaan masyarakat atas segala sikap dan tindakan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar