Pencemaran
air laut di Pantai Losari sudah berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Selain
menyisakan tumpukan sampah dan bau yang menyengat, keberadaan limbah yang
berasal dari sejumlah sumber ini telah menurunkan kualitas air jauh di bawah
ambang mutu.
Sejumlah aktivis lingkungan di Makassar angkat bicara, menuntut upaya yang lebih serius dari pemerintah Kota Makassar menangani secepatnya persoalan ini.
Sejumlah aktivis lingkungan di Makassar angkat bicara, menuntut upaya yang lebih serius dari pemerintah Kota Makassar menangani secepatnya persoalan ini.
Menurut
aktivis lingkungan dari Forum Studi Lingkungan Hidup (FOSIL) Makassar, Anwar
Lasappa, persoalan limbah di Pantai Losari sebenarnya sudah berlangsung lama
dan sering dibicarakan dalam berbagai forum. Hanya saja berbagai upaya yang
dulu direncanakan untuk dilakukan mengatasi persoalan tersebut belum juga
terlihat hasilnya sampai sekarang.
“Ini
lagu lama, dari dulu sudah dijanjikan untuk diselesaikan, namun sampai sekarang
belum terlihat hasilnya sama sekali,” ungkap Anwar.
Penyebab
utama pencemaran di Pantai Losari menurut Anwar karena limbah-limbah domestik
yang selain berasal dari hotel-hotel dan industri yang berada sekitar Losari,
juga berasal dari limbah rumah tangga yang terdistribuskan melalui sejumlah
kanal yang berhilir di Pantai Losari. Belum lagi yang berasal dari sungai Tallo
dan Jeneberang, yang selain mengangkut limbah industri dan residu pupuk dan
pestisida yang menyebabkan eutrofikasi, juga menyebabkan sedimentasi di
beberapa titik di kawasan pantai Makassar.
Keberadaan
industri kerajinan emas yang berada di kawasan Sombaopu, yang tak jauh dari
Pantai Losari juga dinilai berkontribusi memperperah pencemaran, karena buangan
limbah merkuri yang dibuang begitu saja ke gorong-gorong, yang alirannya langsung
menuju pantai.
“Bayangkan
kalau semua limbah warga Makassar dan muara dua sungai ini terdistribusikan ke
Pantai Losari, seberapa besar pencemaran air yang bisa ditimbulkannya.”
Sebuah kajian
yang dilakukan Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi dan Maluku beberapa waktu lalu,
sebagaimana dilaporkan dalam Status Lingkungan Hidup Ekoregion (SLHE), menunjukkan
bahwa beberapa parameter terkait kualitas air di Pantai Losari, berdasarkan
hasil laboratorium, sudah tidak memenuhi syarat lagi.
Disebutkan dalam laporan tersebut bahwa, berdasarkan uji kualitas air laut yang dilakukan di titik muara Kanal Panampu, laut sekitar PT IKI, Muara sungai Jeneberang, Gussung Tallang dan Pantai Losari, tingkat kecerahan di titik tersebut telah melampaui ambang baku mutu yang telah ditetapkan. Selain itu, parameter TSS, BOD5, amonia total dan coliform di beberapa titik juga telah melewati baku mutu.
“Hasil
uji tersebut mengindikasikan bahwa air laut di titik tersebut tercemar oleh zat
padat tersuspensi, air buangan dan bakteri dan coliform,” ungkap laporan ini.
TSS atau Total padatan tersuspensi
adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan
inorganic yang dapat disaring dengan kertas millipore berpori-pori 0,45 μm.
Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena
mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang
menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser. Pantai Losari
memiliki TSS sebesar 49,2 ppm, di atas ambang batas yang diinginkan yaitu 23
ppm. Nilai TSS Pantai Losari bahkan pernah mencapai 104-456 ppm.
Menurut
Anwar, persoalan pencemaran ini hanya bisa diselesaikan jika pemerintah
memiliki Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL), yang menjadi tempat
penjaringan sampah sebelum akhirnya dialirkan ke laut.
“Saat
ini IPAL belum tersedia. Hotel-hotel yang seharusnya memiliki fasilitas ini juga
tidak semuanya memilikinya. Dulu ada kajian yang mengatakan bahwa sebagian
besar Hotel di Makassar belum memiliki IPAL, karena biaya pembuatannya yang
besar. Kalau pun ada kualitasnya juga buruk, karena sebagian air yang dialirkan
ke laut masih mengandung limbah-limbah tertentu dengan konsenterasi yang cukup
besar,” ungkapnya.
Upaya
pembuatan IPAL utuk Kota Makassar ini sebenarnya sudah pernah direncanakan pada
2009 lalu, yang akan dibangun di kawasan Tanjung Bunga seluas 6 ha. Pemerintah
pusat bahkan telah menganggarkan hingga Rp 500 miliar. Namun pembangunan IPAL
ini terhambat karena upaya pembebasan lahan yang belum selesai sampai sekarang.
“Seharusnya
tahun 2013 ini poyeknya sudah selesai, tapi Pemkot belum bisa menyediakan
lahannya, terhambat pembebasan lahan yang sampai sekarang masih berkasus,”
ungkap Anwar.
Menurut
Anwar, pengelolaan Pantai Losari menjadi rumit karena sudah bersifat politis
dimana banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Apalagi kemudian lahan di
kawasan pesisir pantai Makassar menjadi mahal karena permainan harga makelar
tanah.
“Sekarang
tanah di sekitar Tanjung itu mahal-mahal karea dikuasai oleh makelar tanah.
Bahan ada yang mengkavling daerah-daerah pesisir pantai sebagai milik mereka,
padahal seharusnya kawasan itu adalah milik negara karena sebenarnya dulunya
adalah kawasan laut yang ditimbun. Bayangkan harga tanah per meter persegi di
kawasan ini bisa mencapai Rp 9 juta,” katanya.
Direktur
Perkumpulan Jurnalis Peduli Lingkungan Sulawesi Selatan (JuRNAL Celebes),
Mustam Arif, menilai kondisi Pantai Losari saat ini akibat proyek reklamasi
pantai yang dicanangan sejak tahun 2006 lalu, yang abai pada aspek ekologis dan
cenderung eksploitatif.
Mustam
mengibaratkan Pantai Losari seperti seorang gadis cantik yang mengidap HIV/AIDS, yang kelihatan
cantik di luar, tetapi hancur dan berbahaya di dalam. Menurutnya, selama
ini pemerintah Kota Makassar mendandani Pantai Losari dengan make up dan face
up yang canggih, tanpa memperhitungkan bahwa dengan ''operasi plastik'' itu
justru pantai Losari 'mengidap' bahaya ekologis.
“Selama ini
pemerintah Kota Makassar bangga merencanakan pembangunan pengembangan Pantai
Losari dengan pendekatan fisik yang eksploitatif. Losari direklamasi dan
dimodifikasi dengan mengikuti kemauan pandangan mata. Mengikuti naluri
konsultan yang lebih mengukur kemajuan dengan sesuatu wah dipandang mata, tanpa
didukung aspek ekologis yang layak,” ungkap Mustam.
Selain itu,
menurut Mustam, pemerintah Kota Makassar terkesan mengabaikan aspek ancaman dan
kerusakan lingkungan. “Losari dieksploitasi mungkin tanpa perhitungan ekologis
yang terkait dengan kondisi sosial pemukiman, kondisi lingkungan, topografi,
dan kerentanan.”
Awaluddinnoer
dari Pusat Penelitian dan Pengembangan
Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Universitas Hasanuddin, menyatakan bahwa
dampak dari menumpuknya limbah di Pantai Losari sebenarnya sudah sangat nyata
dirasakan sekarang ini dan akan semakin besar di masa yang akan datang jika
tidak ada upaya preventif yang dilakukan.
Salah
satunya adalah keamanan konsumsi biota laut yang berada sekitar Pantai Losari
seperti kerang-kerang dan ikan. “Sudah tidak aman lagi untuk dikonsumsi,
apalagi jenis kerang-kerangan.”
Berbagai
penyakit juga telah ditemukan menjangkiti warga yang tinggal sekitar pantai,
antara lain gatal-gatal dan borok.
Menurutnya, kandungan logam berat yang
berada di kawasan Pantai Losari yang semakin meningkat. Sejumlah logam berat
yang sudah teridentikasi antara lain besi (Fe), timbal (fb) dan tembaga (Cu).
Kehadiran jenis logam ini akan mengancam kehidupan biota perairan karena logam
tersebut selain mempunyai sifat peracunan kronis juga bersifat akut.
Dampak
lain adalah penyebaran pencemaran ini yang telah menjangkau pulau-pulau
terdekat, Pulau Kayaangan dan Lae-lae, tempat dimana sejumlah terumbu karang
berada. Apalagi area pencemaran Pantai Losari diperkirakan telah mencapai 10 km
dari bibir pantai
Kondisi
terumbu karang di kedua pulau ini, menurut Awaluddinnoer, sudah berada dalam
kategori rusak dengan tingkat tutupan diperkirakan tinggal 10%. Ini bisa
dilihat dari banyaknya ditemukan makroalga akibat semakin meningkatnya
eutrofikasi dan sedimentasi di kawasan ini.
“Jika
proses sedimentasi dan pencemaran ini terus berlanjut dan mengalami loncatan
perkembangan, maka bisa diperkirakan lima tahun ke depan terumbu karang di
Pulau Kayangan dan Lae-lae akan habis atau rusak total,” ujarnya.
Dengan kondisi ini maka upaya penanganan
Pantai Losari tidak lagi sebatas melakukan gerakan bersih pantai, sebagaimana
sering dilakukan selama ini.
Menurut
Anwar, proses pembangnan IPAL Kota Makassar harus dipercepat, begitupun
pengawasan terhadap hotel-hotel dan industri yang selama ini membuang limbahnya
ke laut tanpa melalui IPAL dengan kualitas yang bagus. Begitupun dengan proses
pembangunan sekitar kawasan Pantai Losari dan Tanjung Bunga harus memperhatikan
aspek lingkungan, tidak hanya pada pertimbangan estetika kota.
“Selama
ini pembangunan dan pengembangan kawasan Pantai Losari hanya melihat pada sisi
arsitekturnya tanpa adanya kajian yang lebih mendalam akan dampak lingkungan
serta dampak sosialnya bagi masyarakat sekitar, yang justru kadang terusir
dengan adanya pembangua di kawasan tersebut,” ungkapnya.
Sementara
Awaluddinnoer menekankan pada perlunya pembangunan pesisir pantai yang tidak
bersifat parsial, tidak hanya melihat pada lautnya saja, tapi juga dengan apa
yang terjadi di darat.
“Harus
dilihat bahwa apa yang terjadi di darat akan sangat berpengaruh dengan apa yang
akan terjadi di laut. Ini berarti bahwa upaya-upaya yang dilakukan haruslah
besifat konfrehensif dengan memberi perhatian di kedua kawasan tersebut,”
ungkapnya.
Mustam
Arif sendiri mengharapkan agar pemerintah Kota Makassar meninjau kembali
sejumlah proyek reklamasi yang sudah ada selama ini, dan lebih memfokuskan pada
upaya perbaikan kualitas lingkungan yang sudah sangat rusak. Termasuk dalam hal
penyediaan IPAL.
Dari segi
topografi, Mustam menilai reklamasi berlebihan akan mempengaruhi daya dukung
lingkungan, karena mengubah garis pantai. Losari yang berada di tengah-tengah
kota, bila ini tidak didukung pengelolaan limbah yang baik dari warga,
hotel-hotel, restoran, rumah sakit, lalau limbah itu dibuang ke Pantai Losari,
akan memiliki kerentanan untuk pencemaran yang lebih besar lagi. Losari yang
dikepung pemukiman dengan prilaku masyarakat yang rendah kesadaran lingkungan,
tidak tertutup kemungkinan menjadi ''tong sampah'' yang menghias bibir pantai.
“Jika
faktor-faktor ini tidak diperhatikan, Pantai Losari yang diharapkan menjadi teras
Kota Anging Mammiri, justru akan menjadi basis pencemaran pantai Makassar,”
tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar