Rabu, 27 Januari 2010

Bahaya Laten Itu Bernama Televisi



Hari ini (27/01) Harian Kompas memuat sebuah berita yang cukup unik berjudul “Ciheulang, Kampung Tanpa Televisi”. Berita ini menarik karena di tengah terpaan globalisasi koq masih ada masyarakat yang mampu berkata ‘tidak’ pada bujuk rayu media massa yang bagi sebagian orang enggan ditinggalkan atau diabaikan.

http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/27/07355445/Ciheulang..Kampung.Tanpa.Televisi

”Jangan coba-coba membeli televisi, radio, atau barang-barang yang ber-speaker. Kalau ketahuan, barang elektroniknya bisa dibakar. Ini benar-benar sudah pernah terjadi di sini,” kata Mahpud Saripudin, Kepala Desa Dago. ”Alasannya, kata mereka, televisi dan radio bisa membuat warga lupa mengingat Tuhan.”

Desa Dago berpenduduk 5.894 jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 3.000 jiwa tinggal di Ciheulang yang berbukit-bukit. Lantaran adanya larangan—tentu saja tidak tertulis—memiliki radio dan televisi, juga segala bentuk barang elektronik yang berpengeras suara, Ciheulang akhirnya terkenal dengan julukan ”kampung aspek” alias anti-speaker.

Kampung Ciheulang sebenarnya bukanlah satu-satunya kawasan atau daerah yang secara frontal memilih bersebarangan dengan arus dominan globalisasi yg terjadi saat ini. Di Sulsel misalnya terdapat kawasan Kajang Dalam. Mereka tidak hanya memprotek diri dari berbagai macam informasi luar yang dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi mereka. Bahkan mereka menolak menggunakan berbagai peralatan yg dianggap bertentangan dengan filosofi kehidupan mereka. Alas kaki misalnya tidak digunakan di kampung ini. begitu pun dengan peralatan-peralatan dapur yg berasal dari luar. Konsekuensinya mungkin adalah ketertutupan mereka dari masyarakat luar. Di Pasang Kayu Sulbar juga masyarakat asli di sana masih ada yg cenderung ‘melarikan diri’dari arus modernitas karena ketakutan akan serangan lngsung atas eksistensi mereka.

Banyak hal yang bijak dan bisa dijadikan referensi yg berguna dari mereka. Sikap yg tidak latah atas kebudayaan luar mungkin salah satu dari nilai itu (Sikap yang kini mendominasi masyarakat kita di mana-mana). Bukankah televisi dan produkbudaya massa lain adalah bahaya laten yang seharusnya bisa diantisipasi dari sekarang, karena efek samping yg ditimbulkannya yg sunggguh luar biasa? Mungkin kita tidak secara ekstrim harus menolak televisi sebagaimana pada masyarakat Ciheulang atau Kajang Dalam tersebut, tetapi setidaknya kita mampu memilih secara bijak program yg layak untuk menjadi tontotan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar