Minggu, 22 Mei 2011

Sang Malaikat Maut (12)



Oleh Wahyu Chandra

Maya segera menghidupkan motor matiknya dan meluncur menuju rumah Leni yang berjarak beberapa kilometer dari rumahnya. Jalanan yang macet membuatnya agak telat sampai di tujuan.

Leni adalah teman karibnya dulu waktu kuliah. Setelah lulus setahun lalu, ia bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai tenaga administrasi, tak seperti dirinya yang lebih memilih mengabdi sebagai guru. Suatu hari, tiga bulan lalu, Leni berkunjung ke rumahnya. Seperti biasa mereka saling bercerita satu sama lain tentang aktivitas mereka di tempat kerja masing-masing. Maya lalu bercerita tentang motor barunya dan betapa ia harus mampu mengatur keuangannya agar mampu membayar cicilan itu tepat waktu. Karena tidak ingin direpotkan dengan setiap bulan ke kantor bayar, dan kebetulan waktu itu ia memiliki uang lebih, maka Maya bermaksud membayar tagihannya untuk tiga bulan ke depan dan menitipkannya pada Leni.

“Aku benar-benar sibuk dalam seminggu ini, Len. Kalau aku boleh meminta bantuanmu aku mau nitip pembayaran cicilan motorku ini.” Kantor perusahaan pembiayaan itu memang tak jauh dari kantor dimana Leni bekerja.

Leni langsung mengiayakan tanpa protes sedikit pun. Dan karena kesibukan pula, Maya benar-benar lupa meminta kuitansi tanda bukti pembayaran motor itu hingga debt collector itu mendatanginya.

Melihat kedatangan Maya yang tiba-tiba, Leni yang sedang duduk di teras rumahnya tampak sedikit terkejut. Ia lalu berdiri menyambut kedatangan Maya dengan kikuk. “Hai May, tumben datang sore-sore begini. Ayo langsung ke kamarku.”

Maya terlihat tenang, mencoba menyembunyikan letupan emosinya. Pasti ada penjelasan atas semua ini? Bisiknya dalam hati. Masalahnya sekarang, bagaimana ia menyampaikan hal ini dengan sebaik mungkin tanpa menimbulkan ketersinggungan. Mereka berdua masuk ke kamar Leni, seperti biasa jika Maya datang ke sana.

Mereka lalu bercerita tentang hal-hal yang remeh. Seperti sinetron yang mereka nonton semalam. Tentang pekerjaan yang menumpuk ataupun tentang betapa seringnya listrik mati dalam bulan ini. Maya mencoba bersikap santai, justru Leni lah yang terlihat sedikit gelisah.

“Oh ya, Len. Aku mau tanya sesuatu, tapi please, jangan tersinggung, ya?!”

“Mmm, ya…tanya aja….” Leni mulai terdengar gugup.

“Hmm….dulu kan aku nitip pembayaran cicilan motor ke kamu. Aku butuh kuitansi tanda bayarnya, kamu masih menyimpannya, kan?”

“Iya…a…da…sebentar ya….” Leni semakin terdengar gugup. Ia lalu membongkar lacinya satu persatu. Ketika tidak menemukan kuitansi itu di laci mana pun yang ada di kamar itu, ia mulai membongkar semuanya. Laci tempat tidur tak luput dari geledehannya.

Maya memperhatikan setiap gerak-gerik Leni, dan semakin ia memperhatikan maka semakin pula merasa ada yang aneh dengan semua sikap dan kegugupan Leni. Leni malah terlihat seperti orang yang kesurupan membongkar ke sana kemari. Ia seperti mencari sesuatu yang tak ada.

“Len….”

“Ya, sabar…sabar..sebentar….aku masih berusaha mencari…kuitansi itu seharusnya ada di kamar ini…”

“Len….”

“Aku bilang sabar! Bagaimana aku bisa mencari jika kamu terus memanggil,” bentak Leni dengan sedikit kasar. Lalu ruangan menjadi diam untuk beberapa saat. Leni yang sepertinya tak sadar dengan apa yang barusan dilakukannya lalu dulu di atas ranjang sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lalu terdengar isakan kecil.

Maya lalu menghampiri dan duduk di sampingnya, sambil berupaya menenangkan.

Tangis Leni lalu meledak sambil memeluk Maya. Ia menangis sejadi-jadinya.

“Maafkan aku, May. Ini tidak seharusnya terjadi. Aku tidak seharusnya berbuat ini padamu, tapi aku tak punya pilihan yang lebih baik.” Leni semakin terisak. Maya tak berkata apa-apa. Ia membiarkan Leni menyampaikan semua uneg-unegnya.

“Dulu ketika aku datang ke rumahmu sebenarnya aku ingin meminjam uang. Aku sangat butuh ketika itu. Namun ketika bertemu denganmu, aku urung melakukannya karena dua hal. Pertama, karena aku tahu kamu juga lagi membutuhkan banyak uang ketika itu dan kedua karena aku tidak punya alasan yang kuyakin bisa kamu terima, karena pasti kamu akan bertanya untuk apa uang itu. Ketika kamu menitipkan uang itu, sebuah pikiran lain merasukiku. Aku berpikir tak ada salahnya jika aku pinjam saja dulu uang itu untuk sementara waktu sampai aku mendapatkan uang yang bisa menggantikannya. Tapi kemudian yang terjadi aku tak pernah bisa melunasi utang-utangku itu. Aku ingin datang padamu untuk menjelaskan padamu, tapi aku merasa sangat malu dan takut. Aku malu dengan apa yang telah kulakukan dan aku takut kau akan tidak lagi mempercayaiku dan tak lagi menganggapku sebagai teman. Aku menjadi serba salah. Aku butuh keberanian lebih untuk secara jujur mengatakannya segalanya padamu, tapi sebelum keberanian itu datang kamu sudah ada di sini.”

“Kamu tinggal mengatakannya dan mana mungkin aku mengabaikannya,” bujuk Maya.

Leni kemudian semakin terisak dalam penyesalannya, “Aku takkan pernah meminta sesuatu yang kuyakin takkan pernah bisa kau terima. Aku tahu dirimu, May. Bodohnya aku menjerumuskan diri pada masalah ini dan aku harus melibatkanmu dengan cara-cara seperti ini.”

Maya mulai menyadari apa yang sedang terjadi, meski ia berharap bahwa semua itu tak seperti yang diduganya, “Jangan bilang kau uang itu kamu gunakan untuk…”

Sebelum Maya menyelesaikan kalimatnya, Leni sudah memotong duluan, “Seperti itulah yang terjadi May. Ini semua tentang Boni, pacarku yang pernah kukenalkan padamu. Makanya aku tidak pernah berani memintanya padamu. Entah setan apa yang merasukiku ketika itu.”

Leni lalu menceritakan hubungannya dengan Boni, salah satu teman kerjanya yang flamboyan. Mereka saling mengenal di hari pertama ia bekerja di perusahaan itu dan sejak itu lelaki itu selalu menggodanya. Awalnya Leni tidak menanggapi semua rayu gombal lelaki itu, tetapi melihat keuletannya dan sikap Boni yang simpatik dan lucu, Leni menjadi luluh. Pacaran mereka pun menjadi sangat serius kemudian, hingga kemudian Boni mengajaknya ke tempat kosnya, dimana mereka kemudian melakukan hal-hal yang di luar batas.

Ketika menyadari dirinya terlambat haid, Leni menjadi panik dan menceritakan hal itu pada Boni. Mereka lalu membeli alat pengetes kehamilan yang gampang diperoleh di apotik dan hasilnya adalah positif. Boni yang belum siap dengan sebuah perkawinan memaksa agar kandungan itu digugurkan. Leni yang begitu takut dengan kutuk laknat orang tuanya tak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan Boni. Mereka lalu mencari orang yang bisa melakukan praktek pengguguran itu. Seorang teman Boni menunjukkan sebuah tempat aborsi dengan ongkos yang dihitung berdasarkan bulan kandungan. Biaya yang dibutuhkan lumayan besar, melampaui gaji mereka berdua, sehingga mereka harus mencari dana tambahan. Maya adalah pilihan terakhir Leni ketika itu. Dan ketika benar-benar tidak seorang pun yang bisa menyiapkan dana itu saat itu juga, maka dengan segala keterpaksaan, dengan keberanian yang dipaksakan ia pun mendatangi Maya.

“Kamu benar dengan tidak menceritakan semua itu padaku ketika itu,“ ujar Maya dengan pikiran kosong, “karena aku pasti tidak akan pernah memberikannya sesenpun.”

Leni terlihat semakin terpukul dengan cara Maya memandangnya seperti sebuah pandangan jijik dan merendahkan. Tapi ia pun sadar inilah konsekuensi yang harus ditanggungnya. Sesuatu yang seharusnya diterimanya sejak dulu.

“Aku benar-benar minta maaf atas segalanya, May,” tangis Leni, sambil berusaha memegang tangannya. Maya menepis.

“Bukan aku yang seharusnya memberimu maaf. Anak itu, seberapa pun besarnya kalian tidak kehendaki, memiliki hak yang kalian rampas. Berapa banyak kehidupan yang kalian rampas dengan membunuh anak itu? Anak itu, jika seandainya hidup mungkin saja akan menikah dan mempunyai lima anak, yang seterusnya akan terus berkembang. Ketika kau membunuh anak itu, kalian sebenarnya telah membunuh satu generasi dari kalian sendiri.”

Maya lalu mengambil tasnya dan segera berlalu dari kamar itu tanpa berkata apa-apa. Leni hanya terpaku memandang kepergian Maya. Di pintu Maya berhenti lalu berbalik ke arah Leni, “Tak usah memikirkan uang itu. Meski dengan uang itulah nyawa seorang anak yang berdosa terengut, aku akan tetap mengikhlaskannya. Mungkin aku akan menipu diriku sendiri dengan berpikir bahwa tanpa uang itupun kalian akan tetap merenggut nyawa anak itu. Aku tidak ingin kamu mengembalikannya agar menjadi peringatan bagiku, bahwa tidak selamanya kita harus berharap hasil yang baik dari sebuah kebaikan yang kita lakukan.”

Leni hanya mampu menggigit bibir, semakin larut dalam sesal yang mendalam. Maya mungkin telah begitu membencinya, namun setidaknya ia mendapat pelajaran berharga dari semua itu.

Maya berlalu dengan perasaan hancur. Ia telah kehilangan segalanya. Kehilangan seorang sahabat (ia berpikir untuk tidak menemuinya untuk yang lama) dan kehilangan kepercayaan pada hidup itu sendiri. Ia merasa seperti menyaksikan kembali rekaman hidupnya yang dulu. Bagaimana mungkin ia dapat menjalani kehidupan normal dengan seorang lelaki, jika semua bukti yang terpampang di depannya menampilkan sisi yang mengerikan dari sebuah hubungan. Ia semakin takut hal itu akan semakin menjauhkannya dari batas kenormalan seorang wanita. Ia tidak ingin berakhir menjadi seorang pecinta sesama jenis hanya karena kondisi traumatik yang dialami, karena pengalaman interaksi yang buruk dengan lawan jenisnya.

Maya segera menstater motornya. Sebelum melajukan kendaraan, ia menelpon seseorang, “…sore ini, saat ini. Setengah jam lagi saya tiba di sana….”




Coki sementara bersiap pulang ke kantor ketika hp-nya berdering. Sebuah nomor yang tidak dikenal. Sesaat ia merasa agak bimbang mengangkat telpon itu, namun kemudian ia memutuskan mengangkatnya. Dari seberang terdengar suara wanita lembut yang menyapanya secara sopan dan ingin bertemu dengannya di sebuah kafe di tengah kota. “Ya, saya tahu tempatnya. Kapan ketemuannya…?”


Setengah jam kemudian Coki sudah berada di kafe itu dan wanita yang tadi menelponnya sudah tiba lebih dahulu. Coki mengulurkan tangan untuk bersalaman, tapi wanita itu hanya mengatupkan tangan di depan dadanya secara sopan.

“Maaf Pak, mendadak seperti ini. Tapi aku kira kita memang harus bertemu sekarang,” ujar Maya, wanita yang kini duduk di depannya.

“O, tidak masalah. Ini pastilah sangat penting.”

“Mmm, gimana memulainya ya…?” Maya tampak agak kesulitan memulai perbincangan itu.

“Bagaimana jika kita memesan minum dulu,” usul Coki sambil memanggil pelayan terdekat.

“O, iya maaf. Akulah yang seharusnya memesan karena telah mengundang bapak ke tempat ini,” giliran Maya yang memanggil pelayan itu.

Coki mencoba menerka-nerka apa yang akan disampaikan wanita itu. Ia terlihat begitu kecapean dan sedih. Coki dapat menangkap guratan kesedihan di wajah wanita itu. Apa yang terjadi? Jika ini semata-mata karena tunggakan itu Coki merasa takkan menimbulkan efek sebesar itu. Ia sedang mencoba menilai ketika wanita itu kembali bicara padanya.

“Maaf, tadi sampai dimana ya? O, iya, gini loh Pak. Aku telah bertemu dengan teman dimana aku menitip pembayaran cicilan itu dan ternyata ia memang lupa membayarkannya. Ini tentunya suatu hal yang tidak diharapkan dan mudah-mudahan bisa segera diselesaikan?”

Coki hanya diam, menunggu penjelasan lain dari wanita itu. Sesuatu yang lain tengah berkecamuk di pikirannya. “Jadi, maksud pertemuan ini, Mbak Maya ingin menyampaikan akan segera melunasi tagihan itu atau…”

Maya terlihat mencoba untuk setenang mungkin. Ia sebenarnya punya sedikit masalah untuk membayar cicilan itu saat itu juga, karena tabungannya tidak mencukupi, karena bulan kemarin tabungannya hampir habis untuk membantu membayar uang kuliah adiknya adiknya. Uang yang tersisa hanya cukup untuk melunasi satu bulan dari tagihan itu. Sementara gajiannya masih harus menunggu dua minggu lagi dan ia tidak punya alternatif pinjaman untuk membayar tagihan itu saat itu juga. Persoalan lain adalah untuk bulan depan pun ia harus membayar cicilan itu sehingga total cicilan yang harus ia bayarkan adalah empat bulan. Ia bingung bagaimana meyakinkan debt collector itu untuk memberinya sedikit kelonggaran waktu. Ia sebenarnya tak yakin debt collector itu akan mengabulkan sebagaimana banyak didengarnya selama ini. Dalam beberapa kasus seorang debt collector bukannya memberi kelonggaran, tapi malah mempersulit agar eksekusi bisa dilakukan. Barang hasil eksekusi nantinya tidak dilaporkan di kantor dan malah dijual demi keuntungan sendiri. Maya meyakinkan diri untuk mencoba membujuk untuk sebuah keringanan cara pembayaran.

Coki melihat kebimbangan di wajah wanita itu. Ia sudah punya konsep tersendiri tentang apa yang dipikirkan wanita itu dan apa yang sedang menimpanya. Bukannya menekan dan menyinggung tagihan itu, Coki malah membicarakan hal lain.

“Memang berat ya!” ujar Coki tiba-tiba.

“Maaf. Maksud bapak?” Maya celingak-celinguk, mungkin saja Coki sedang bicara dengan orang lain.

“Memang terasa berat jika orang yang begitu dekat dengan kita mengabaikan kepercayaan yang kita berikan.”

Untuk beberapa saat Maya terdiam, mencoba menerka pembicaraan lelaki di depannya. Setelah beberapa saat ia pun menyadari, bahwa lelaki itu berbicara tentang dirinya.

“Iya…eh..” Maya sedikit gelagapan, ”Bukan seperti itu…tapi…bagaimana anda mengetahuinya?” katanya kemudian dalam keputusasaan mencari kalimat yang tepat.

Coki tertawa lebar dan menatap lekat ke wanita itu, “Wajahmu, gerak-gerikmu dan semua yang ada pada dirimu adalah buku terbuka yang dapat menjelaskan segalanya tentang dirimu dan apa yang sedang kamu rasakan.”

Maya semakin gugup, “Apa seterang itu?” tanyanya lepas begitu saja, yang sebenarnya lebih ditujukan pada dirinya sendiri.

Coki kembali tertawa lebar, “Tidak usah khawatir. Aku yakin hanya aku yang bisa membacanya dengan baik. Anggap saja sebagai salah satu keahlihanku karena buah interaksi dengan begitu banyak karakter selama ini.”

Maya tersenyum tersipu. Ketegangannya berkurang, dan itulah yang sebenarnya diharapkan dari Coki dengan perbincangan singkat itu.

Mereka lalu bercerita tentang banyak hal. Mereka terlihat seperti begitu lama telah saling mengenal. Mereka lebih banyak tertawa dan membuat suasana benar-benar cair.

“Jadi, sekarang, kamu bisa cerita tentang temanmu itu, kalau kamu tidak keberatan untuk membicarakannya,” pinta Coki dengan sangat santai.

Maya yang awalnya enggan, akhirnya seperti terhipnotis menceritakan apa yang baru saja dialaminya dan bagaimana ia shock dengan apa yang diketahuinya kemudian. Meski ia merasa sedikit menyesal menceritakan sesuatu yang sebenarnya aib bagi orang lain, namun ia menemukan kelegaan dengan menceritakan semua itu dan pandangannya akan persoalan itu.

Coki menyadari betapa rapuhnya wanita itu di balik ketangguhan dan kemandirian yang ditunjukkannya. Mungkin kehidupan telah memberinya begitu banyak kekecewaan yang belum sepenuhnya mampu dihadapinya.

Perbincangan mereka menjadi lebih bersifat pribadi dan jauh menyimpang dari tujuan utama pertemuan itu. Maya bahkan hampir lupa menanyakan maksudnya jika tidak melihat logo perusahaan di baju lelaki itu. Katanya kemudian:

“Duh maaf nih, Pak, aku hampir lupa dengan maksud pertemuan ini. Gini loh Pak…..” Maya secara detil menjelaskan masalahnya dan solusi yang ditawarkannya. Coki tampak menanggapinya secara santai, jauh dari perkiraan Maya.

“Jadi?” tanya Maya meminta kepastian dengan ragu.

“Ya, kalau itu memang solusi terbaik yang ada saat ini, aku pikir tidak ada masalah. Ini tentu saja sebuah ‘kecelakaan’ yang tidak diinginkan semua orang. Tapi jika boleh aku menyarankan dan ini akan aku sampaikan pada atasan di kantor, sebaiknya tagihan yang menunggak itu jangan dibayar sekaligus. Bulan depan kan tunggakan yang harus dibayar adalah empat bulan, jadi mungkin agak lebih ringan jika dibayar untuk dua bulan saja, sisanya ntar di bulan selanjutnya.”

Maya mengangguk tersenyum riang dengan usulan itu. Itu memang pilihan yang lebih ringan dibanding ia harus melunasi semuanya di bulan depan. Tanpa Maya sadari Coki sebenarnya punya pikiran lain tentang apa yang akan dilakukannya. Tentu saja usulan itu akan ditolak oleh atasannya dengan alasan apapun. Kantor tidak menerima konfromi karena ditakutkan menjadi preseden yang buruk dan malah disalahgunakan oleh konsumen yang tidak bertanggung jawab. Usulan itu hanya akal-akalan Coki saja.

“O ya, Mbak, kalau bulan depan hendak membayar cicilan cukup menghubungi aku saja, tidak usah melalui kantor. Mbak cukup sms ke nomorku.”

Maya kembali mengangguk dengan senyum riang. Betapa mudahnya suasana hatinya berubah hari ini. Betapa banyak pelajaran berharga yang diperolehnya hari ini. Dan, yang kemudian disadarinya, untuk pertama kalinya sejak putus dengan pacarnya, ia mengobrol bebas, terbuka, penuh kehangatan, dan penuh canda tawa dengan seorang lelaki. Dan itu terjadi justru ketika ia tengah frustasi dengan mahkluk yang banyak membuatnya kecewa itu. 


(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar