“Ada sisa darah yang menempel di otak depan yang harus
dibersihkan. Karena membengkak, batok kepala yang dilepas tak bisa segera
ditutupi,” ungkap keluarga korban menirukan penjelasan dokter.
Kita tak pernah tahu darimana batu itu berasal. Analisis
terbaik kami, batu itu adalah jepretan ketapel mahasiswa yang sedang marah
kepada polisi.
Teman kami ini memang sedang berada di belakang polisi,
ketika jepretan batu ini menyambangi kepalanya. Tak ada helm pengaman, seperti
yang biasa dia pakai. Selain karena dipinjam teman, ia juga merasa aman karena
berada di jejeran polisi.
“Justru itu yang membuat dia tidak aman sebenarnya,” bisik
saya dengan sangat pelan ke teman yang saya temani menjenguk.
Ironis memang. Peristiwa ini terjadi justru ketika
peringantan Hari HAM diselenggarakan di seluruh dunia. Saya tak habis pikir,
perayaan hari bersejarah yang seharusnya berjalan damai ini, justru dikotori
oleh tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai HAM itu sendiri.
Saya ingin mengutuk
mahasiswa, tapi saya sadar mereka sebenarnya memiliki niat yang tulus dalam
tindakan mereka. Mereka rela dikejar-kejar dan bahkan dipukuli polisi untuk
suatu hal yang mungkin saja mereka belum fahami betul, namun mereka yakini
harus lakukan karena rasa frustasi atas kondisi negeri ini yang memang kacau
balau.
Kalau pun saya harus mengutuk, mungkin dari cara yang mereka
lakukan untuk menyampaikan luapan ekspresi idealisme mereka. Ada suatu
keyakinan yang terpatri di benak mereka, bahwa sebuah aksi hanya akan dinilai
berhasil jika mampu menciptakan kegaduhan. Dan jiwa muda pun sedang
polos-polosnya untuk disulut oleh provokasi sesedikit apapun itu.
Pada akhirnya, saya pun mencoba berhenti mengutuk. Apa yang
terjadi pada rekan jurnalis adalah sebuah konsekuensi dari profesi, ungkap
seorang jurnalis senior, mencoba menenangkan. Mahasiswa itu, kata teman itu
lagi, adalah diri kita di masa lalu yang penuh jiwa berontak. “Mengutuk mereka
sama halnya dengan mengutuk diri sendiri.”
Ditenangkan bagaimana pun, logika saya sebenarnya masih
belum bisa menerima. Bagaimana bisa kekerasan dianggap sebagai solusi dalam
menyelesaikan sebuah masalah? Lebih bingung lagi jika dilakukan oleh
orang-orang yang intelek. Bagaimana bisa mahasiswa bisa menjadi sangat garang
dengan jiwa pembunuh yang luar biasa. Kecuali memang, jika kekerasan sudah
dianggap budaya yang mengakar, yang telah merasuki benak kita, sebagai
satu-satunya cara untuk mencapai tujuan.
Saya tiba-tiba teringat buku yang pernah ditulis Donald B Calne “Batas Nalar”, yang menulis antara lain kesalahan dalam keyakinan yang kita anut selama ini. Keraguan dan kebimbangan yang muncul dalam keyakinan kita acap kali merupakan suatu kesimpulan nalar yang menunjukkan bahwa keyakinan kita sering tidak konsisten dan keliru secara logika.
Saya tiba-tiba teringat buku yang pernah ditulis Donald B Calne “Batas Nalar”, yang menulis antara lain kesalahan dalam keyakinan yang kita anut selama ini. Keraguan dan kebimbangan yang muncul dalam keyakinan kita acap kali merupakan suatu kesimpulan nalar yang menunjukkan bahwa keyakinan kita sering tidak konsisten dan keliru secara logika.
Mungkin saya yang terlalu terpaku pada ‘nalar’ pada ‘logika’
yang sesat selama ini, sebagaimana tudingan Calne, yang menganggap semua manusia adalah baik dan harus
baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar