Sabtu, 05 Januari 2008
Nurani: Surat Terbuka untuk JK
Apa yang salah dengan demokrasi kita? Masyarakat Sulawesi Selatan telah berbondong-bondong memberi pilihannya pada Pilkada lalu, tiba-tiba semua pengorbanan itu menjadi sia-sia hanya karena sebuah putusan yang berangkat dari logika dan landasan hukum yang tak bisa dipahami oleh siapa pun, bahkan oleh pakar yang telah puluhan tahun mendalami subtansi permasalahan tersebut sekalipun.
Siapa yang tercederai dengan semua itu? Apakah bangunan demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah selama ini, ataukah nurani rakyat yang memang selalu terluka oleh logika-logika kekuasaan yang tak terpahami, bahkan oleh seorang yang tak terawam sekalipun?
Tapi kita juga bisa berkilah, bahwa inilah cerminan wajah bangsa kita selama ini. Meski mengklaim diri sebagai negara hukum, namun hukum tidak pernah benar-benar bisa ditegakkan. Seorang yang telah merampok negara bermilyar-milyar, atau seorang pengusaha yang telah mengibiri hutan-hutan kita demi mengisi perut sendiri, bisa dengan bebas melenggang dari tuntutan hukum, meski semua orang tahu bahwa ia bersalah.
Kita pun bisa berkilah, bahwa dalam sebuah proses menuju kematangan, kadang harus mengorbankan sesuatu demi sesuatu yang lebih subtansial. Kita bisa mengabaikan nurani demi tujuan-tujuan tersebut. Lalu kita akan mencontohkan pengalaman negara lain yang bahkan butuh puluhan tahun demi menata demokrasinya. Amerika saja butuh waktu 50 tahun lebih menata demokrasinya apalagi kita yang masih seumur jagung ini. Itulah yang biasa kita katakan.
Hanya saja, sampai kapan kita akan bertahan dengan apologi-apologi seperti itu? Kita memang masih terus belajar dan belajar dalam memahami dan menjabarkan demokrasi secara lebih matang, namun bukankah banyak jalan yang lebih elegan untuk mencapai semua itu tanpa harus mengorbankan sesuatu yang sebenarnya telah nyaris hilang dari kita semua: nurani.
Pilkada Sulsel adalah tamparan yang keras bagi kita semua. Proses ini mungkin tidak memuaskan segelintir orang yang telah mengklaim Sulsel sebagai tahta kekuasaannya, dimana ia telah Raja Diraja Tak Terkalahkan di negeri ini. Namun kekalahan tersebut seharusnya menjadi cerminan diri. Melihat apa yang salah dan kurang pada diri kita selama ini. Bukan malah menghancurkan cermin itu dan melukakannya pada orang lain.
Kalau kekalahan itu tidak mengenakkan bagi kita, tidak berarti kita harus menghukum orang lain yang tak bersalah untuk merasakannya juga demi ego kita. Apakah kita tak pernah belajar, bahwa ketika upaya kekuasaan itu telah dipaksakan sedemikian rupa, maka ujung-ujungnya pasti hanya kehancuran. Beragam sejarah telah membuktikan semua itu. Mengapa kita tidak bercermin pada cermin yang lebih besar? Yaitu pada peradaban itu sendiri, dimana kekuasaan yang menindas dan absolut hanya akan berakhir dengan resistensi yang lebih besar atau bahkan malah kepunahan.
Ini adalah bunuh diri massal oleh sebuah kekuatan politik yang sebenarnya telah begitu dicintai di negeri ini. Tokoh yang selama ini telah dianggap sebagai messias karena membawa perubahan yang begitu besar bagi masyarakat Sulsel, tiba-tiba menemplang muka sendiri. Ia telah membuat liang lahatnya sendiri di tengah berbagai puja-puji yang dipersembahkan padanya.
Maka apa lagi yang bisa kita lakukan sekarang? Karena kita terlanjur dicap hidup di negara hukum, maka sebagai warga negara yang baik, kita hanya bisa menghormati segala produk hukum yang lahir di negara ini. Apalagi yang lahir dari lembaga sekaliber Mahkamah Agung. Kita akan menjadi warga negara yang taat dan berbondong-bondong menuju TPS untuk mengulang proses yang sebenarnya telah dengan setengah hati kita jalani. Apa pun hasilnya nanti, rasa sakit itu takkan pernah hilang. Ia akan tetap membekas. Ia akan menjadi tetap menjadi elegi bagi “kita” semua. Nurani-nurani yang telah tertikam kesekian kalinya oleh logika-logika kekuasaan yang tak bernurani.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar