Minggu, 27 Januari 2008
Wafatnya Soeharto, Bersedihkah Kita?
Mantan Presiden RI, Soeharto, tutup usia di tengah kontraversi kasus hukumnya yang tak kunjung usai. Seperti mengurai benang kusut, seperti itulah dilema yang dihadapi rezim yang sedang berkuasa ketika dihadapkan pada kasus hokum sang Dictator ini.
Apakah kita bersedih dengan kepergiannya?
Apakah ucap kesedihan yang diungkapkan Presiden SBY dalam konfrensi pers sesaat setelah kematian Pak Harto mencerminkan ungkapan seluruh rakyat Indonesia?
Kita ini bangsa yang aneh. Pak Harto yang kita hina dan dicecar dengan sejumlah kasus korupsi namun toh kita tangisi kepergiannya, kita agung-agungkan sebagai pemimpin besar, kita junjung setinggi langit sebagai pemimpin yang tak tergantikan, bapak pembangunan, justru setelah dia wafat. Kita membencinya sekaligus mencintainya. Atau kita hanya pura-pura membencinya selama ini karena takut dituduh tidak reformis? Atau kita mencintainya karena kita merindukan ‘belenggu’ yang diciptakan akan pikiran kita selama ini, karena kita telah menjelma menjadi bangsa masokis, yang justru eksis di bawah bayang-bayang penderitaan dan ketertindasan?
Pak Harto telah pergi membawa sekian banyak pardoksal bagi kita. Benci tapi cinta, demikian ungkap lagu-lagu cengeng. Bersedihkah Kita? Atau kita hanya berpura-pura bersedih agar tidak dituduh sebagai bangsa yang tak menghargai jasa-jasa pemimpinnya, bahkan yang paling lalim sekalipun? Atau karena kita memang merindukan senyumnya yang khas dan telah menghipnotis kita selama ini dengan berbagai slogan pembangunannya? Atau karena di zaman yang sangat edan ini, tipe pemimpin seperti Pak Harto adalah satu-satunya tipe pemimpin yang masuk akal bagi kita?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar