Dalam masayarakat dengan budaya konsumerisme yang tinggi, membeli bukan lagi karena berdasar pada kebutuhan pakai, tapi lebih pada pemenuhan kebutuhan sosial. Pembeli telah diformat sedemikian rupa melalui serbuan iklan yang bertubi-tubi akan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Dalam arti lain pembeli tidak lagi memiliki otoritas atas diri dan lakunya. Semuanya telah terkontrol melalui remote yang dikendalikan oleh para pemilik usaha (corporate).
Budaya politik di era konsumerisme pun tak bisa menghindar dari fenomena ini. Dengan mengandaikan pemilih adalah pembeli dan politik (kekuasaan) sebagai sebuah produk, maka untuk menggiring preferensi pembeli ini, kuasa iklan juga tak kalah gesitnya ber-laku. Idealnya, iklan adalah sarana komunikasi politik, dimana seseorang dapat mengkomunikasikan keinginan dan harapannya, visi dan misi atau pun langkah-langkah konkrit yang bisa diberikan pada masyarakat (calon pemilih) bila kelak ia terpilih dalam sebuah institusi kekuasaan tertentu. Dalam taraf ini, iklan telah memenuhi fungsi mediasi antara konsestan politik dengan pemilihnya. Dengan iklan ini masyarakat tahu bahwa apa yang akan “dibelinya” benar-benar sesuai dengan yang diinginkannya, bukan berdasar apa yang orang lain inginkan. Pada akhirnya akan ada penyamaan persepsi dan harapan antara kedua belah pihak, yang berbentuk pada preferensi pemilih pada konsestan politik tersebut.
Tapi apakah tujuan mulia periklanan politik seperti itu sudah benar-benar tercapai sebagaimana yang diharapkan? Pada kenyataannya yang terjadi adalah massifnya penjajahan pikiran dari para konsestan politik terhadap masyarakat calon pemilih mereka. Masyarakat yang terbiasa dengan pandangan bahwa ‘yang cantik itu baik’, ‘yang tampan itu harapan’ melalu kompetisi-kompetisi picisan di televisi, akan dapat dengan mudah digiring pada situasi dimana image atau citra adalah segalanya. Ironisnya bahwa image ini semata-mata dilihat dari sudut ‘cantik dan indah’ itu tadi. Bukan pada hasil kerja yang sebenarnya, bukan pada prestasi dan moralitas dari para kontestan politik tersebut.
Dalam politik pencitraan ini, yang menjadi produk bukanlah keinginan dan harapannya, visi dan misi atau pun langkah-langkah konkrit dari para kotenstan politik tersebut, tapi pada kontestan itu sendiri. Maka para kontestan pun lebih sibuk memoles dirinya, dengan ucapan-ucapan yang baik dan menggoda, mimik dan ekspresi muka yang seanggun dan setulus mungkin, dengan gaya style secantik dan setampan mungkin. Kenyataan bahwa ia sebenarnya bukanlah produk yang berkualitas yang diinginkan pembeli adalah persoalan belakangan. Masyarakat yang pada suatu saat sadar bahwa produk yang dibelinya tidak sesuai dengan harapan, atau penuh dengan cacat yang ditutupi, tak akan bisa berbuat banyak, karena ‘barang yang sudah dibeli tak bisa dikembalikan lagi’. Ironinya bahwa hal ini terus terulang dan terulang.
Masyarakat terus mengulang kesalahan yang sama karena mereka sebenarnya bukan lagi menjadi pemilik dirinya sendiri. Ia adalah milik kuasa mainstream budaya dimana ia berada, ia adalah milik para pengiklan, ia adalah milik televisi-televisi. Ia telah menjema menjadi boneka ‘voodoo’ yang dikendalikan oleh sihir pikiran sang pemilik kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar