Oleh Wahyu Chandra
Delapan tahun lalu, seingatku, ia datang dengan mata sembab. Keramaianlah yg membuatnya menahan tangis. Ia bercerita. Ia mencurigai suaminya, sahabatku, selingkuh dengan wanita yg kukenal. Aku cukup gugup ketika itu, karena memang begitulah adanya.
Bagaimana kau tahu ia selingkuh? tanyaku dengan nada prihatin.
Seorang teman pernah mendapati mereka jalan bersama, katanya. Kamu belum pernah melihatnya langsung? tanyaku lagi. Ia menggeleng. Itu hanya prasangkamu belaka, kataku. Aku mencoba mencari jalan ‘teraman’ menyelesaikan masalah mereka. Aku memang spesialis menyelesaikan masalah orang lain, dan selalu gagal menyelesaikan masalah sendiri.
Aku percaya pada teman itu. Ia sahabatku, tak mungkin bohong, katanya sedikit ngotot. Aku sedikit panik. Ada dua hal yang membuatku berkepentingan untuk tetap mempertahankan hubungan mereka. Pertama, mereka sudah mempunyai seorang putra, yang kusayangi. Kedua, mereka adalah sahabat hati yang telah lama kukenal. Aku tak bisa membayangkan mereka terpisah hanya karena masalah yang sebenarnya bisa terselesaikan.
Satu masalah dalam kasus ini, lelaki itu, suami wanita itu, memang benar-benar selingkuh. Aku tahu dimana mereka biasa bertemu. Dan memang semua yang diceritakan teman wanita itu memang benar adanya.
Kamu percaya pada saya? kataku berusaha setenang mungkin.
Ia mengangguk cepat. Aku bernafas lega. Kamu benar-benar percaya padaku? Ia kembali mengangguk sambil menafrik nafas panjang. Kalau kamu percaya padaku, artinya kau akan mendengar semua saranku? Ia mengangguk lagi, dan itu membuatku sedikit terperanjat, meski lega.
Dengarkan, kataku. Aku tahu betul suamimu itu. Aku mengenalnya sejak kecil hingga tahu kapan ia jujur dan kapan ia bohong. Aku tahu semua yang dilakukannya karena ia akan selalu cerita apa pun yang dilakukannya. Jika kamu percaya padaku, yakinlah bahwa ia tidak seperti dugaanmu atau kecurigaanmu atau kecurigaan temanmu itu. ia memang akrab dengan wanita itu, tapi mereka hanyalah sekedar sahabat. Yakinlah kalau ia sangat mencintamu karena ia selalu menceritakan perasaannya padaku.
Tapi… ia mencoba membantah..
Mulai saat ini, jangan dengarkan siapapun selain dari aku. Kalau ada gosip apapun tentang dia tanyalah kepastiannya padaku. Aku akan jujur padamu, karena kau juga sahabatku, sebagaimana dia selalu menjadi sahabat di hati.
Ia sepertinya terdengar puas dengan jawabanku. Ia tersenyum cerah kini. ia pun pamit dan berjanji menghubungiku segera.
Aku benar-benar berbohong padanya saat itu dan aku mempertaruhkan diriku sendiri atas kebohongan itu. Syukurnya hubungan mereka menjadi semakin membaik. kepada suaminya aku tak pernah cerita tentang perbincangan kami ini. Aku hanya menasehatinya untuk berbuat baik pada istrinya. Ibumu adalah wanita, maka jika kau berbuat jahat pada wanita manapun maka kau seperti bebruat jahat pada ibumu sendiri, kotbahku pada sahabatku itu.
Bertahun-tahun berlalu dan aku tak pernah mendengar apa-apa yang miring lagi tentang hubungan kedua sahabatku itu. Usaha yang mereka bangun berkembang pesat. Mereka pun kini memiliki tambahan dua putra. Meski demikian, aku selalu mengingat kebohongan itu. Apakah itu termasuk ‘kebohongan putih’ atau bukan tak pernah kudapat jawabnya karena memang tak pernah mencoba menanyakannya pada siapa pun. Rasa lega bercampur dengan rasa sesal.
Setelah 8 tahun, wanita itu kembali menghubungiku. Kini ia menelpon. ia mungkin selingkuh dengan seseorang, katanya. Ingatan 8 tahun lalu membuatku jera. Kini aku tak berkomentar banyak. Aku tahu kalau suaminya memang selingkuh tapi kini aku tak ingin menjadi pahlawan lagi. beban 8 tahun rasanya sudah cukup. Aku tak mencoba berbuat apa-apa seperti dulu. Aku hanya memintanya bersabar dan berdoa agar semua tuduhan itu tidak benar-benar terbukti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar