Oleh Wahyu Chandra
Wajah itu diam. Aspal yang masih panas sisa terik matahari menopang kepalanya yang diceceri darah merah basah kental. Bau anyir bercampur bau ketiak menyeruak di udara berdebu sisa-sisa laras.
Sepasang seragam coklat mengangkatnya ke sebuah ambulance yang telat setengah jam—seperti biasanya—dari yang dijanjikan. Perlahan ramai rusuh reda. Tapi laras-laras itu masih berkeliaran mencari mangsa yang bisa dipatreli. Senjata-senjata berpeluru karet tergenggam angkuh di tangan-tangan kokoh berurat. Gelegar tawa mengusir tegang kadang meletup di antara rentetan desingan peluru yang menyambar angin kering.
“Periksa di rerumputan!” teriak seseorang yang berseragam itu.
Lalu terdengar kembali desingan peluru, bercampur gaduh pukulan benda tumpul dan tendangan laras plus suara muda mengaduh.
“Seorang mahasiswa sekarat diterjang popor dengan tulang remuk, wajah membiru dan kepala retak mencucurkan darah. Dan mati. Pelakunya berseragam,” kabar dari televisi tiba-tiba sudah diperbincangkan di warung-warung kopi semenit setelah disiarkan.
“Seperti kucing dan tikus,” celutuk seorang profesor yang enggan menyadari anak itu adalah wajah yang dimuncratinya ludah basah di dalam kelas sejam sebelumnya.
“Si kucing kerjanya mengejar-ngejar, si tikus sibuk mengerat-erat,” tambahnya, sambil sesekali mendesis, memercikkan hitam sisa kopi yang terselip di pori-pori bibirnya yang keropos.
“Kucing tak bisa disalahkan begitu saja, ia berhak menerkam karena memang itulah makna keberadaannya, si tikuslah yang harus diwaspadai,” seru profesor lain, yang sudah sangat sepuh dan lapuk. Bulan lalu ia kena demo korupsi seratusan mahasiswa. Dendamnya masih di ubun-ubun.
“Tapi ia tak bisa menerkam seenaknya, karena dalam hukum kucing pun ada aturan. Segala sesuatu punya aturan. Keos bila tidak dipenuhi, apalagi jika dilakukan oleh si penegak aturan itu sendiri.” Kali ini profesor pakar hukum sok menggurui dengan wajah merendahkan mencoba menengahi diskusi yang mulai memanas itu.
Orang-orang saling menyalahkan. Si kucing menghujat si tikus. Si tikus menuding si kucing. Profesor menyalahkan dua-duanya. Pejabat politik paling berwenang dan menentukan punya teori lain dan biasanya ampuh: provokator.
”Kita harus berembuk,” ujar sang rektor dari kampus mahasiswa yang mati, yang pusingnya lebih dari tujuh keliling, ketika dicecari mik wartawan televisi di mukanya yang persegi empat berkacamata minus tiga berbingkai gading buatan India dan ubanan.
”Hari ini berembuk. Besoknya berantem lagi. Apa tidak hanya habis diongkos? Berapa banyak uang rakyat dihambur-hamburkan hanya untuk rembuk-rembukan. Mending kalau beneran. Kalau nggak?” kali ini LSM nyumbang bicara. Pedas. Menusuk seperti biasanya. Ia menulis di surat pembaca.
”Tapi kita harus tetap berembuk,” ngotot sang rektor ketika dikonfirmasikan. ”Ini masalah genting. Mahasiswa ada yang mati. Pembunuhnya kalau mati kelak akan dimakamkan di makam pahlawan, diiringi tembakan salvo tujuh kali, karena ia berseragam. Keadilan harus ditegakkan...,” sang rektor rupanya habis kena semprot dari sang istri. Mahasiswa yang mati itu adalah kemanakan dari teman arisan sang istri, yang selalu merasa suaminya adalah orang yang paling sakti di negeri ini.
”Tiap hari ribuan orang mati. Miskin dan terlantarkan. Apakah kita pernah merembukkannya? Nyawa mahasiswa dan orang miskin terbuat dari zat sama, kenapa dibeda-bedakan?” si LSM mungkin tuntas dengan bacaan Kritik Atas Pembangunan, semakin keras menyemprot. Kali ini di surat pembaca jilid II.
Orang-orang jadi ribut. Teori-teori berterbangan di udara saling sikat satu sama lain, seperti serangan pedang dalam film silat. Mahasiswa itu tetap saja mati. Orang-orang miskin itu juga masih tetap mati. Tak sadar kalau orang-orang meributkannya. Padahal mungkin mereka kini sedang sibuk mancing di surga ketujuh.
Ribut-ribut semakin menjalar melintasi laut, melintasi udara, melintasi mimpi-mimpi politisi yang cakap melihat peluang.
”Kalau mahasiswa mati itu sebuah petanda,” ujar dukun politik yang berdasi Armani di sebuah Mercy. ”Komunis rumpas karena mahasiswa nekat tertembak tentara frustasi, presiden medok terusir karena mahasiswa tertembak peluru nyasar. Ingatlah pada mitos-mitos yang membangun negeri ini sejak mahasiswa diciptakan. Konon mahasiswa tidak terbuat dari tanah, tapi dari darah yang memadat. Tanah kembali ke tanah. Darah kembali ke darah. Mahasiswa mati maka ia akan kembali ke darah dan akan terus meminta darah. Ini sejenis kutukan kuna. Maka butuh tumbal penolak bala. Harus ada yang dikorbankan. Taruhan, besok akan banyak kepala-kepala yang dikorbankan. Biasanya kambing hitam.”
”Puih, mahasiswa mati dibayar kambing hitam. Apa tidak bisa yang lain. Kambing putih misalnya?” kritik sopir si dukun bermercy, yang memang suka sok tahu.
”Tidak! Tumbal hanya afdol dengan kambing hitam. Kambing putih hanya manjur untuk selamatan khitanan.” Dukun bermercy mengeluarkan fatwa terakhirnya. Ia adalah penjaga mitos-mitos. Atau mungkin malah pencipta mitos itu sendiri?
“Mahasiswa yang mati muda adalah petanda buruk biang huru-hara jika tidak segera disiapkan tumbal,” televisi pun ikut-ikutan klenik, seperti dukun bermercy itu. Lalu orang-orang mengamini takzim. Televisi adalah sang nabi baru yang harus diikuti fatwa-fatwanya. Ibu-ibu dan gadis-gadis remaja adalah sebagian besar pengikut setianya.
“Pemerintah dan sekelompok orang sok pemerintah dikabarkan kini sedang bersusah payah mencari kambing hitam yang siap ditumbalkan,” tambah sang nabi baru itu dalam kotbah seri terbarunya.
“Apa memang harus numbal kalau ada mahasiswa mati?” seorang anak bertanya pada ibunya yang sedang sibuk menetekan anaknya yang lain, setelah sibuk semalaman menetekkan bayi yang lebih besar.
“Tivi bilang begitu, ya, begitulah. Tak usah dibantah. Tak usah ditanya. Cukup melihat dan mendengar, sayangku,” sang ibu, pengikut paling setia sang nabi, memaklumatkan anaknya yang belum juga memahami secara benar keyakinan ibunya.
”Tapi kasihan kan kambing hitamnya...” jerit si anak. Ibunya malah menyumpat mulut anaknya dengan handuk berbau bacin, takut didengar tetangga. Subversif.
Ramalan si dukun bermercy dan televisi sang nabi baru manjur membantahkan teori mana pun. Tumbal-tumbal yang terbuat dari kambing hitam kini dijejerkan siap untuk pengorbanan (dikorbankan) dirinya. Orang-orang berpesta. Negeri akan aman kembali. Arwah mahasiswa yang meminta tumbal menjadi tenang. Huru-hara terhindarkan.
Kambing hitamlah justru yang paling menderita. Mereka berkorban untuk sesuatu yang tak dipahaminya. Tapi siapa yang peduli pada nasib si kambing hitam? Ia hanya kambing hitam, yang memang lahir untuk dikorbankan. Orang-orang akan melupakan semuanya dan kini lebih asyik di depan televisi—sang nabi baru mereka—dengan khusyuk. Menanti nubuat terbaru. ”Ahmad Dani resmi menjadi calon presiden dari Partai Republik Cinta...,” terdengar teriakan sang nabi baru dan orang-orang pun mengamininya. Takzim.***
Makassar, Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar