Kamis, 05 Mei 2011

Arah Baru Demokrasi di Timur Tengah

OLEH WAHYU CHANDRA

             Dalam beberapa bulan terakhir ini, kawasan Timur Tengah mengalami sebuah guncangan dahsyat yang efeknya secara luas tidak hanya di rasakan di kawasan tersebut, namun secara menular diperkirakan akan menjangkiti negara-negara lain di dunia, khususnya negara-negara Islam.
            Guncangan ini bermula dari Tunisia, sebuah negara mayoritas berpenduduk Islam, yang secara ekonomi kini tengah mengalami krisis ekonomi yang parah, dengan tingkat pengangguran telah mencapai 40%. Rezim yang berkuasa selama berpuluh-puluh tahun dinilai sudah sangat korup dam menyengsarakan rakyatnya. Sebuah insiden bakar diri yang dilakukan oleh Mohammad Bouazizi, seorang pedagang buah kaki lima yang frustasi di Kota Sidi Bouzid. Kejadian ini memicu amarah rakyat yang akhirnya turun ke jalan menuntut pertangungjawaban rezim yang berkuasa melalui apa yang mereka namakan Revolusi Melati. Rezim otoriter Presiden Zine El Abidine Ben Ali pun tumbang.

Kesuksesan aksi turun jalan rakyat Tunisia ternyata memicu proses serupa di Mesir, negara muslim lain di kawasan yang sama. Presiden Hosni Mubarak, yang telah berkuasa selama 30 tahun pun menjadi sasaran tuntutan turun aksi rakyat. Melalui aksi yang berlangsung selama 18 hari, Mubarak pun kemudian menyatakan mundur dari tahtanya.

            Belum berselang beberapa lama proses yang sama pun berdampak ke sejumlah negara lain di Timur Tengah, antara lain Aljazair, Yaman, Bahrain dan Libya Maroko yang kini juga diguncang oleh proses yang sama mengikuti aturan efek domino.
            Apa sebenarnya yang tengah berlangsung di Timur Tengah? Mengapa ‘demokrasi’ tiba-tiba menjadi populer di negara-negara yang dulunya dikenal sangat jauh dengan nilai-nilai ‘demokrasi’ ini? Sejauhmana proses ini akan mengubah wajah dunia, khususnya untuk negara-negara Timur Tengah yang notabene adalah negara-negara Islam dalam kaitannya dengan demokrasi?

Islam dan Demokrasi
            Islam dan demokrasi adalah dua hal yang selama ini dinilai sulit untuk didamaikan. Klaim ini tumbuh didasarkan pada pengamatan para ahli terhadap sejarah Islam dari periode awal sekitar 15 abad lalu hingga sekarang. Islam dinilai akan sulit berdamai dengan demokrasi karena sifat filsafat politiknya yang unik dan bertentangan dengan demokrasi. Huntington, misalnya berpendapat bahwa kegagalan dalam memperkenalkan demokrasi di negara-negara Islam antara lain karena watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisasi Barat.

            Demokrasi yang dinilai sebagai warisan budaya politik Barat tidak bisa diinstitusikan di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam karena ia bertentangan dengan konsep ummah yang berakar kuat dalam masyarakat Muslim. Ummah sendiri adalah solidaritas yang dibangun atas dasar kesamaan iman dan melampaui solidaritas suku atau bahasa dalam masyarakat Muslim.
            Walaupun ide negara-bangsa telah diadopsi oleh masyarakat Islam secara luas, ide ummah ini dinilai telah terpatri kuat dalam pikiran kaum Muslim sehingga rezim islam, khususnya di Timur Tengah, merasa perlu menggabungkan ide nasionalisme Arab dengan konsep ummah. Hasilnya adalah suatu bentuk nasionalisme dengan semangat romantisme yang sangat kuat.
            Masalah lainnya adalah tidak adanya masyarakat kewargaan (civil society) yang dipercaya sebagai faktor penting bagi konsolidasi demokrasi di sebagian besar negara Islam. Meskipun kehidupan ekonomi negara-negara di Timur Tengah cenderung membaik namun kelas menengah di sana sangatlah lemah, yang bergantung dan terhisap ke dalam pengaruh negara.
            Huntington ketika meneliti gelombang ketiga demokratisasi di negara-negara non-demokrasi pada era 1980-an dan 1990-an tidak percaya jika proses ini akan bisa berlangsung di negara-negara Islam. Kalau pun muncul protes masyarakat di negara-negara Islam terhadap pemerintah mereka yang otoritarian, pada umumnya akan didominasi oleh kelompok Islam fundamentalis yang menuntut penegakan Islam, bukan demokrasi.
            Dengan berbagai pandangan tersebut di atas, maka gelombang demokratisasi yang kini terjadi di negara-negara Islam seakan mementahkan semua teori-teori yang ada dalam kaitannya antara Islam dan demokrasi.
Arah Baru Demokrasi
Arus demokratisasi yang kini berlangsung dan diperkirakan akan terus berlanjut di Timur Tengah dan negara-negara muslim lainnya akan sangat menentukan arah baru politik di Timur Tengah dan dunia secara lebih luas, sesuatu yang mungkin selama ini di luar perkiraan negara-negara Barat, khususnya AS.
Kesadaran baru akan demokrasi di Timur Tengah setidaknya dipicu oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah kemiskinan yang dibarengi oleh sikap korup pejabat-pejabat negara seperti yang terjadi di Tunisia, serta ataupun pertentangan sikap politik dan ideologi antara masyarakat dan pemerintahnya seperti yang terjadi di Mesir. Faktor eksternal adalah arus perkembangan teknologi komunikasi yang memberi ruang interaksi secara lebih luas bagi masyarakat terhadap lingkungan luarnya.
Faktor lainnya adalah semakin tumbuhnya civil society di negara-negara Islam seiring dengan semakin banyaknya warga yang menempuh pendidikan di negara-negara Barat, yang ketika mereka kembali ke negaranya telah menjadi diri baru yang tercerahkan dengan pandangan yang relatif baru atas nilai-nilai demokrasi dan merasa mendapat misi untuk menyuntikkan nilai-nilai demokrasi di negara mereka.
Pada kenyataannya dunia kini tengah berubah, dan masyarakat muslim di negara manapun adalah bagian dari perubahan itu. Meskipun kemudian akan masih menjadi pertanyaan sejauh mana proses demokratisasi ini akan merombak seluruh tatanan konsepsi yang ada dan memerlukan redefinisi kembali akan hubungan Islam dan demokrasi. Pastinya, dampak secara luas dari proses ini akan sangat dirasakan secara global, yang jika tidak dikelola secara baik akan memunculkan peta konflik global baru.
Suatu hal yang pasti, apa yang terjadi sekarang ini barulah sebuah awal dari sebuah proses panjang yang belum bisa diketahui ujungnya, apakah perubahan ini bermakna positif ataupun negatif atas peta konflik yang ada di Timur Tengah selama ini. Semua ini akan sangat tergantung pada basis ideologi pemimpin yang lahir dari proses demokratisasi ini nantinya.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar