Rabu, 04 Mei 2011

Ia Tidak Mencintaku



Oleh Wahyu Chandra

                Aku mengenalnya pertama kali di sebuah pesta teman, karena ia satu-satunya tamu wanita yang datang sendiri, seperti halnya aku satu-satunya tamu lelaki yang juga datang hanya sendiri ketika itu.  Kami diakrabkan secara kebetulan oleh nasib yang hampir sama, meski dalam konteks yang berbeda.
            Lalu kami saling janji untuk bertemu kemudian setelah sebelumnya tukar-menukar alamat telepon.  Ia berjanji akan menelpon lebih dulu dan ia memang menepatinya lebih cepat dari yang kukira, sehingga aku berkesimpulan saat itu kalau ia adalah sejenis wanita pengejar.  Atau malah kesepian.
            Pertemuan kedua itu adalah karena sebuah janji yang telah ia buat sendiri dan memaksaku dengan rengekan untuk menyetujuinya.  Ya, kataku.  Karena kebetulan pula aku memang sedang suntuk dengan kesendirian.  Apalagi wanita itu tak jauh dari gambaran wanita ideal yang selalu kuimpikan selama ini.  Dan bagusnya ia masih sendiri seperti pengakuannya.
            Kami akhirnya bertemu di sebuah kafe.
            Ia adalah wanita kesekian yang bertemu denganku di sebuah kafe meski di tempat yang berbeda-beda.  Hingga kadang aku berpikir mungkin hidupku memang telah ditakdirkan untuk hanya berkutat dari kafe ke kafe.
            “Kamu biasa dengan minuman alkohol?” tanyanya tanpa canggung.
            Aku mengangguk.  Justru aku yang canggung.
            “Aku lama di Paris.  Ada saja malam dalam seminggu kuhabiskan di pub-pub.  Minum le vin sekadarnya.  Kadang sendiri.  Kadang dengan lelaki yang ingin kuajak sebagaimana halnya kamu sekarang,” katanya benar-benar tanpa ada kesan canggung.
            “Aku bahkan tak pernah kemana-mana dan maaf saja kalau aku terkesan kampungan,” kataku mencoba jujur.
    Tapi ia tertawa meski bukan menertawaiku.  Ia menertawai seorang pelayan yang terpeleset hingga terjerembab di lantai.
     “Aku sudah tiga kali melihat seorang pelayan terjerembab di lantai dan aku selalu saja tak pernah bisa menahan tawa meski aku tahu itu tak seharusnya kulakukan,” katanya sambil mengusapkan tissu di matanya yang agak berair karena terlalu banyak ketawa.
            “Aku tadi mengira kamu menertawaiku.”
            Ia tersenyum.
            Lalu ia pun bercerita tentang apa saja yang berkelebat di kepalanya.  Tentang aborsi.  Libido.  Anarkisme.  Parfum.  Fashion.  Televisi.  Chaos Theory.  Dan sedikit tentang rasisme yang memang lagi trend di Perancis. Kulihat kelebatan kebencian di roman mukanya ketika menyebut nama Le Pen, yang tiba-tiba menjadi selebritis baru seantero dunia.    Lalu katanya (sambil tersenyum kecil):
            “Biasanya lelaki yang kutemani suka bicara jorok dan sepertinya sengaja merangsangku dengan cerita-cerita porno murahan meski dengan kesan banyolan.  Mereka kemudian bertanya apakah aku setuju dengan free sex.
            “Kamu ingin kita membicarakan sex?” tanyaku.
            Ia menggeleng, ”Aku hanya heran kenapa kamu tak seperti mereka-mereka itu.  Aku selalu percaya pada asumsi bahwa semua lelaki di dunia ini adalah buaya meski dengan tingkat kebuasan yang berbeda.”  Ia pun tertawa lagi.
            “Kenapa dulu kamu di Paris?” tanyaku kemudian.
            “Minggat,” katanya sambil meneguk habis anggur di tangannya lalu menuang lagi.
            “Sampai sejauh itu?”
            Ia mengangguk.
            “Kupikir ketika itu umurku mungkin takkan lama lagi, jadi wajar saja kalau aku berbuat sesuatu yang terkesan nekad.”
            “Kamu penyakitan?”
            “Tidak,” katanya sambil tersenyum geli.  “Di saat yang sama yang ada dalam benakku hanyalah bagaimana bunuh diri atau pergi kemana saja sejauh mungkin dari kehidupanku saat itu.”
            “Masalah keluarga?”
            “Ya, seperti juga kisah Siti Nurbaya.  Aku dipaksa menikah dengan lelaki yang paling kubenci di dunia ini karena sejak kecil selalu mengejekku sebagai si mata sipit, tapi ternyata belakangan ketahuan menyimpan birahi untukku.  Aku mengiayakannya di depan ayahku karena ayahku seperti kebanyakan ayah di dunia ini yang tak ingin keinginannya ditolak.  Dan kami benar-benar ditunangkan.  Sehari setelah pertunangan itu aku bertemu seorang teman yang mengajakku ke Bali dan langsung saja kusetujui hingga aku mencium tangannya berkali-kali karena telah menjadi dewa penyelamatku.  Hari itu juga aku terbang ke Bali.”
            “Bukannya ke Paris?”
            “Itu terjadi kemudian.  Di Bali aku kerja di sebuah restoran hingga beberapa bulan.  Lalu suatu ketika bosku bertanya apa aku mau kerja di Paris di sebuah restoran temannya yang lagi butuh karyawan.  Aku mengangguk meski ragu.  Dan dalam waktu yang tak terlalu lama aku pun pindah ke Paris tanpa tahu sepatah kata pun dalam bahasa Perancis kecuali bonjour, yang kadang malah bahkan salah kuucapkan.”  Ia tersenyum mencoba merangkum kembali kenangan masa lalunya.
            “Kamu betah di sana?”
            “Semestinya begitu.  Apalagi aku selalu merasa bahwa hidupku sebenarnya tak punya pilihan-pilihan.  Semua yang kujalani adalah keterpaksaan nasib.”
            “Dan kini sepertinya kamu lebih ngeparis dibanding orang Paris sendiri,” kataku tanpa bermaksud mencibir.
            Ia tersenyum sambil mengurai rambutnya yang pirang.  Parfumnya yang tak kukenal merebak halus.
            Lalu kemudian hubungan kami menjadi lebih intens minus sex.  Aku memang masih terlalu pengecut untuk mencoba membahas kemungkinan-kemungkinan itu.  Meski aku selalu yakin ia pasti menginginkannya.
            “Kamu benar-benar lelaki teraneh yang pernah kukenal,” katanya ketika tubuh kami begitu rapat di sebuah ruang karaoke dan aku tak beraksi apa-apa selain menahan nafasku yang tiba-tiba menderu.
            “Aku kan sudah bilang tak pernah kemana-mana hingga Nilai yang kupegang adalah masih Nilai-nilai yang masih kental di sini.  Free sex masih dipandang sebagai hal yang tabu atau malah haram,” kataku tanpa terpikirkan dan aku merasa malu sendiri dalam hati.
            “Tapi kau seorang yang memiliki libido sebagaimana juga setiap orang memilikinya.  Kamu seharusnya tak menafikan kodrat itu.”  Ia benar-benar seperti mencoba merangsangku.
            Dan secara refleks aku mencoba menciumnya sekedar menegakkan harga diri sebagai lelaki dan di luar dugaan ia menghindar.
            “Kenapa?” tanyaku heran, “bukannya kamu yang menginginkan seperti itu?”
            “Kamu malah seperti orang yang tak berprinsip kalau seperti itu.  Sangat naïf.”
            “Maksud kamu?”
            “Kamu melakukannya justru karena terus kupanas-panasi, bukan karena benar-benar ingin kamu lakukan.  Aku sangat benci hubungan seperti itu!”
            “Lalu aku harus bagaimana?” Aku merasa serba salah.
            “Kamu benar-benar memuakkan!” dan ia berlalu tanpa kutahu maksud kata-katanya.
            Besoknya dan beberapa hari kemudian aku selalu mencoba mengontak, tapi selalu saja ada alasan untuk menghindari bertemu denganku.  Lalu suatu malam kutemukan ia di sebuah kafe bercengkerama dengan lelaki lain dengan begitu akrabnya seperti ketika aku bersamanya.
            Aku terluka.
            Entah kenapa aku terluka dengan penolakannya itu.  Awalnya aku berpikir ia adalah wanita yang akan begitu mudah kumiliki karena keterusterangan dan kevulgarannya serta kesannya sebagai wanita pengejar dan mungkin murahan.  Aku pikir dengan segala kepolosan, keterusterangan dan ekspresi moralitas yang kutunjukkan padanya akan membuatnya mencintaiku.  Karena aku selalu yakin bahwa wanita sangat mudah diperdaya dengan kebaikan hati dan tingkah laku meski mungkin yang ditunjukkan padanya hanyalah kebohongan-kebohongan.  Kamufulase belaka. Dan aku salah, karena ternyata wanita memiliki jenis yang berbeda-beda.  Ia benar-benar pergi dari kehidupanku begitu saja.  Ia tidak mencintaiku.  

*Tulisan ini terinspirasi dari sebuah artikel di Kompas berjudul "She Loves Me Not"*
Makassar, 2002-2004  
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar