Oleh Wahyu Chandra
Tubuh Hendrawan kini terbujur kaku di perbaringan. Istri dan kedua anaknya meratap di sampingnya sementara ia sendiri tampak tersenyum bahagia. Dokter yang sesaat sebelumnya berupaya menyelamatkan nyawanya tampak terheran-heran.
“Selama karierku sebagai dokter, ini adalah kali pertama aku melihat kematian seindah ini. Lihat pancaran wajahnya. Lihat senyumnya. Sepeerti sebuah ungkapan kebahagiaan yang dalam. Pastilah suami ibu seorang penganut agama yang taat.”
Istri Hendrawan tak menjawab sepatah kata pun selain masih tersunguk. Seperti juga kedua anaknya yang kini beranjak dewasa.
Dokter itu kemudian berlalu dan bercerita kepada siapa saja ia berpapasan, akan ketakjuban pada kematian terindah pertama kali ia temui sepanjang hidupnya.
***
Lima jam sebelumnya:
Hendrawan sedang meneguk segelas bir hitam di sebuah kafe. Malam masih terlalu pagi, pengunjung masih terhitung jari. Sepasang remaja sedang menyedot minuman di gelas yang sama di beberapa kursi di depannya. Di salah sudut ruangan beberapa pemuda sedang asyik menganggu waitress yang be-rok mini. Di sudut lain, aneh, seorang setengah baya yang terasa asing baginya. Ketika ia megarahkan matanya ke sosok itu, mata mereka bersitatap. Hendrawan segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain, tetapi ketika ia tanpa sengaja kembali mengarahkan pandangannya ke orang itu, mata mereka kembali bertemu. Dan sepertinya orang itu sedang tersenyum ke arahnya. Hendrawan mencoba membuang segala prasangkanya dan menenangkan hatinya bahwa itu hanyalah perasaannya belaka. Tapi entah tiba-tiba ia merasa sangat kosong.
Jazz sedang dinyanyikan seorang wanita muda di atas panggung. Itu yang membuat hati Hendrawan kembali tak merasakan apa-apa selain sedikit ketenangan, melupakan orang aneh itu dan semua beban pikiran yang sebenarnya sudah sekian jam telah menumpuk di kepalanya.
Julia, wanita yang ditunggunya sedari tadi, tiba-tiba sudah berada di sampingya dan sesaat kemudian merengkuh tangannnya bergelajut manja.
“Sorry aku telat. Macet. Sudah lama….ya Tuhan lihat muka kamu sekusut ini. Mudah-mudahan bukan karena aku….,” kata-katanya menggantung.
Hendrawan menarik nafas panjang sambil memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut dengan kedua tangannya.
“Kalian bertengkar lagi?” Julia mencoba mengenali ekspresi di wajah kekasih gelapnya itu. Ekspresi yang sebenarnya tidak lagi asing baginya.
Hendrawan sendiri masih diam dan menatap kosong ke biduan yang masih bernyanyi di atas panggung.
“Ia tahu?” Julia menebak.
Hendrawan sekilas menatap wajah di sampingnya, “Dari dulu ia sudah tahu tapi ia menyimpannya,” katanya.
Kening Julia berkerut.
“How?”
Hendrawan malah tersenyum kecut, “Bau busuk memang gampang tercium, serapi apapun kita menyimpannya,” ungkapnya, yang sebenarnya lebih ditujukan pada dirinya sendiri.
“So?”
“Ia minta cerai. Tadi sore ia berkemas-kemas dan pergi entah kemana. Mungkin ke orang tuanya,” katanya resah.
“Ia pasti akan baik lagi seperti yang sudah-sudah,” Julia mencoba menenangkan.
Hendrawan menggeleng.
“Aku tidak yakin. Aku tidak pernah melihatnya semarah tadi.”
“I am so sorry…i…”
Hendrawan menepis, “ Aku tak menyalahkan siapa-siapa. Lima belas tahun kami bersama dan ia selalu saja terasa asing bagiku. Entah bagaimana dulu kami memutuskan untu menikah masih kami berdua ragu ketika itu. Dan kuyakin ia pun merasakan hal yang sama sepertiku. Kalaupun perkawinan kami bertahan hingga sekarang, itu lebih karena anak-anak. Ia sangat mencintai anak-anak dan tak ingin mereka tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah. Kini anak-anak beranjak dewasa. Mungkin ia berpikir tak ada lagi alasan mempertahankan perkawinan kami ini.” Hendrawan tiba-tiba saja merasa ingin menangis.
Julia mempererat rengkuhannya. Ia juga merasakan beban yang teramat dalam.
Lama meraka hanya diam. Dan jazz masih saja mengalun di atas panggung.
Hendrawan tiba-tiba menenguk habis isi gelasnya dan berdiri untuk pergi.
“Mau kemana?”
“Aku harus pergi.”
“Kemana?” Khawatir.
“Kemana saja. Pokoknya aku harus pergi.”
“Aku temani, ya?” Resah.
“Aku ingin sendiri, sorry, kali ini aku benar-benar ingin sendiri.”
Ketika Hendawan sudah di ambang pintu, tiba-tiba Ia bersitatap kembali dengan orang aneh yang dilihatnya di sudut ruangan. Ia mencoba bertanya ke seorang waitress perihal orang itu, namun ketika ia mencoba mencari kembali wajah itu, ia telah pergi entah kemana. Degup jantung Hendrawan berdetak keras, dan kembali ia meraskan perasaan yang teramat kosong.
***
Dua jam setelahnya:
Hendrawan mengendarai mobilnya tanpa tujuan pasti. Di sebuah perempatan yang mulai sunyi, ban mobilnya meletus. Dengan kesal ia meminggirkan mobilnya ke sebuah press ban yang tak jauh dari tempat itu.
Si Tukang tambal ban, seorang pria setengah baya menyambutnya sambil tersenyum ramah. Tanpa diperintahkan orang tua itu segera memeriksa ban yang kempes dan kemudian menyiapkan semua perlengkapan tambalnya.
Hendrawan sendiri menggunakan waktu itu untuk menghirup udara malam dengan duduk di sebuah bangku dari kayu sambil menenangkan perasaannya. Secara tidak sengaja ia melihat wajah si tukang tambal ban dan tiba-tiba ia merasa ada yang aneh dari orang itu. Ia merasa sangat mengenali tapi lupa dimana. Sebuah perasaan deja vu yang teramat kuat.
Setelah selesai, Hendrawan menghampiri orang tua itu untuk memberinya ongkos. Sejenak ia merasa orang itu memperhatikannya. Tapi ia mengabaikan perasaannya.
Baru saja ia beranjak memasuki mobilnya ketika orang tua itu angkat bicara: “Kenapa buru-buru, Nak? Duduklah dulu. Sepertinya anak ini sedang dirundung masalah.”
Hendrawan merasa ada kesejukan dari perkataan orang itu dan sebuah daya magnet yang tak dikenalinya seperti menahannya untuk tetap berada di tempat itu. Ia menutup kembali pintu mobilnya untuk menerima ajakan orang tua itu untuk duduk kembali di kursi kayu yang baru saja ditinggalkannya.
“Bapak bisa tahu kalau saya ada masalah,” kata Hendrawan dengan perasaan yang masih kacau.
Orang tua itu tertawa, “Raut muka kamu yang mengatakannya. Kenapa, masalah keluarga?”
Hendrawan mengangguk. Dan tiba-tiba ia merasa sudah begitu kenal dengan orang tua itu. “Istri saya minta cerai,” katanya.
Orang tua itu malah tertawa. Hati Hendrawan merasa tidak enak.
“Maaf, Nak. Jangan salah sangka. Saya tidak menertawai kamu, saya hanya menertawai kenyataan bahwa begitu mudahnya orang menyebut perceraian meski kemudian ternyata masalahnya hanya sepele-sepele saja.”
Hendrawan menggerutu dalam hati, tapi sebuah perasaan kuat mendorongnya untuk tetap berada di tempat itu.
“Kenapa?”
Hendrawan mengerutkan kening, “Ia tahu aku menjalin hubungan dengan wanita lain. Lalu ia pergi begitu saja, kemudian ia kembali lagi hanya untuk meminta cerai.”
“Bukankah ia pantas meminta hal itu?” tanya orang tua itu.
Hendrawan menarik nafas panjang, “Iya. Hanya saja aku yakin bukan itu masalah yang sebenarnya. Perselingkuhanku hanya sebuah alas an saja baginya, sudah lama ia menginginkan perceraian ini. Ia tak pernah merasa aku ada dalam kehidupannya.” Matanya berkaca-kaca.
Kembali orang tua itu tertawa, dan anehnya itu tidak lagi membuat Hendrawan merasa dongkol. Ia malah merasa ada semangat baru yang tiba-tiba merasuk dalam dirinya.
Orang tua itu berkata, “Kenapa kamu begitu yakin dengan penilaianmu itu. Apa tidak mungkin itu hanya perasaanmu saja. Hanya prasangka belaka. Aku yakin itulah sebenarnya masalahnya: prasangka. Kamu atau pun dia selalu berprasangka satu sama lain dan tak pernah ada yang mencoba untuk membuka diri. Kalian selalu berprasangka hubungan kalian anomaly, karena lahir bukan dari keinginan yang kuat satu sama lain, tapi lebih karena keterpaksaan. Apakah kamu tak pernah berpikir bahwa justru sikapmu sendiri yang membuatnya bereaksi dengan cara yang sama: mengambil jarak. Lalu kalian berdua merasa asing satu sama lain. Bukankah sikap yang ditunjukkan orang lain pada kita sebenarnya tergantung pada penerimaan kita pada orang itu. Ini tidak hanya dalam kehidupan sosial, bahkan dalam perkawinan pun akan berlaku hukum seperti itu. Aku yakin Ia mencintaimu sama seperti kamu mencintainya dengan sepenuh hati.”
“Maksud Bapak?” tanya Hendrawan dengan serius hingga mengabaikan kenyataan bahwa orang tua itu seperti tahu banyak perihal dirinya dan apa yang dirasakannya selama ini.
“Sebenarnya kalian saling mencintai. Bertahannya perkawinan kalian selama ini bukanlah karena hadirnya anak-anak di antara kalian, tapi lebih karena perasaan cinta yang sebenarnya kalian miliki. Hanya saja kalian terlau gengsi utnuk mengakui semua itu. Kalian telah disatukan oleh cinta. Ia begitu hancur ketika sepenuhnya yakin bahwa kamu benar-benar menjalin hubungan dengan wanita lain. Ia teramat cemburu. Bukan mengada-ada seperti sangkaanmu itu.”
“Bapak yakin dengan apa yang Bapak katakan?”
Orang tua itu mengangguk dengan senyum yang polos dan wajah yang seperti bersinar dengan cahaya putih yang menenteramkan.
Tiba-tiba saja Hendrawan beranjak menuju mobilnya. Ia merasa harus melakukan sesuatu saat itu: menemui istrinya untuk bersimpuh memohon dan menyatakan cinta untuk pertama kalinya sejak kebersamaan mereka selama ini.
Hendrawan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga tak perduli apapun, dengan perasaan yang teramat bahagia. Ia tersenyum pada kehidupan yang tiba-tiba terasa indah untuk ditangisi. Dalam kebahagiaannya, tiba-tiba ia teringat dimana ia pernah melihat orang tua itu. Orang tua itulah sebagai orang yang aneh yang dilihatnya di kafe beberapa sebelumnya. Dan ketika ia menyadari segalanya, sebuah truck menghantam mobilnya dari samping dengan kecepatan tinggi. Mobilnya berguling-guling hingga ringsek dan bahkan menjadi tak terbentuk lagi. Ia masih tersenyum ketika itu. Senyum terakhir yang indah dan abadi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar