OLEH WAHYU CHANDRA
Kalau Suti bunting, maka akulah yang
merasa paling bersalah. Bagaimana tidak, akulah yang mengenalkannya pada Tono,
pacarnya itu, setahun lalu di sebuah seminar politik. Suti sendiri telah lama
kukenal. Kami satu gugus di penataran P4 di awal kemahasiswaan dan berlanjut
sama-sama aktif di lembaga kemahasiswaan kemudian. Kedekatan kami adalah
sebagai teman, walau beberapa lama sempat menjalin ikatan hati. Lalu suatu hari
ia pun kukenalkan pada Tono yang kemudian hari tergila-gila padanya.
“Ia tipe wanita yang kuidamkan
selama ini,” Tono memelas padaku setelah perkenalan itu dan meminta campur
tanganku untuk memuluskan jalannya.
“Tapi kamu bukan tipenya,” jawabku
seadanya.
“Makanya itu, please, bantu
dong! Setidak-tidaknya kamu bisa meyakinkannya akan keseriusanku.” Tono
benar-benar memelas seperti anak kecil yang meminta permen pada ibunya dan
entah kenapa aku menjadi kasihan padanya dan percaya saja segala bualannya,
walau aku tahu kebrengsekannya selama ini.
“Aku takut ia malah hanya akan
menjadi korbanmu yang ke sekian, seperti yang terjadi pada Wati, Nani, Mimi dan
sejumlah nama lainnya. Yang selalu kau bicarakan bagaimana mereka kau campakkan
dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Malah kamu tertawa terbahak-bahak,
seakan-akan mereka adalah bahan lawakan yang lucu.” Aku sempat sinis juga
sebenarnya..
“Tidak, kali ini lain. Benar-benar
lain. Aku yakin dialah mahadewi yang kuidamkan selama ini. Aku akan serius,
seserius yang kau inginkan.”
Dan memang ia benar-benar serius. Ia
menghamilinya.
Kalau Suti bunting, maka akulah yang
paling merasa kalut mendengarnya. Orang tuanya mengenalku sama seperti mereka
mengenal anak-anak mereka sendiri. Akulah yang selalu mampu meyakinkan mereka
kalau Suti mampu jaga diri dan aku sendiri akan menjaganya dengan sepenuh jiwa
dan ragaku. Aku menjadi jaminan akan keleluasaan pergaulan Suti dan segala
aktifitasnya. Kalau Suti hendak pergi ke suatu daerah dan harus menginap maka
akulah yang selalu kebagian tugas untuk menjelaskan pada mereka bahwa Suti akan
baik-baik saja. Suti takkan macam-macam. Dan tak ada orang yang akan
macam-macam padanya. Kalau akhirnya mereka tahu Suti bunting, maka pasti akulah
yang menjadi sasaran pertama kemarahan mereka, selain pada Suti tentunya.
“Apa yang harus kulakukan sekarang?”
Tono membawa mukanya yang bengkok, seperti sepotong gabus tersiram bensin.
“Kamu sendiri, apa yang ingin kamu
lakukan?” sinisku walau juga kasihan.
“Aku bingung. Kamu tahu sendiri
orang tuaku, kalau mereka tahu maka mereka akan membunuhku.”
“Orang tua Suti juga pada akhirnya
akan membunuhmu kelak.”
“Lalu bagaimana dong?” ia
benar-benar menangis sekarang. Ada butiran air di matanya. Dan aku ingin
menamparnya.
“Kamu punya dua pilihan mati memang.
Tinggal pilih, mau mati dengan cara bagaimana. Mati sebagai pengecut atau
sebagai orang tolol,” sinisku lebih sinis.
“Kamu jangan bercanda begitu dong!
Aku ingin hidup dan keluar dari masalah ini.”
“Anak dalam rahim Suti juga ingin
hidup. Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu sekarang dan sia-sia saja kamu
minta pembenaran dariku akan rencana aborsimu. Kamu mau dia aborsi kan? Aku
lebih memilih kamu yang mati daripada anak tak berdosa itu. Dan aku pun
berharap kamu mempunyai pilihan yang sama.”
“Kamu mau aku mati?”
“Aku tidak ingin kamu menjadi
pengecut.”
“Tapi tetap saja aku mati kan?”
Ia pergi kemudian. Wajahnya
benar-benar tak bisa kukenali kini.
Seminggu berlalu dan Tono tak pernah
datang-datang lagi. Aku khawatir juga sebenarnya kalau ia berbuat macam-macam.
Aku jugalah yang merasa paling bersalah bila ia memilih mati dengan caranya
sendiri. Aku yang memintanya tidak menjadi pengecut walau nyawa adalah
taruhannya. Aku tidak ingin ia mati karena dialah teman terbaikku selama ini
dan anak dalam kandungan Suti butuh seorang ayah.
“Apa yang harus kulakukan sekarang,”
giliran Suti yang datang padaku sambil terisak dengan kondisi tak jauh beda
dengan Tono ketika datang padaku.
“Apa kira-kira yang ingin kamu
lakukan?” sinisku seperti kepada Tono. Dan juga kasihan. Matanya yang
berkaca-kaca tak mampu kutatap lebih lama.
“Ia memberi dua pilihan. Lalu
memberiku dua pil. Dan katanya semua terserah padaku.”
“Kamu memakan pil-pil itu?” aku
bergidik membayangkan sesuatu.
“Tidak. Kecuali ia juga memberiku
pil lain. Untuk diriku sendiri. Kalau anak ini harus mati, maka begitu pun aku.
Itu yang kukatakan padanya.”
Aku lega meski juga khawatir.
Bagaimana kalau kewarasan Tono hilang dan memuluskan permintaan Suti itu? Dalam
kondisi psikologis tertekan bukankah seseorang bisa saja bertindak irasional
dan atau malah bertindak di luar kewarasan, sedang ia sendiri tidak
menyadarinya? Kalau hal itu terjadi, maka aku pun harus memakan pil yang sama,
karena akulah yang paling bertanggung jawab pada hubungan mereka atau malah
kehidupan mereka.
Sebulan sudah Tono tak juga
muncul-muncul. Suti benar-benar dalam kondisi mengkhawatirkan. Tak berapa lagi
pasti aib yang mereka simpan akan segera diketahui orang lain, dan itu berarti
neraka bukan hanya pada Suti dan Tono tetapi juga padaku. Aku yang menjadi
semakin kalut kini. Tak kukenali lagi diriku di cermin. Seperti sebongkah
karang yang kikis oleh ombak.
Aku pun khawatir Suti harus
melakukannya lagi. Menggugurkan kandungannya seperti ketika aku melakukan hal
yang sama padanya tiga tahun yang lalu.
Makassar, Januari 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar