Sabtu, 07 Mei 2011

Ketika Suti Bunting


OLEH WAHYU CHANDRA

Kalau Suti bunting, maka akulah yang merasa paling bersalah. Bagaimana tidak, akulah yang mengenalkannya pada Tono, pacarnya itu, setahun lalu di sebuah seminar politik. Suti sendiri telah lama kukenal. Kami satu gugus di penataran P4 di awal kemahasiswaan dan berlanjut sama-sama aktif di lembaga kemahasiswaan kemudian. Kedekatan kami adalah sebagai teman, walau beberapa lama sempat menjalin ikatan hati. Lalu suatu hari ia pun kukenalkan pada Tono yang kemudian hari tergila-gila padanya.

“Ia tipe wanita yang kuidamkan selama ini,” Tono memelas padaku setelah perkenalan itu dan meminta campur tanganku untuk memuluskan jalannya.

“Tapi kamu bukan tipenya,” jawabku seadanya.

“Makanya itu, please, bantu dong! Setidak-tidaknya kamu bisa meyakinkannya akan keseriusanku.” Tono benar-benar memelas seperti anak kecil yang meminta permen pada ibunya dan entah kenapa aku menjadi kasihan padanya dan percaya saja segala bualannya, walau aku tahu kebrengsekannya selama ini.

“Aku takut ia malah hanya akan menjadi korbanmu yang ke sekian, seperti yang terjadi pada Wati, Nani, Mimi dan sejumlah nama lainnya. Yang selalu kau bicarakan bagaimana mereka kau campakkan dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Malah kamu tertawa terbahak-bahak, seakan-akan mereka adalah bahan lawakan yang lucu.” Aku sempat sinis juga sebenarnya.. 

“Tidak, kali ini lain. Benar-benar lain. Aku yakin dialah mahadewi yang kuidamkan selama ini. Aku akan serius, seserius yang kau inginkan.”

Dan memang ia benar-benar serius. Ia menghamilinya.

Kalau Suti bunting, maka akulah yang paling merasa kalut mendengarnya. Orang tuanya mengenalku sama seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Akulah yang selalu mampu meyakinkan mereka kalau Suti mampu jaga diri dan aku sendiri akan menjaganya dengan sepenuh jiwa dan ragaku. Aku menjadi jaminan akan keleluasaan pergaulan Suti dan segala aktifitasnya. Kalau Suti hendak pergi ke suatu daerah dan harus menginap maka akulah yang selalu kebagian tugas untuk menjelaskan pada mereka bahwa Suti akan baik-baik saja. Suti takkan macam-macam. Dan tak ada orang yang akan macam-macam padanya. Kalau akhirnya mereka tahu Suti bunting, maka pasti akulah yang menjadi sasaran pertama kemarahan mereka, selain pada Suti tentunya.

“Apa yang harus kulakukan sekarang?” Tono membawa mukanya yang bengkok, seperti sepotong gabus tersiram bensin.

“Kamu sendiri, apa yang ingin kamu lakukan?” sinisku walau juga kasihan.

“Aku bingung. Kamu tahu sendiri orang tuaku, kalau mereka tahu maka mereka akan membunuhku.”

“Orang tua Suti juga pada akhirnya akan membunuhmu kelak.”

“Lalu bagaimana dong?” ia benar-benar menangis sekarang. Ada butiran air di matanya. Dan aku ingin menamparnya.

“Kamu punya dua pilihan mati memang. Tinggal pilih, mau mati dengan cara bagaimana. Mati sebagai pengecut atau sebagai orang tolol,” sinisku lebih sinis.

“Kamu jangan bercanda begitu dong! Aku ingin hidup dan keluar dari masalah ini.”

“Anak dalam rahim Suti juga ingin hidup. Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu sekarang dan sia-sia saja kamu minta pembenaran dariku akan rencana aborsimu. Kamu mau dia aborsi kan? Aku lebih memilih kamu yang mati daripada anak tak berdosa itu. Dan aku pun berharap kamu mempunyai pilihan yang sama.”
“Kamu mau aku mati?”

“Aku tidak ingin kamu menjadi pengecut.”

“Tapi tetap saja aku mati kan?”

Ia pergi kemudian. Wajahnya benar-benar tak bisa kukenali kini.

Seminggu berlalu dan Tono tak pernah datang-datang lagi. Aku khawatir juga sebenarnya kalau ia berbuat macam-macam. Aku jugalah yang merasa paling bersalah bila ia memilih mati dengan caranya sendiri. Aku yang memintanya tidak menjadi pengecut walau nyawa adalah taruhannya. Aku tidak ingin ia mati karena dialah teman terbaikku selama ini dan anak dalam kandungan Suti butuh seorang ayah.

“Apa yang harus kulakukan sekarang,” giliran Suti yang datang padaku sambil terisak dengan kondisi tak jauh beda dengan Tono ketika datang padaku.

“Apa kira-kira yang ingin kamu lakukan?” sinisku seperti kepada Tono. Dan juga kasihan. Matanya yang berkaca-kaca tak mampu kutatap lebih lama.

“Ia memberi dua pilihan. Lalu memberiku dua pil. Dan katanya semua terserah padaku.”

“Kamu memakan pil-pil itu?” aku bergidik membayangkan sesuatu.

“Tidak. Kecuali ia juga memberiku pil lain. Untuk diriku sendiri. Kalau anak ini harus mati, maka begitu pun aku. Itu yang kukatakan padanya.”

Aku lega meski juga khawatir. Bagaimana kalau kewarasan Tono hilang dan memuluskan permintaan Suti itu? Dalam kondisi psikologis tertekan bukankah seseorang bisa saja bertindak irasional dan atau malah bertindak di luar kewarasan, sedang ia sendiri tidak menyadarinya? Kalau hal itu terjadi, maka aku pun harus memakan pil yang sama, karena akulah yang paling bertanggung jawab pada hubungan mereka atau malah kehidupan mereka.

Sebulan sudah Tono tak juga muncul-muncul. Suti benar-benar dalam kondisi mengkhawatirkan. Tak berapa lagi pasti aib yang mereka simpan akan segera diketahui orang lain, dan itu berarti neraka bukan hanya pada Suti dan Tono tetapi juga padaku. Aku yang menjadi semakin kalut kini. Tak kukenali lagi diriku di cermin. Seperti sebongkah karang yang kikis oleh ombak.

Aku pun khawatir Suti harus melakukannya lagi. Menggugurkan kandungannya seperti ketika aku melakukan hal yang sama padanya tiga tahun yang lalu.

Makassar, Januari 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar