Sabtu, 21 Mei 2011

Sang Malaikat (10)

Oleh Wahyu Chandra


Coki telah merasakan begitu banyak kehilangan. Di usianya yang masih sangat belia, ia kehilangan semua keluarganya. Pamannya yang kemudian menjadi tumpuan hidup dan panutannya pun meninggalkannya secara tragis. Dan kejadian terakhir bahkan lebih menyakitkan, dimana kehidupan kembali merenggut apa yang paling dicintainya, justru di saat ia mencoba menjalani hidup normal dan menjauh dari masa lalunya yang kelam: istri tercinta.

Semua masa lalu kelam yang dilaluinya berkelabat di depan matanya ketika prosesi pemakaman istrinya. Awalnya ia membenci segalanya. Ia membenci hidup yang tak pernah berlaku adil padanya. Jika ia mampu mendapatkan apapun yang diinginkannya selama ini, kenapa ia justru tak mampu menikmati manisnya cinta dengan orang yang dikasihaninya. Apa yang salah dengan hidupnya selama ini?

Berminggu-minggu ia mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan. Ia meninggalkan semua aktivitasnya, sekedar memahami apa yang sedang terjadi pada kehidupannya. Apakah ini semacam karma bagiku? Sesalnya dalam kontempelasinya itu. Lalu bagaimana aku bisa menghapus semua karma itu? Seorang bijak pernah berkata bahwa setiap orang akan memanen apa yang ditanamnya. Apakah nasib buruk yang menimpa kehidupanku selama ini adalah panen dari apa yang telah kuperbuat selama ini?

Ketika masih bersama pamannya, ia menjalani kehidupan yang anomali. Setiap hari ia berkutat dalam kehidupan yang tak pasti dan terkadang penuh ketakutan. Pamannya mungkin adalah orang yang tidak disukai banyak orang karena reputasinya, tapi terkadang reputasi itu sebenarnya tidaklah seperti kenyataan yang sebenarnya. Pamannya hanyalah seorang yang terjebak dalam reputasi yang tak secara sengaja dimiliknya. Reputasi itulah yang membentuk dan mengatur kehidupannya kemudian. Ia bukanlah orang yang benar-benar jahat, seperti yang digambarkan orang-orang, tapi ia tetap harus mempertahankan reputasi itu agar orang-orang peduli padanya, agar tak ada seorang pun menganggu kehidupannya, agar ia bisa tetap makan ketika tak satu pun bidang pekerjaan yang menerimanya dengan tangan terbuka.

Pamannya, sepanjang pengetahuannya, tidak pernah punya mimpi yang muluk-muluk dalam hidupnya. Kehidupan yang keras pun telah merampas semua yang tersisa padanya. Istrinya meninggalkannya ketika anak pertama mereka tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Istrinya menuduh semua kesialan hidup mereka bersumber dari dirinya dan ia tidak ingin anak mereka yang lain akan mengalami nasib yang sama. Istrinya pun meminta cerai tanpa meminta apa pun selain agar ia tetap merawat anak mereka yang tersisa. Dan pamannya pun seperti tidak punya pilihan lain, karena mungkin juga mulai terpengaruh dengan tuduhan istrinya alasan kesialan mereka.

Coki pun mulai berpikir bahwa apa yang dialami pamannya kini juga menjadi nasibnya. Ia mulai berpikir bahwa nasib buruk yang dialami selama ini adalah karma keluarga. Dan ia tidak ingin berakhir seperti pamannya: mati secara mengerikan dalam kesepian.

Dalam kesendiriannya, ia memutuskan untuk memulai segalanya dari awal. Ia ingin meninggalkan semua masa lalunya dengan kehidupan yang baru, dan untuk itu ia harus membayar mahal. Ia harus melupakan masa lalunya, akan apa yang telah jalani dan dimilikinya selama ini. Ia harus memulai segalanya dari ketiadaan, memulai pencarian baru dengan perspektif yang baru, membayar semua utang-utang masa lalunya. Melunasi semua karma yang tersisa dari hidupnya.

Dan sinilah ia sekarang, sebagai seorang debt collector yang miskin dan dicaci maki banyak orang. Profesi yang sebenarnya juga dibencinya selama ini.

Semenjak menjalani kehidupan barunya, tak banyak yang mampu ia lakukan dengan gajinya yang pas-pasan, tapi semua itu ternyata tidak menjadi masalah yang pelik baginya. Ia justru jauh lebih bahagia dengan hidupnya sekarang. Ia menemukan makna hidup dalam kesederhanaannya. Ia menikmati hidup dalam caci maki orang-orang akan sesuatu yang sebenarnya tidak dilakukannya. Ia menikmati ketika tidak satu pun orang yang berterima kasih ketika ia melakukan suatu kebaikan karena mereka mungkin berpikir kebaikan hanya kamufulase dari sifatnya yang sebenarnya. Ia menjalani hidup sebagai seorang sufi, yang tak mengharap apa-apa dengan apa pun yang dilakukannya selain dari apa yang didapatkannya. Perlahan namun pasti ia mampu mengontrol dirinya, mengontrol semua hasrat-hasrat primitifnya, yang sekian lama telah menjadi bagian dari dirinya.

Ia pernah bertemu seseorang, beberapa saat setelah kematian istrinya. Sebulan setelah kematian istrinya, ia masih terus mengunjungi makamnya, hanya sekedar duduk dan bercerita tentang apa saja. Ia sedang bercerita tentang masa pacaran mereka, ketika seorang tua tiba-tiba sudah berada di sampingnya, sedang membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di kuburan sebelahnya. Mungkin penjaga kuburan, pikirnya ketika itu.

Lelaki tua itu tersenyum padanya dan kemudian menawarkan rokok padanya dengan sopan. Coki menerima tawaran itu sekedar kesopanan.

Tak ada yang istimewa dari orang tua itu, awalnya. Ia seperti orang tua kebanyakan, dengan wajah yang mulai keriput dan gerak tubuh yang lamban. Meski terlihat tua dan lamban, tapi lelaki itu tampak tidak terpengaruh dengan keterbatasannya. Ia tidak tampak terganggu dengan aktivitasnya dan malah sebaliknya, tampak sangat menikmati aktivitas itu.

“Bapak kerja di sini?” tanya Coki dengan ramah.

Lelaki itu mendongak padanya sejenak sambil tersenyum dan kemudian melanjutkan aktivitasnya tanpa menjawab pertanyaan Coki, yang membuatnya penasaran.

“Maaf Pak, maksud saya apakah Bapak bekerja di perkuburan ini?”

Ia menanyakan hal itu sebenarnya dengan maksud agar ia dapat menggunakan jasa orang tua itu untuk membersihkan makam istrinya, yang memang mulai ditumbuhi rerumputan liar.

Lelaki tua itu mendongak kembali sambil menggeleng tapi kemudian mengangguk.

“Maksud Bapak?” Coki menjadi semakin penasaran.

Di luar perkiraan Coki, lelaki tua itu menghentikan aktivitasnya, membersihkan kedua tangannya dengan menyapukan kedua tangannya beberapa kali, lalu duduk di sampingnya.

Lama ia memandang makam yang baru saja dibersihkannya, yang terlihat paling bersih di perkuburan itu.

“Itu makam istri saya,” katanya kemudian sambil tersenyum tipis dan begitu lembut menunjuk ke makam yang baru saja dibersihkannya.

Coki memandang wajah orang itu dengan tatapan tak percaya. Semakin ia memandang wajah lelaki itu semakin ia menemukan sesuatu yang istimewa darinya. Meski terlihat tua dan keriput namun terlihat aura lain yang memancar. Coki merasa tak asing dengan wajah itu.

“Ia meninggal dua tahun lalu karena kanker. Kau tahu bagaimana rasanya hidup dengan kanker? Kau takkan pernah tahu kapan kehidupan terenggut darimu. Rasa penantian yang jauh lebih sakit dibanding rasa sakit dari penyakit itu sendiri. Itu yang selalu ia katakan ketika putus asa dengan apa yang dideritanya.” Suara lelaki itu tanpa begitu berwibawa dan terpelajar. Menyimpan kesedihan yang dalam.

“Aku terlalu banyak berutang hal padanya. Sesuatu yang takkan mampu aku bayar dengan apapun di dunia ini.” Mata lelaki itu mulai berkaca-kaca.

“Ini makam istri Anda?” tanya lelaki itu kemudian.

Coki mengangguk. Untuk pertama kalinya ia merasa mendapat teman yang bisa diajaknya bicara sejak kematian istrinya. Lalu ia bercerita bagaimana kehidupan perkawinan mereka yang awalnya terasa sangat indah. Mereka melewati masa-masa yang tak terlupakan. Mereka adalah pasangan ideal di mata semua orang. Lalu semuanya tiba-tiba hilang seiring dengan berjalannya waktu. Mereka menjalani kehidupan perkawinan yang hambar, meski cinta tak pernah meninggalkan mereka. Tapi apakah cinta semata dapat menjamin kebahagiaan sebuah perkawinan? Cinta bagi sebagian orang adalah hal yang absurd. Adalah pisau yang bermata dua, menghangatkan sekaligus mematikan. Keretakan perkawinan mereka bukanlah karena hilangnya cinta, sebagaimana perkawinan orang-orang pada umumnya. Kehidupan mereka bahkan dikaruniai dengan cinta yang melimpah. Lalu cinta itu tumbuh menjadi sebuah kanker yang merenggut kebahagiaan dan ketenangan mereka satu persatu. Rasa tidak percaya mulai menggerogoti. Rasa takut kehilangan yang berlebih malah semakin menjauhkan mereka. Di saat mereka seharusnya sudah dapat melalui semua itu, kematian telah mengambil alih segalanya. Kematian mungkin memang jalan terbaik bagi hubungan mereka, tetapi tetap saja terasa menyakitkan.

“Rasa bersalah itu sama seperti penyakit kanker itu sendiri. Sekali ia menderamu kau takkan pernah sembuh darinya. Kan terus menghantuimu hingga kematian menjemput,” ungkap lelaki itu seperti dapat mendengar pikirannya.

Coki dalam hati membenarkan pernyataan orang tua itu. Rasa bersalah memang menderanya dengan kematian istrinya, bukan karena kematian itu sendiri, tapi lebih karena ia tidak mengabulkan satu-satunya permintaan istrinya jauh sebelum ia meninggal, sebelum merenggangnya hubungan mereka.

“Aku hanya meminta satu hal padamu, dan aku tidak akan meminta apa-apalagi setelahnya,” ujar istrinya suatu ketika. Mereka tengah duduk di tempat tidur. Malam ketika mereka tengah menghabiskan waktu dengan membicarakan kenangan mereka ketika masih pacaran.

Coki memandang sejenak ke wajah istrinya, dalam remang-remang lampu tidur, “Dan apakah itu, cintaku?”

Istrinya bernafas berat. Seberat apa yang akan dipintanya kemudian. “Aku ingin kamu meninggalkan semuanya. Semuanya yang kau miliki sekarang, hingga tak ada satu pun yang tersisa selain diriku.”

Coki tersentak dengan permintaan yang tak pernah diduganya. “Ada apa, sayangku. Apakah semua ini tak pernah cukup untukmu? Bukankah semua yang kau inginkan dapat aku wujudkan seberat apapun permintaan itu. Lalu kenapa aku harus meninggalkan semuanya jika semua itu bisa membuat hidup kita lebih baik?”

Istrinya menggeleng lemah sambil menyapu lembut wajahnya. “Tak pernah ada yang cukup dari apa yang kita capai dari dunia ini jika yang kau maksud capaian adalah harta dan kekayaan. Apakah tak pernah terasa risih bagimu ketika kamu harus mengambil semua yang bisa kamu ambil tanpa melihat bahwa betapa banyak orang tersakiti karenanya? Dulu aku tergila-gila padamu bukan karena apa yang kamu miliki, sayangku, tapi justru karena hal yang tidak kau miliki.”

“Tak bisakah kau menunggu, sayangku. Ini adalah puncak dari segala pencapaianku. Jika aku sudah mencapai segalanya, kita tak perlu berharap apa-apa lagi. Mengapa kita harus melepasnya ketika kita bisa menggenggamnya lebih erat?”

“Kamu yakin bisa melepasnya jika telah menggenggam semua yang kamu inginkan? Tak pernah ada yang bisa benar-benar memuaskan jika itu maksudmu, Aku tidak butuh semua itu. Aku hanya butuh dirimu apa adanya, dengan segala kelemahan dan kekuranganmu. Aku tak butuh orang kuat untuk melindungiku jika itu hanya membuatku takut. Aku tak butuh orang hebat untuk mendampingiku sepanjang hidup jika itu hanya akan membuatku kelak akan terabaikan. Cintaku tidak mengenal semua itu. Cintaku hanya tahu akan memilikimu dengan rasa aman dan nyaman. Cintaku hanya akan terasa berarti jika kita punya cukup waktu untuk menjalaninya, tak perduli semiskin apa pun kita nantinya dan meski kau hanya seorang pegawai rendahan atau bahkan debt collector sekalipun.”

Coki ketika itu benar-benar merasa apa yang diinginkan istrinya adalah hal yang tak masuk akal. Ia berpikir itu hanya luapan emosi sesaat dan besok hari ia akan melupakannya. Istri apa yang begitu rela membiarkan suaminya menjadi seorang pegawai rendahan ataupun debt collector di saat ia bisa menjadi seorang raja? pikirnya picik. Maka ia mengabaikan permintaan itu. Ia segera tertidur, sementara tanpa diketahuinya istrinya sangat terpukul dengan penolakannya itu.

Besoknya menjadi benar-benar lain dengan kehidupan mereka sebelumnya. Istrinya kini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan kesendirian, sementara ia sendiri sibuk dengan begitu banyak urusan yang harus diselesaikannya. Bukannya mengabulkan permintaan istrinya, ia malah semakin melarutkan diri dengan pekerjaan. Ia bahkan benar-benar lupa dengan perbincangan malam itu, hingga akhirnya kematian menjemput istrinya secara tiba-tiba.

Kematian itu adalah pukulan ketiga baginya setelah kematian kedua orang tua dan pamannya. Dan pukulan sekarang jauh lebih mematikan dibanding sebelum-sebelumnya.

Lelaki tua itu benar tentang rasa bersalah yang diibaratkannya sebagai kanker yang mematikan. Rasa sakit itu pulakah yang kini mendera lelaki tua itu? Ia tiba-tiba menjadi penasaran dengan kisah yang dialami lelaki itu yang membuatnya terjebak di kuburan ini, yang mungkin sama tragisnya dengan nasibnya.

“Apa yang terjadi?” lelaki itu malah lebih dulu bertanya, seperti mampu membaca pikirannya. Coki sedikit bingung dengan pertanyaan lelaki tua itu.

“Maaf?”

“Apa yang terjadi dengan kehidupan perkawinan kalian. Melihat caramu menangisinya berhari-hari ini, kamu pasti sangat mencintainya atau lebih pastinya ada sesuatu yang sangat kamu sesali lebih dari kematian itu sendiri. Ia pasti begitu berarti hingga kamu tampak enggan melepasnya dan aku yakin bukan karena kematiannya, karena kematian pasti akan tetap mendatangi suatu saat. Aku pun yakin kamu tidak sedang menangisinya, kamu hanya menangisi diri sendiri. Itulah yang kumaksud dengan rasa bersalah. Pertanyaannya, apa yang terjadi sehingga rasa bersalah itu menjadi hal yang sangat menyedihkanmu setelah kepergiannya.”

Coki awalnya tak merasa nyaman dengan pertanyaan itu. Tapi sesaat kemudian ia mulai sadar betapa ia memang butuh seseorang untuk menyampaikan semua kegundahannya. Setelah semua yang dicintainya pergi, apalagi yang tersisa dari hidupnya? Ia punya banyak teman dan sahabat, tapi tak semua orang harus tahu apa yang dialaminya. Dan yang membuatnya agak shock bahwa lelaki itu seperti dapat membaca semua yang dipikirkannya.

“Bapak sendiri belum bercerita banyak tentang diri Bapak?” Coki malah balik bertanya.

Lelaki itu mendengus sesaat. Ia menatap dalam di kejauhan, di sebuah pohon yang daunnya melambai-lambai diterpa angin yang kencang. Daun-daun bertebaran di sekeling mereka, dipenuhi aroma kamboja.

“Aku selalu berpikir ia telah mendapatkan semua yang ingin ia dapatkan dalam hidup ini sehingga terkadang aku tidak perduli lagi dengan apa yang paling diinginkannya. Ia tak pernah mengatakannya. Dan bodohnya, aku yang semestinya tahu, tak pernah menyadari harapannya itu. Aku malah sibuk dengan hal-hal yang tak penting hingga mengabaikan sesuatu yang sebenarnya paling penting. Ketika kematian menjemputnya, aku tak ada di sisi tempat tidurnya. Ia sudah mencoba mengingatkanku, karena mungkin memang ia telah menyadari waktunya yang semakin dekat, dan aku malah lebih mementingkan hal lain yang belakangan kusadari tak berarti apa-apa pun bagi kehidupanku selain menopang keegoanku.

“Aku baru benar-benar menyadarinya ketika ia sudah tak ada. Ia ingin aku ada di sisinya ketika maut menjemputnya. Ia ingin, menggenggam tanganku, menyatakan betapa cintanya ia padaku dan aku akan berkata sebaliknya. Aku tahu, itulah yang paling diinginkannya di saat-saat terakhirnya, dan aku gagal mewujudkannya.

“Begitulah kesombongan bekerja. Hasrat akan kuasa yang besar membuat kita lupa akan segalanya. Kekuasaan hanya akan menjauhkanmu dari cinta. Dan ketika aku menyadarinya semuanya sudah terlambat.

“Kamu tahu berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk sembuh dari sebuah keterpurukan?”

Sebelum Coki menjawab, lelaki itu melanjutkan, “Kita takkan pernah tahu. Kita mungkin akan melupakannya sejenak, tetapi luka itu takkan pernah sembuh. Dan disinilah aku sekarang. Inilah jawaban terbaik dari semua rasa sesalku selama ini.”

Lalu lelaki itu bercerita pula bahwa semenjak kematian istrinya ia melepas semua yang dimiliknya, kecuali sedikit tabungan untuk sekedar melanjutkan hidupnya. Ia membeli sepetak tanah di sekitar perkuburan itu, lalu membangun gubuk kecil yang telah ditinggalinya selama dua tahun ini. Setiap pagi dan sore ia membersihkan kuburan istrinya hingga tak satupun rumput liar yang tersisa. Ia selalu berharap kelak ia akan mati tepat di sisi kuburan istrinya.

“Jika dulu aku tak bisa menemaninya di akhir hidupnya, maka kuharap di akhir hidupku kelak ia akan ada di sisiku menemani, meski itu hanya batu nisannya.” Mata lelaki itu kembali berkaca-kaca.

Coki kemudian mulai ingat lelaki itu. Lelaki itu dulunya adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki kedekatan dengan presiden, hingga diisukan akan menjadi salah seorang menteri. Ia termasuk salah satu orang yang diundang presiden untuk screaning menteri, yang kemudian bergegas pulang ketika mendapat kabar istrinya meninggal di RS, tanpa menyelesaikan screaning itu. Namanya pun tak pernah lagi terdengar lagi setelah hari itu. Beragam isu yang berkembang ketika itu. Ada yang menyatakan kalau ia mengasingkan diri semenjak kematian istrinya di luar negeri, dan bahkan sejumlah tabloid gosip berspekulasi kalau ia telah meninggal beberapa hari setelah kematian istrinya namun kematiannya dirahasiakan keluarganya karena alasan tertentu.

Pertemuan dengan lelaki itu membawa hal baru bagi Coki. Ia seperti bercermin ketika melihat ke lelaki itu. Apakah Tuhan sengaja mempertemukan mereka sebagai sebuah petanda? Bukan sesuatu yang kebetulan belaka.

Ia lalu pulang ke rumah dan mulai merenungkan segalanya, mencerna semua apa yang dikatakan lelaki tua itu dan mengaitkannya dengan apa yang dialaminya. Apa yang paling diinginkan istrinya selama ini?

Ia pun teringat dengan perincangan mereka di kamar tidur itu. Istrinya hanya meminta satu hal dan permintaan itu tak pernah bisa diwujudkannya karena mata hatinya telah tertutupi oleh hasrat kuasa dan harta semata. Istrinya ingin ia meninggalkan segalanya, tak perduli mereka akan hidup dengan sangat sederhana, bahkan bila ia menjadi seorang pegawai rendahan atau bahwa debt collector sekalipun.

Maka jadilah ia kini sebagai seorang debt collector. Mungkin ini sebuah petanda bagaimana ia harus memulai kembali hidupnya. Hidup dalam cara pandang yang baru. Ia berharap dengan cara inilah ia akan mampu menghilangkan semua rasa bersalahnya selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar