OLEH WAHYU CHANDRA
Siapa yang bisa menolak kecantikan Cleopatra. Wanita mitos dari Mesir Kuna ini adalah madu sekaligus racun bagi kaum adam. Karena kecantikannya, wanita selalu adalah madu sekaligus racun bagi lelaki. Madu karena keindahannya yang memprovokasi hasrat kelelakian dan racun oleh keangkuhan kecantikan itu sendiri.
Kecantikan wanita tidak selamanya karena kemolekan fisik, dengan lekukan tubuh yang terukir fasih, dan licin bagi porselen. Kecantikan ada kalanya muncul karena kesadaran sang pemilik kecantikan itu sendiri. Wanita yang berpotensi lahiriah cantik takkan pernah berguna jika ia sendiri tidak menyadari potensi yang dimilikinya. Ada kalanya, seorang wanita yang secara potensi lahiriah tidak begitu cantik atau standar-standar saja, tapi karena kesadaran dan pengetahuan akan tubuhnya, ia menjelma menjadi wanita tercantik di mata setiap orang.
Maya Calisa tak pernah mampu memahami dirinya sendiri sebagaimana wanita-wanita seusianya ataupun yang sedikit lebih muda atau lebih tua darinya. Bagi pacarnya dulu, ia cantik atau setidaknya memiliki aura-aura itu di dirinya, meski ia tidak sepenuhnya yakin dengan ucapan gombal berlandaskan keinginan tertentu (meski pipinya sempat merona ketika pacarnya mengucapkannya dan membuatnya tak mampu berkelit ataupun protes ketika bibir pacarnya itu tiba-tiba sudah mendarat cepat di bibirnya).
Ibunya juga selalu menatapnya dengan bangga setiap kali Maya berdandan hendak ke pesta (sesuatu yang jarang dilakukannya, karena segala macam kosmetik terasa seperti sapuan semen di mukanya). Tapi ia pun tidak begitu saja percaya penilaian ibunya, yang boleh jadi setiap ibu pasti melakukannya pada anak gadisnya, entah itu sebagai bentuk narsisme, pemujaan diri sendiri atau menilai kecantikan diri sendiri lewat kecantikan buah janinnya sendiri (seperti bercermin) atau juga karena sekedar menyenangkannya, agar ia menjadi lebih percaya diri. Maya tak pernah merasa ada yang jujur berkata apa pun atas dirinya.
Bagi Maya sendiri, ia biasa-biasa saja atau bahkan sangat biasa-biasa saja. Tak ada bagian tubuhnya yang benar-benar disukainya, seperti misalnya seorang artis ketika ditanya bagian mana dari dirinya yang paling disukai, yang langsung menjawab, ‘hidung’, ‘dagu’, ‘rambut’ dan (meski jarang secara vulgar mengakuinya di depan umum) ‘payudara’ yang kencang dan proporsional. Seorang temannya pernah bilang kalau ia memiliki mata yang indah, dan karena itu pujian itu ia harus berjam-jam di depan cermin memoloti mata sendiri, tanpa menemukan alasan penilaian temannya itu.
Meski tak ada bagian dari dirinya yang benar-benar disukainya, bukan berarti bahwa ia tidak menyukai sedikit pun dari dirinya. Ia selalu mensyukuri bahwa ia adalah manusia normal dengan indera yang lengkap, proporsional dan bekerja normal. Tinggi dan berat badannya pun ideal dengan tinggi wanita sekarang dan proporsional. Ukuran proporsional badan biasanya diukur melalui perbandingan antara tinggi dan berat badan. Ukuran ideal kadang diukur melalui selisih antara tinggi badan dengan berat badan adalah 110. Jadi jika seseorang memiliki tinggi badan 170 cm maka untuk dikatakan memiliki tubuh yang proporsional harus memiliki berat badan 60 kg.
Kulit Maya pun, meski tidak mulus, namun bersih dan tetap terawat, walaupun sebenarnya terlihat agak pucat. Mungkin karena pengaruh jilbab yang dikenakannya sejak setahun lalu serta aktivitasnya yang lebih banyak di dalam ruangan ber-AC. Aktivitas di luar yang dilakukannya hanya sesekali, khususnya jika ia harus berangkat dan pulang kerja dengan motor bebek yang belum setahun ini dimilikinya dari penghasilannya sendiri.
Suatu hal yang pasti, Maya memang tak pernah peduli secara berlebihan dengan tubuhnya. Ia pun belajar untuk tidak peduli dengan penilaian orang lain dan bahkan terkadang terhadap penilaiannya sendiri. Semua yang dimiliknya adalah anugrah yang harus disyukuri. Seberapa jelek atau bagusnya dirinya, inilah dirinya, yang sebagaimana setiap orang, berasal dari segumpal darah ataupun dari tanah lumpur yang kotor. Baginya sekarang, tubuhnya sekedar kendaraan bagi jiwa untuk menunjukkan eksistensi dirinya dalam kehidupan ini. Tubuh ini, seberapa pun indah dan bagusnya, akan kembali pada muasal kehidupan, menjadi tanah yang terinjak, menjadi santapan cacing atapun penyubur bagi tumbuhan-tumbuhan yang kelak akan dimakan oleh manusia ataupun makhluk hidup lainnya. Dengan kesadaran seperti ini untuk apalagi ia peduli dengan penilaian orang atas tubuhnya?
Maya Calisa kini berumur duapuluh empat tahun. Setahun lalu ia menamatkan pendidikan kesarjanaannya di sebuah ‘sekolah guru’ dan segera setelahnya, ia pun langsung mengamalkan semua ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari bangku kuliah. Sejak kecil ia memang bercita-cita jadi guru. Bapak dan ibunya adalah guru SD, jadi setidaknya kini ia harus menjadi guru SMP ataupun SMA (ini awalnya hanya joke dari ibunya saja sebenarnya, meski kemudian diseriusinya. Ia enggan menjadi guru SD karena lebih sulit mengajar mereka, yang butuh tingkat kesabaran dan keuletan tertentu. Makanya guru kelas I SD biasanya berasal dari guru senior dengan pengalaman mengajar yang sudah mumpuni). Setidaknya kini ia menjadi guru honor di sebuah SMP swasta, dengan gaji yang sangat minim, sehingga ia pun menutupi defisit penghasilannya itu dengan mengajar privat anak-anak orang kaya dan menjadi tentor di sebuah lembaga bimbingan belajar. Dengan gabungan gaji dari berbagai tempat ini, penghasilannya perbulan sudah cukup membiayai gaya hidupnya yang sederhana, membiayai cicilan motor, dan selebihnya ditabung untuk kebutuhan-kebutuhan tak terduga.
Kisah asmara Maya Calisa tidaklah benar-benar semulus dan seideal gadis-gadis sezamannya. Ketika SMA, ia sempat naksir berat seorang teman sekelasnya, yang culung dan jago matematika dan paling tidak diminati oleh gadis mana pun di sekolahnya. Ia tak pernah menceritakan perasaannya itu pada siapapun. Bahkan pada diary-nya sekalipun. Hanya sepenggal kisah kasmaran yang membuatnya nyaman ketika itu dengan memandang ataupun membayangkan lelaki kecintaannya tersebut.
Kisah asmara yang benar-benar dilakoninya adalah ketika ia telah menginjak semester IV di masa kuliah. Selama tiga bulan ia berpacaran dengan senior yang lebih tua dua tahun darinya, yang dikaguminya karena kefasihannya berorasi (meski ternyata otaknya tak sefasih mulutnya). Dua bulan pertama berjalan mulus. Tiada hari tanpa sesuatu yang indah untuk dibayangkan dan dibagi bersama. Pada bulan ketiga lelaki itu, pacarnya mulai banyak bertingkah. Ia selalu memuji kecantikan Maya dengan mata melotot dan pandangan aneh seperti hendak melumatnya hidup-hidup (jika Maya lebih memperhatikan ketika itu sebenarnya di kepala pacarnya itu telah tumbuh tanduk dengan bibir yang dipenuhi lelehan liur hasrat yang membuncah). Pujian demi pujian pun berakhir pada ciuman sekilas di bibirnya, yang awalnya adalah sensasi, meski kemudian berakhir menjadi perasaan sesal. Reaksi Maya yang tak menolak secara kasar ciuman kilat itu membuat pacarnya semakin berani dan merasa mendapat lampu hijau. Pada kesempatan selanjutnya lelaki itu mulai menginginkan lebih. Tangannya mulai tak terkontrol, meremas yang tersembunyi, dan bahkan berupaya dengan gigih merambah pada bagian yang lebih dalam. Dalam situasi yang sepertinya mulai tidak terkendali ini sebuah kesadaran merasuk dalam diri Maya. Matanya tiba-tiba terbelalak seperti menemukan cahaya, meski mulutnya kini berada di mulut lelaki itu. Dengan hentakan kuat ia mendorong lelaki itu hingga terpental beberapa meter jauhnya dan mendarat dengan tulang belakang lebih dulu, yang untungnya tidak retak karenanya. Entah karena deraan sakit di punggungnya atau karena harga dirinya yang jauh lebih terluka, lelaki itu pergi tanpa mengatakan apa pun, selain guratan kemarahan dan keputusaasaan di wajahnya, sambil memegang punggungnya yang sakit.
Maya segera merapikan semua yang tersingkap, mengucap istighfar dan berlari menuju kamar mandi terdekat untuk membasuh semua yang terasa kotor dalam dirinya.
Sejak kejadian itu, hubungan mereka benar-benar renggang. Tak ada kata maaf dari lelaki itu sebagaimana Maya harapkan. Tak ada kata ‘putus’ atas hubungan itu. Kepastian berlalunya hubungan mereka baru benar-benar pasti pada empat bulan kemudian, setelah ia mendengar kehamilan Mila (teman seangkatannya) karena perlakuan yang sama pacarnya (mantan pacarnya mungkin lebih tepat) pada gadis itu.
Hamilnya Mila menjadi kesadaran tersendiri bagi Maya. Kalau saja dulu ia membiarkan lelaki itu menjamah tubuhnya lebih jauh, maka dialah yang akan berada dalam posisi Mila sekarang ini. Mila telah menjadi tumbal atas dirinya dan untuk itu ia merasa bersalah.
Hamilnya Mila juga melahirkan sikap skeptis baru Maya pada sebuah hubungan atau setidaknya melahirkan streotipe baru bagi dirinya untuk setiap lelaki mana pun di dunia ini. Ia tidak bisa lagi mempercayai setiap orang begitu saja. Baginya kini, dunia ternyata bekerja tidak secara apa adanya. Setiap orang memiliki motif tersendiri atas tindakan-tindakannya dan sebagian besar orang mampu menyembunyikan motif-motif itu, meski sebagian yang lain tak bisa menyembunyikannya sama sekali. Misalnya saja para politisi. Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu menyembunyikan motif-motif tindakan mereka, meski anehnya orang-orang tetap percaya atau setidaknya terlanjur percaya kepada mereka.
Dunia telah terjungkir balik bagi seorang Maya. Ia benar-benar tidak bisa mengerti mengapa beban yang seharusnya ia tanggung kini harus ditanggung orang lain. Ia bingung antara rasa syukur dan sesal. Dan rasa sesal atas nasib yang dialami Mila terkadang mengalahkan rasa leganya terbebas dari beban yang kemungkinan ia tanggung jika saja ia tidak bertindak refleks ketika itu. Absurd.
Sejak saat itu dunia Maya benar-benar bebas dari hubungan dengan lelaki. Ia bukannya menjelma menjadi pecinta sesama jenis. Ia hanya belum menemukan sebuah alasan untuk bisa menerima seorang lelaki dalam hidupnya.
Maya kini benar-benar menikmati hidupnya, yang meski belum mapan namun setidaknya tidak lagi harus bergantung pada kedua orang tuanya. Ia menikmati motor barunya, yang bisa membawanya kemana pun ia suka tanpa harus bergantung lagi pada orang lain.
(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar