OLEH WAHYU CHANDRA
Jalan
hidupnya benar-benar menakjubkan bagi orang-orang yang mengenalnya.
Maskito berasal dari sebuah keluarga miskin di sebuah desa terpencil di
Jawa Barat. Berbekal sedikit uang hasil menjual sebidang sawah warisan
ayahnya, selepas SMA ia merantau ke Jakarta dan kuliah di sebuah
universitas swasta yang kurang dikenal. Sambil kuliah, ia bekerja paruh
waktu di sebuah pub, menjadi pelayan pengantar minuman. Waitres.
Pagi hari ia adalah mahasiswa yang culung dan mengandalkan semua bacaan
dan bahan kuliah dari buku-buku dari perpustakaan ataupun pinjaman dari
teman. Malam hari ia menjadi bagian dalam keglamouran, meskipun ia
hanya sebuah sekrup kecil yang tak begitu penting dalam gaya hidup para
penikmati malam itu.
Dengan telaten ia menjalani dualisme kehidupannya selama
bertahun-tahun dan pada suatu hari, yang kemudian hari disadarinya
sebagai titik balik dari kehidupannya, ia bertemu dengan seorang
pengusaha kaya yang masih sangat muda, yang entah kenapa menyukai kisah
hidupnya dan memintanya datang ke kantornya yang megah. Kesepakatan
mereka saat itu bahwa setelah ia menyelesaikan kuliahnya, yang memang
sudah hampir klar, ia akan segera bekerja di perusahaan besar milik
pengusaha itu sebagai tenaga magang. Berbeda dengan magang di tempat
lain, di perusahaan itu ia digaji besar dan hampir lima kali besarnya
dibanding tempat kerjanya di pub itu. Tanpa berpikir panjang, Maskito
menerima tawaran itu. Salah satu masalah kehidupannya terpecahkan, dan
salah satu mimpinya mungkin benar-benar menunggu untuk diwujudkan.
Sebagai sarjana akuntansi, ia sejak awal
diplot di bagian keuangan perusahaan itu. Ia memulainya dengan menjadi
kurir dari satu meja ke meja lainnya. Setiap kali
ada dokumen yang harus digandakan maka dialah yang harus melakukannya.
Pekerjaan ini mungkin terlihat sepele, namun ternyata memiliki pengaruh
tersendiri bagi Maskito dalam menempa pengalaman dan menambah
pengetahuannya akan dunia akuntansi praktis, pada angka-angka riil,
bukan sekedar angka rekaan seperti halnya yang dipelajarinya di bangku
kuliah. Pekerjaan ini juga memberinya akses pada seluruh dokumen-dokumen
penting di perusahaan itu, sesuatu yang mungkin tidak dimiliki oleh
karyawan lain, bahkan pada tingkatan karyawan yang berstrata manager
sekalipun.
Dalam waktu setahun, atas instruksi pimpinan perusahaan, yang
mungkin benar-benar bersimpati padanya, ia dipromosikan untuk jabatan
yang lebih tinggi. Ia pun naik tingkat menjadi asisten manager keuangan,
yang bertugas mengecek setiap laporan keuangan sebelum akhirnya
dianggap sudah sesuai dengan yang diharapkan. Mengecek setiap kesalahan
pengetikan dan kesalahan angka yang bisa berdampak pada kesalahan
perhitungan keuangan perusahaan. Memeriksa setiap laporan keuangan dari
kantor-kantor cabang yang jumlahnya puluhan tersebar di berbagai kota
besar di Indonesia.
Tempaan yang keras di saat menjadi seorang kurir membuatnya
tidak begitu sulit untuk menjalani pekerjaan barunya. Ia memiliki
kemampuan scanning yang mengagumkan, yang mampu melihat sebuah
kesalahan hanya dengan cepat, mampu mengenali anomali-anomai di sebuah
laporan keuangan dan mampu mendeteksi setiap kecurangan yang mungkin
dilakukan oleh perusahaan cabang yang nakal. Atasannya tentu saja sangat
senang dengan cara kerja Maskito yang tenang, disiplin dan terukur,
sekaligus efisien. Dalam beberapa tahun ia bertahan dalam posisi asisten
tersebut dengan sejumlah prestasi yang membuat iri karyawan-karyawan
lain.
Kemampuan memadai ditambah koneksi yang kuat dengan atasan
adalah perpaduan yang mematikan dan membuatnya akan mampu menduduki
posisi penting di perusahaan di beberapa tahun mendatang. Dan memang
itulah yang terjadi kemudian. Hanya dalam waktu tujuh tahun ia sudah
mencapai posisi nomor dua di perusahaan, Vice Director, yang
selama ini sebenarnya hanya bisa diisi oleh orang-orang yang sangat
dipercaya oleh direktur utama atau Big Boss. Dalam tujuh tahun bekerja
di perusahaan itu Maskito memang secara intens bertemu dengan sang Big
Boss, yang kadang hanya berupa pertemuan biasa. Antara dia dengan Big
Boss adalah dua sahabat yang sudah saling memahami satu sama lain.
Maskito bukannya tak memahami adanya kepentingan di balik sikap
baik atasannya selama ini. Selama bertahun-tahun ia telah menjadi mata
dan telinga bagi atasannya tentang apa saja sekaitan dengan perusahaan.
Ia kerap memberi pertimbangan pada kondisi-kondisi tertentu. Ia pun tahu
ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam perusahaan tersebut.
Sesuatu yang ditutup-tutupi.
Bermula ketika ia menjadi kurir, dimana ia harus mengantar
sejumlah dokumen dari manager keuangan langsung ke Big Boss. Tanpa
sengaja ia membaca sebagian isi dokumen itu dan menemukan sesuatu yang
ganjil atau setidaknya tidak masuk akal baginya. Ia menemukan sejumlah
sumber penghasilan perusahaan yang sama sekali belum pernah dibacanya
pada pembukuan kecil. Nilai yang tiba-tiba muncul secara siluman.
Keanehan kedua, adalah kenyataan dokumen itu berjumlah dua buah dengan
item penerimaan dan pengeluaran yang sama namun dengan nilai nominal
yang berbeda.
Pada saat itu Maskito menganggap itu mungkin kesalahan yang akan
segera direvisi. Namun untuk beberapa lama ia tidak pernah melihat
revisi atas dokumen tersebut.
Belakangan ia memang semakin banyak curiga adanya hal yang tidak
beres dengan perusahaan itu, meski anehnya mampu eksis di saat krisis
dan bahkan beberapa kali mendapat penghargaan sebagai perusahaan dengan performance
terbaik nasional versi sebuah majalah bisnis. Ketika ia tidak mampu
menahan rasa penasaran atas apa yang diketahuinya itu, tiba-tiba Big
Boss memanggilnya menghadap ke ruangannya. Ia sudah menjabat sebagai
asisten manager ketika itu.
Big Boss tersenyum ramah menyilahkannya duduk di sampingnya.
“Maskito,
ada hal yang penting harus kita diskusikan. Penting bagi saya dan
mudah-mudahan juga sebaliknya.”
Maskito duduk di samping Big Boss dengan perasaan bercampur
aduk. Ia tahu, semua karyawan di perusahaan itu akan iri melihat betapa
Big Boss begitu memanjakannya dan memperlakukannya seperti sahabat
karib. Mulutnya terasa kaku dan tak terasa jantungnya berdebar kencang.
“Rileks saja, To. Ini hanya pembicaraan biasa. Sudah lama
seharusnya kita duduk-duduk seperti ini. Kamu pasti merindukan pub
tempat kerjamu dulu,” ujar Big Boss sambil tersenyum lebar.
Maskito menjawab dengan tersenyum tak pasti. Ia masih bingung
dengan arah pembicaraan dari bos besarnya itu.
Mereka berbincang lama ketika itu. Hal-hal yang awalnya hanya
bincang-bincang biasa, hingga kemudian menjadi serius, bahkan sangat
serius. Lalu Big Boss menceritakan sesuatu yang sangat penting, yang
berlaku di perusahaan itu. Intinya, perusahaan itu memiliki sejumlah
cabang yang laporan keuangannya akan disatukan dengan laporan keuangan
induk. Maskito memiliki dua tugas atau tepatnya misi khusus yang harus
dijalankan. Pertama, ia harus mengupayakan sebuah laporan keuangan
terintegrasi dan hanya akan dilaporkan padanya langsung. Kedua, akan ada
dua dokumen pembukuan yang akan didiskusikan antara mereka berdua.
“Bukankah ini menjadi wewenang manager keuangan untuk
melakukannya?” ujar Maskito ragu.
Big Boss tersenyum bijak dan menepuk, pundaknya dengan ramah.
“Memang ini hanya bisa dilakukan oleh manager keuangan.”
“Maaf Pak, saya hanyalah seorang asisten, mungkin Bapak
lupa?”
Big Boss
semakin melebarkan senyumnya, “Ini akan menjadi tugas kamu mulai
sekarang dan ke depan.”
“Maksud Bapak?” Maskito ingin memperjelas maksud atasannya.
“Kamu akan menggantikan Solihin sebagai manager keuangan mulai
saat ini. Solihin akan dimutasi memimpin salah satu cabang kita, dimana
ia lebih dibutuhkan di sana.”
Mulai saat itulah, setelah lima setengah tahun menjadi karyawan
di perusahaan itu ia telah menjadi manager keuangan, salah satu posisi
bergengsi di perusahaan itu. Usianya masih 28 tahun ketika itu.
Hanya dalam beberapa minggu ia telah memahami betul apa
sebenarnya motif atasannya menempatkannya dalam posisi itu. Belakangan
pun ia menyadari bahwa semua jalan hidupnya selama ini di perusahaan itu
tak pernah luput dari perhatian Big Boss. Big Boss bukannya tak sengaja
merekruitnya langsung sebagai karyawan di perusahaannya. Ia tak segera
diberi posisi penting agar memahami betul cara kerja perusahaan.
Penempatannya sebagai kurir pun sebenarnya bagian dari sebuah rencana
besar.
Tanpa Maskito sadari, Big Boss telah lama melirik untuk
menjadikannya sebagai salah seorang prajurit terbaik dalam perang yang
akan mereka lakoni kelak. Dalam diri Maskito mungkin Big Boss melihat
sebuah potensi besar, karakter yang mumpuni, tekad dan karakter yang
kuat, loyalitas dan sikap kerendahhatian. Dan yang paling penting adalah
sifat kehati-hatian yang dimiliki Maskito. Big Boss telah melihat semua
karakter itu di diri seorang Maskito ketika masih sebagai seorang waitres
di pub dimana dulu ia bekerja. Apalagi kemudian diketahuinya bahwa
Maskito adalah calon sarjana akuntansi yang telaten, yang selain
berdidikasi pada pekerjaan, juga tetap memperhatikan pendidikannya.
Maskito di mata Big Boss, ketika pertama kali menemukannya, adalah
berlian yang belum diasah.
Kini Maskito menduduki posisi kedua di perusahaan dan di
saat-saat tertentu semua tanggung jawab perusahaan akan bertumpu
padanya. Apalagi belakangan ini Big Boss sudah
sangat jarang masuk kantor. Komunikasi mereka kini lebih banyak melalui
telepon dan lebih sering melalui SMS atau pesan singkat di handpone.
Meski perusahaan memiliki fasilitas teleconference untuk
beradialog jarak jauh secara tatap muka, namun Big Boss, entah dengan
alasan apa, kini tak ingin menggunakannya. Ia menyadari ada sesuatu yang
tengah terjadi dengan atasannya. Ia tak pernah mempertanyakannya. Ia
hanya berharap suatu saat akan mendapat penjelasan atas semua itu, dan
ia yakin akan mendapatkannya suatu saat kelak dengan atau tanpa
persetujuan dari Big Boss.
(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar