Rabu, 11 Mei 2011
Sang Malaikat Maut (5)
Coki selalu berharap akan mendapat hal yang baru dari pekerjaannya sekarang. Ia hampir paham dengan semua karakter kliennya, sebagaimana ia telah mempetakannya. Ia menyukai semua yang dilakoninya sekarang. Untuk pertama kalinya ia menemukan makna atas kehidupan, justru ketika ia tak memiliki apapun kecuali gaji yang terbatas, rumah kontrakan yang kumuh dan tetangga-tetangga yang bising. Ia menikmati semua kericuhan di sekelilingnya yang terasa lebih hidup, dibanding misalnya dengan kehidupan masa lalunya yang lebih tertutup, jauh dari interaksi dengan orang lain.
Beberapa puluh meter dari rumahnya adalah pasar yang mulai hidup bahkan ketika ayam belum berkokok. Pada pukul 3 pagi, orang-orang mulai berdatangan dari penjuru kota dengan barang dagangnya masing-masing. Orang-orang akan segera menyiapkan diri setelah sampai di pasar, dengan mata yang masih terkantuk-kantuk dan mungkin belum sempat berkumur dan mambasuh muka.
Coki senang dengan semua pemandangan itu. Di teras rumah kontrakan yang ditinggalinya, yang diterangi lampu lima watt, setiap subuh ia senangi meski hanya sekedar memandangi lalu lalang kesibukan yang seperti tidak ada akhir ini. Selalu mengingatkan pada masa lalunya yang sederhana.
Ayahnya adalah seorang pedagang kain keliling, yang berkeliling dengan sepeda kumbang dari desa ke desa. Ibunya mencoba menopang ekonomi keluarga dengan menjahit pakaian tetangga menggunakan mesin jahit bermerk Tiger, yang dibelinya seharga Rp 50 ribu. Harga yang tergolong mahal ketika itu.
Pada subuh hari, ayahnya akan segera berangkat ke kampung dimana pasar tengah berlangsung. Ia terkadang menemani, jika kampungnya tidak terlalu jauh dan kebetulan lagi libur sekolah. Ia menikmati perjalanan itu sebagai sebuah piknik, karena selalu saja ada hal baru yang ditemuinya di perjalanan ataupun di kampung yang didatanginya. Ia selalu senang bertemu dengan orang-orang dalam kerumunan karena pada dasarnya ia menyukai keramaian. Ia menyukai hiruk pikuk, yang akan membuat hidupnya terasa lebih hidup dan dinamis. Dalam setiap keramaian ia merasa mendapatkan adrenalin-nya, sesuatu yang membuatnya lupa akan segalanya, selain mimpi-mimpi yang terus membayang di kepalanya.
Ia menyukai keramaian meski pada dasarnya ia adalah seorang autis sejak kecil. Ia senang larut dengan dunia yang diciptakannya sendiri. Dalam keramaian ia merasa orang-orang itu adalah para aktor yang bermain pada sandiwara yang dimainkannya. Dalam dunianya, ia menemukan kebahagiaan tertinggi karena semua yang tak tercapainya di dunia nyata akan mudah diperoleh di dunianya yang lain ini.
Perjalanan waktu, lingkungan yang menempa, membuatnya harus lebih berkutat di dunia nyata dibanding dunianya sendiri. Tapi yang tersisa dari masa kecilnya tak pernah benar-benar hilang. Ia tetap saja mencintai keramaian. Hiruk-pikuk. Membuatnya akan selalu melek pada kenangan masa lalu dengan kedua orang tuanya yang selalu saja terasa indah untuk dikenang.
Kedua orang tuanya meninggal ketika ia berusia 12 tahun, dalam sebuah gempa yang melanda desanya. Ia tak pernah tahu dengan pasti bagaimana ia selamat dari gempa itu, sementara kedua orang tuanya dan ketiga saudaranya menjadi korban. Ia pun harus rela tinggal dengan paman, adik ayahnya yang tinggal di kota. Pamannya ketika itu seorang preman terminal, yang kerjanya memungut iuran dari mobil-mobil yang mangkal di terminal itu. Pamannya terkenal pertama kali ketika dalam sebuah perkelahian berdarah ia mampu mengusir preman yang menguasai terminal itu sebelumnya. Pamannya sebenarnya seorang pendiam dan tidak senang dengan kekerasan. Perkelahian dengan preman terminal itu pun terpaksa dilakukannya karena preman bertato itu bermaksud merampas dompetnya, yang berisi sejumlah uang yang hanya pas untuk biaya transportasi dan hidup sebulan di kota. Pilihannya tak banyak. Menyerahkan semua isi dompetnya atau mempertahankannya. Kedua pilihan itu memiliki implikasi yang sama, akan menyengsarakan hidupnya. Namun tiba-tiba sebuah kesadaran merasukinya, bahwa pilihan kedua lebih menjanjikan, meski memiliki resiko lebih besar. Tapi bukankah hidup memang harus selalu berbenturan dengan resiko? Ia pun bertekad mempertahankan harta miliknya. Jika pun ia kan mati, setidaknya ia tidak mati sebagai seorang pengecut.
Ia pun mengacuhkan gertakan si preman itu dan malah balik menyerang dengan pukulan yang sangat keras dan tak terkontrol. Dengan segala daya yang dimilikinya ia terus memukul wajah preman itu bertubi-tubi. Ketika badik preman itu melesat, menggores pinggangnya, pukulannya di wajah si preman semakin membabi-buta. Hal yang tak disadarinya bahwa di jari tengahnya masih terselip cincin dengan mata yang besar. Cincin inilah yang mungkin mempercepat kematian si preman itu.
Sang paman, sebagaimana yang selalu diceritakannya, dapat menyaksikan ketika itu, betapa semua mata tertuju padanya dengan tatapan tak percaya. Beberapa mata penuh kebencian bercampur rasa takut dari anak buah si preman memandanginya di kejauhan tanpa bisa berbuat apa-apa. Beberapa pasang mata lainnya terlihat berbinar-binar seakan ia telah melakukan sesuatu yang mulia. Sang paman pun segera berlalu dari tempat itu dengan tangan yang perih dan berlumuran darah. Nyawa sang preman tak terselamatkan sebagaimana nama besarnya. Tak ada yang berani mengadu ke polisi, karena kematian preman itu adalah sebuah berkah bagi masyarakat setempat.
Maka mulai saat itu sang paman pun menjadi jawara tak terkalahkan di terminal itu. Beberapa orang pun lalu mendatanginya untuk menyatakan sujud setia. Memberinya tahta atas kerajaan kecil, yang tak lebih luas dari lapangan bola itu.
Awalnya pamannya menolak tahta itu, karena memang bukanlah motifnya untuk membunuh preman itu. Semuanya adalah keterpaksaan sekedar survive dalam hidup yang kejam. Ketika tak bisa lagi menemukan sesuatu yang bisa dilakukannya dengan pendidikan yang terbatas, pamannya pun menerima tahta itu. Menjadi raja di raja atas sepetak tanah dimana orang-orang berkumpul hanya untuk beranjak ke sebuah tujuan yang berbeda. Terminal.
Paman yang jahat, begitulah dulu ia menilai pamannya, adalah satu-satunya pilihan yang tersisa untuknya ketika itu. Ia tidak begitu akrab dengan pamannya dan ia tahu bagaimana orang-orang menatap cibir pada pamannya. Namun ia benar-benar tidak memiliki pilihan yang lebih baik. Paman itulah yang membesarkannya, menyekolahkannya hingga SMA dan kemudian mempersiapkan kehidupan yang lebih baik baginya.
Selepas SMA, kehidupan tidak berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Ia terlunta-lunta menjadi pekerja kasar, karena pada awalnya pamannya tidak ingin ia mengikuti jejaknya. Tapi ia membantah semua perintah-perintah itu. Secara diam-diam tentunya. Ia pun mulai membangun kerajaan tersendiri jauh dari jangkauan pamannya. Zaman yang berubah membuat banyak perbedaan antara masa lalu dan masa sekarang. Begitu pun dengan model-model kejahatan. Agar tetap terlihat bersih di mata pamannya ia mencoba sebuah bisnis yang jauh lebih menguntungkan dibanding memungut retribusi tidak resmi dari seseorang. Nipam. Ia punya bandar besar yang mampu menyiapkan puluhan kardus berisi Nipam yang bernilai ekonomi tinggi. Modalnya hanya kepercayaan dan keberanian. Perlahan namun pasti bisnisnya berkembang hingga ia punya tabungan yang cukup untuk membiayai hidupnya secara teratur. Awalnya pamannya tidak curiga apapun. Pamannya masih selalu melihatnya sebagai anak yang penurut dan tidak banyak tingkah. Tapi kemudian ia tertangkap ketika sedang bertransaksi dengan tas penuh Nipam. Beberapa hari ia mendekam di penjara, hingga kemudian pamannya melepaskannya melalui koneksinya dengan seorang polisi yang tiap malam menjadi teman telernya.
Coki mengira dirinya akan mati sesaat setelah dibebaskan. Sebenarnya ia lebih berharap mendekam lebih lama di penjara sambil memikirkan cara terbaik untuk menjauh sejauh-jauhnya dari pamannya. Tapi yang didapatinya sungguh di luar dugaan. Pamannya malah tertawa sambil membanggakannya pada teman-temannya. Mereka merayakan kebebasannya dengan teler di sebuah klub malam. Mereka sekaligus merayakan era baru bagi kehidupannya.
Kombinasi antara pamannya yang ditakuti dan kecerdikannya membuat mereka berdua mampu eksis di dunia hitam. Dimulai dari Nipam, lalu merambah ke jenis narkoba lainnya seperti ganja dan heroin dan kemudian terakhir shabu-shabu, yang selain lebih bernilai jual lebih tinggi juga lebih mudah diperoleh dan memiliki pasar yang lebih luas.
Mereka telah membangun kerajaan bisnis narkoba mereka sedemikian besarnya hingga suatu ketika, pada suatu masa sulit bagi para produsen dan pengedar narkoba dan tingginya persaingan antara mereka, bisnis mereka berangsur surut. Lebih menyakitkan lagi sang paman ditemukan tewas tergantung di kamarnya. Polisi menyatakan itu semua murni bunuh diri, tapi Coki tak pernah benar-benar percaya dengan laporan polisi. Ia punya teori tersendiri tentang bagaimana pamannya tewas dan itu berarti dirinya akan segera menyusul jika ia tidak segera meninggalkan tempat itu.
Coki meninggalkan segalanya. Ia merantau ke Jakarta dan memulai semuanya dari awal bermodal tabungan dan warisan dari pamannya yang cukup besar. Ia menjalani kehidupan yang lebih elegan, dengan harapan suatu saat nanti akan memiliki keluarga yang mencintainya dan memiliki anak yang dibesarkannya sendiri. Mimpi-mimpi itulah yang terus ada di kepalanya. Tapi hidup memang benar-benar tak bisa ditebak. Di puncak kesuksesannya, ia kembali harus memulai kembali hidupnya dari awal karena sebuah peristiwa besar yang meluluhlantakkan kehidupannya. Ia kini harus kembali Makassar, ke kampung halamannya, bekerja sebagai debt collector.
Ia memilih pekerjaan itu bukan tanpa tujuan. Jika engkau mengharap mendapat hasil terbaik dari hidupmu, maka mulailah segalanya dari awal. Itulah yang dikatakan seseorang bijak padanya suatu ketika. Dan memang itulah yang kini benar-benar dijalaninya.
(BERSAMBUNG)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar