Senin, 25 April 2011
Mbah Hasyim: Sang Akar Toleransi dan Pluralisme Islam Indonesia
Judul Buku : HADRATAUSSYAIKH HASYIM ASY’ARI
MODERASI, KEUMATAN, DAN KEBANGSAAN
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : KOMPAS Penerbit Buku
Tahun Terbit : 2010 (Januari)
Ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur didera berbagai persoalan yang membuat para petinggi Nahdlatul Ulama (NU) gerah dan menuntutnya harus melepaskan jabatannya sebagai Ketua NU, ia tetap tak bergeming. Meski begitu banyak ‘dosa-dosa’ yang telah diperbuatnya—puncaknya ketika ia menerima bantuan dari Yayasan SDSB—tak ada yang benar-benar berani memaksanya melepaskan jabatan dan bahkan belakangan memaafkan ‘kenakalan’ tersebut.
Bagaimana Gus Dur bisa seperkasa itu, meski dosa-dosa yang dilakukannya sepertinya tak termaafkan?
Semua itu karena dialah sang pemilik darah biru NU, cucu dari salah satu tokoh Islam terbesar Indonesia yang telah membidani kelahiran NU pada tahun 1926, yaitu KH Hasyim Asy’ari atau Hadrataussyaikh Hasyim Asy’ari. Atas nama kebesaran nama kakeknya inilah Gus Dur menjadi sedikit ‘leluasa’ dalam menciptakan seluruh ‘huru-hara’ yang ditimbulkannya, yang belakangan tidak hanya di NU sebagai institusi keagamaan yang dipimpinnya, tapi juga secara luas di negara ini.
KH Hasyim Asy’ari atau di kalangan keluarga dan santrinya dipanggil Mbah Hasyim atau Kiai Hasyim memang bukanlah tokoh sembarangan. Perannya diakui tidak hanya dalam membesarkan Islam di tanah air di masanya. Konon, penerimaan umat Islam terhadap kepemimpinan Soekarno – Hatta di awal kemerdekaan tak terlepas dari rekomendasinya. Diceritakan bahwa menjelang proklamasi kemerdekaan, Maruto Nitimiharjo, tokoh Murba, diutus oleh pemerintah militer Jepang untuk sowan ke Mbah Hasyim di Tebuireng. Mbah Hasyim ditawari menjadi Presiden RI. Tawaran ini ditolaknya dengan alasan bahwa dia hanyalah seorang Kiai yang tugasnya adalah mendidik santri di pesantren. Ketika ditanya siap tokoh yang tepat untuk menjadi presiden, ia menjawab bahwa menurut putranya Abdul Wahid Hasyim, tokoh yang tepat adalah Soekarno dan Hatta sebagai wakilnya.
Mbah Hasyim memang tidak menjadi presiden. Posisi yang sejak semula harus diembannya itu justru diduduki kemudian hari oleh cucunya, KH Abdurrahman Wahid. Tokoh fenomenal yang banyak berkontribusi bagi perkembangan demokrasi dan pluralisme di Indonesia.
Riwayat Mbah Hasyim memang tak begitu banyak diketahui orang, selain melalui sejumlah buku-buku yang diterbitkan terbatas di kalangan warga NU. Namun catatan sejarah kemudian menunjukkan betapa peran seorang Mbah Hasyim tidak hanya dalam membangun ikatan keumatan di zamannya. Ia juga telah melahirkan seorang KH Wahid Hasyim, Menteri Agama di awal kemerdekaan sekaligus tokoh utama di balik kemerdekaan RI, dan kemudian melahirkan KH Abdurrahman Wahid yang kepopulerannya bahkan melebihi nama besar kakek dan ayahnya.
KH Hasyim lahir di Jombang, 14 Februari 1871. Keluarganya dikenal sebagai keluarga ulama kharismatik. Ayahnya, Kiai Asy’ari adalah seorang ulama asal Demak dan kakeknya, Kiai Usman adalah pendiri pesantren Gedang, Jombang.
Saat masih dalam kandungan, Nyai Halimah, ibunya, melihat tanda-tanda yang luar biasa. Pada suatu malam, ia bermimpi bulan jatuh dari langit dan hinggap di kandungannya. Tanda-tanda lainnya, ketika masih berada dalam kandungan ibunya lebih kurang 14 bulan, ia diramalkan akan menjadi tokoh besar, dan ramalan itu memang terbukti di kemudian hari.
Nenek moyangnya juga sangat istimewa. Dari garis keturunan ayah, ia seorang kiai yang mempunyai pertalian darah dengan Maulana Ishaq hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir. Dari ibunya ia mempunyai pertalian darah dengan Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang mempunyai anak bernama Jaka Tingkir atau Krebet, yang merupakan raja Pajang pertama dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.
Menurut Zuhairi Misrawi dalam buku ini, Kiai Hasyim merupakan sosok penting karena dua hal. Pertama, Kiai Hasyim merupakan ulama yang secara konsisten menggusung faham Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu faham keagamaan yang dalam aqidah berpegang pada teologi al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah. Paham ini merupakan karakter terlama dan terpopuler yang dianut oleh umat Islam di seluruh dunia. Paham ini dianggap melestarikan mata rantai keulamaan dan keilmuan dalam khazanah Islam.
Kedua, dia adalah salah satu pendiri NU bersama dengan sejumlah ulama pesantren lainnya. NU sendiri kini merupakan organisasi Islam terbesar di dunia dengan keanggotaan diperkirakan mencapai 40-an juta orang. NU sebagai organisasi berbasis masyarakat pesantren atau kalangan santri, khususnya di Jawa Timur jga telah melahirkan ribuan kader terbaik, tidak hanya mumpuni di bidang keagamaan, namun juga dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam konteks ini akan sangat tak terhitung bagaimana peran seorang Kiai Hasyim dalam melahirkan tokoh-tokoh bangsa, dimana semua pemikiran-pemikirannya masih menjadi rujukan penting hingga setengah abad dari kematiannya dan akan terus berlanjut.
Warisan terpenting yang ditransmisikannya, baik pada anaknya KH Wahid Hasyim, kemudian pada cucunya KH Abdurrahman Wahid adalah sikap moderat dan penghargaannya pada perbedaan. Kiai Hasyim diyakini telah menyelamatkan bangsa ini dari ancaman puritanisme, yang pada akhirnya melahirkan sikap keagamaan yang ekstrim. Istilah moderat ini sendiri, sebagaimana dikatakan Khaled Abou el Fadle dalam the Great Theft: Westling from The Ekstrimists, adalah faham yang mengambil jalan tengah, yaitu tidak berada di ekstrem kanan atau kiri. Ini merujuk pada firman Allah dalam Alquran Surah Albaqarah: 143, “Dan kami telah jadikan kalian sebagai umat yang moderat.”
Sikap toleransi Kiai Hasyim dapat dilihat ketika suatu ketika terjadi polemik antara dirinya dengan Kiai Faqih dari Gresik terkait penggunaan kentongan untuk alat memanggil sholat. Kiai Hasyim sendiri menolak penggunaan kentongan ini dengan argumen kuat, yang kemudian disanggah oleh Kiai Faqih. Menurut Kiai Faqih kentongan sebagai alat pemanggilan sholat tidak masalah karena fungsinya sama dengan beduk. Kiai Hasyim pun kemudian memanggil para kiai di Jombang dan memberitahukan bahwa kentongan dapat digunakan sebagai alat pemanggilan sholat, kecuali di Pesantren Tebu Ireng, pesantren yang dipimpinnya. Sikap toleransi ini kemudian ditiru oleh Kiai Faqih, ketika dalam suatu kunjungan Kiai Hasyim ke daerahnya ia memerintahkan tak ada bunyi kentongan untuk memanggil sholat di setiap masjid ketika Kiai Hasyim masih berada di daerah itu (Sobari, 2010.
Meski demikian, sikap moderat ini tidaklah berarti harus rela berada dalam penindasan dan kesewenang-wenangan. Ini ditunjukkan Kiai Hasyim tatkala ia mengeluarkan fatwa perlawanan terhadap Belanda. Fatwa tersebut terdiri dari tiga butir. Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dan mengikat dilaksanakan oleh seluruh umat Islam Indonesia. Kedua, kaum Muslimin dilarang menggunakan kapal Belanda selama menunaikan ibadah haji ke Belanda. Ketiga, kaum muslimin dilarang menggunalkan pakaian atau atribut yang menyerupai penjajah.
Kiai Hasyim juga menolak melakukan saikerei, kewajiban memberikan penghormatan dengan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketundukan pada Dewa Matahari, meski sikap pembangkangannya ini kemudian mendapat ‘ganjaran’ penjara.
Pada akhirnya, memahami NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia takkan pernah lengkap tanpa memahami sikap, perilaku dan pemikiran Kiai Hasyim, diibaratkan bahwa Kiai Hasyim adalah NU besar sedangkan NU secara organisasi sendiri hanyalah NU kecil. Idiom yang juga dilekatkan pada diri cucunya KH Abdurrahman Wahid yang diyakini sebagai prototype dirinya dalam hal pemikiran yang toleran dan menghargai perbedaan.
Buku setebal 374 halaman ini, sebagaimana dikemukakan DR.H.Nadirsyah Hosen, dalam pengantarnya, memberi pemahaman yang penting akan perjalanan hidup dan pemikiran Kiai Hasyim. Di antaranya, pertama, tidak banyak diketahui orang luar pesantren bahwa Kiai Hasyim adalah pakar hadis. Ini sangat penting karemna selama ini NU dicurigai, khususnya dari kalangan Salafi, bahwa mereka tidak peduli pada hadis tapi hanya pada pendapat ulama.
Kedua, memberikan informasi akan aktvitas pengajaran Kiai Hasyim tidak hanya di tanah air, namun juga pernah menjadi guru di Masjidil Haram di masanya, yang menunjukan kedalaman pengetahuan dan kesalehannya. Selama mengajar di Masjidil Haram, Kiai Hasyim mempunyai sejumlah murid, antara lain Syaikh Sa’dullah al-Maimani (mufti India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), al-Syihab Ahmad bin Abdullah (Suriah), KH.Wahab Hasbullah (Jombang), KHR.Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH.Bisri Syansuri (Jombang) dan KH. Shaleh (Tayu).
Ketiga, sisitem madrasah yang dirintis oleh Pesantren Tebuireng dengan mengajarkan ilmu-ilmu sekuler, selain ilmu-ilmu agama, telah melahirkan sejumlah cendikiawan muslim yang tidak hanya mampu menguasai kitab kuning, tapi juga bidang lainnya.
Ibaratnya dia adalah sumber mata air, yang peranannya tidak hanya berkontribusi bagi pengembangan umat Islam namun juga bagi bangsa ini secara umum. Ibarat sebuah pohon, maka Kiai Hasyim adalah akar bagi sikap toleransi dan pluralisme, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia Islam pada umumnya. [ ]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar