Tengah malam saya kedatangan tamu teman lama. Tidak seperti biasanya, ia datang dalam keadaan terluka. Hatinya tengah diterpa badai cinta yang perih. Ia terisak. Ia merasa tak sanggup mencoba berdamai dengan hatinya. Ia ingin berikhlas namun menurutnya terasa begitu berat.
Saya tersenyum padanya. Tak pernah melihatnya menangis, maka aneh saja melihatnya seperti itu. Menurut kamu, apakah sudah benar semua lakuku dengan berupaya meninggalkannya, atau setidaknya aku memintanya untuk meninggalkanku? tanyanya.
Saya mengangguk. Kamu benar. Kamu akan selalu benar jika kau meyakininya demikian. Tapi aku teramat menyanyanginya dan begitupun dengan dia terhadapku, bantahnya.
Aku mengemukakan sebuah teori padanya, tentang perasaan ketika seorang jatuh cinta yang teramat dalam, ketika kita menjadi anti-logika dan tidak mengindahkan akal sehat. Pada saat seperti ini, kataku, kamu bukanlah dalam posisi memutuskan secara tepat. Semua keputusanmu akan bias, subyektif, irasional dan emosional. Begitupun dengan dia.
Lalu apa yg harus sy lakukan? katanya masih terisak.
Menurutku, kataku padanya, jalan terbaik padamu saat ini adalah berdoa. Sholat istikharahlah malam ini. Mohon ampun dan maaf atas dirimu dan dirinya. Mintalah ketetapan hati pada-Nya. Allah adalah satu-satunya tempat meminta terbaik. InsyaAllah semua kegundahanmu akan menguap seketika.
Kenapa bisa seperti itu? katanya
Kataku, karena di situlah esensi dari keikhlasan. Ketika kita meyerahkan sepenuhnya hidup, harapan, keinginan dan kematian kita kepada-Nya. Ketika kita meyakini bahwa apa yang terjadi pada kita adalah skenario-Nya yang pastilah adalah yang terbaik bagi kita. Ketika kita menyadari keterbatasan kita atas kuasa pada hidup ini, termasuk pada perasaan kita. Allah Maha Mendengar, termasuk semua keluhan-keluhan kita. Dan Dia Maha Baik pada hamba-hambanya yang meminta secara baik dan penuh pengharapan.
Ia masih terisak, meski ia kini terlihat jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Ia pun pamit dan berjanji mengikuti saranku.
Setelah kepergiannya, akupun membasuh wajahku dengan wudhu. Aku pun tengah menghadapi badai yang sama dengan teman itu. Kedatangannya mungkin adalah ‘tuntutan’ dari Allah untuk mengingatkanku kembali apa yang seharusnya kulakukan untuk menyembuhkan diri sendiri.
Aku berdoa malam ini untuk temanku itu, sebagaimana aku berdoa untuk diriku sendiri. Samar-samar aku mendengar suara dari relung hatiku terdalam, “Wahai Hati yang Gundah, Berbahagialah, karena Allah sedang Tersenyum Padamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar