OLEH WAHYU CHANDRA
Suatu ketika seorang
teman yang bekerja sebagai jurnalis di salah satu stasiun TV swasta
mengirim rekaman wawancara dari sejumlah elemen masyarakat yang
bertemakan ‘nasionalisme’, menjelang tujuhbelasan. Stasiun TV ini ingin
mengetahui seberapa besar karat nasionalisme seseorang dengan menanyakan
teks proklamasi pada mereka. Dalam rekaman ini muncul sejumlah
adegan-adegan yang menggelikan, dimana hampir seluruh informan yang
diwawancarai tidak bisa mengucapkan teks proklamasi secara utuh. Adegan
lucunya ketika mereka mengucapkannya dengan ekspresi ketidaktahuan dan
tergagap-gagap. Informannya selain dari mahasiswa juga dari kalangan
masyarakat umum. Kesimpulan dari hasil wawancara ini cukup
mencengangkan: semangat nasionalisme masyarakat kita sudah luntur.
Pada
kesempatan yang lain, di stasiun TV lain juga menyiarkan wawancara
dengan sejumlah elemen masyarakat terkait tema yang sama:
‘nasionalisme’. Lagi-lagi mengukur karat nasionalisme seseorang dengan
menggunakan tolak ukur tertentu. Dan lagi-lagi yang dijadikan acuan
adalah terkait dengan teks proklamasi, lagu-lagu perjuangan dan bahkan
juga lagu-lagu daerah dari sejumlah daerah di nusantara. Tak lupa mereka
menyelipkan hasil wawancara dengan sejumlah pakar dan budayawan. Dan
lagi-lagi kesimpulan yang ditarik adalah semangat nasionalisme yang
telah luntur dari masyarakat kita.
Begitulah
stasiun TV merekonstruksi makna nasionalisme, melalui tolak ukur
pengetahuan ataupun tindakan-tindakan yang dinilai berbau heroik, dan
kebangsaan, karena, mungkin, pemaknaan nasionalisme bagi mereka semata
diartikan sebagai ‘cinta tanah air’, yang harus ditunjukkan melalui
pengetahuan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang mereflesikan sikap
nasionalis atau bakti yang nyata pada tanah air. Tolak ukur yang
digunakan pun bermacam-macam dan menurut saya cenderung diskriminatif
dan menyederhanakan persoalan, mulai dari pengetahuan dan pemahaman
(seperti hafal dengan teks proklamasi, lagu-lagu kebangsaan, lagu-lagu
daerah, dsb) hingga pada tindak nyata, seperti prestasi tingkat
internasional yang mengharumkan nama bangsa. Tentu saja jika menggunakan
tolak ukur ini maka yang paling tinggi kadar nasionalismenya adalah
atlit-atlit bulu tangkis, yang paling banyak menyumbangkan prestasi
internasional untuk Indonesia. Profesi yang dianggap paling bernilai
‘nasionalis’, selain olahragawan ini, juga tentunya tentara yang memang
memiliki doktrin untuk mempertahankan negara dari ancaman luar (tak
peduli di masa lalu para tentara ini justru banyak berhadapan musuh dari
rakyat Indonesia sendiri). Selebihnya saya tidak tahu, apakah
dikategorikan berkarat nasionalis rendah atau malah tidak berkarat sama
sekali.
Lalu apa
sebenarnya nasionalisme itu dan bagaimana awal kemunculannya?
Terdapat
sejumlah versi tentang hal ini. Menurut Seton-Wetson (1997) pada
umumnya nasionalisme ini memiliki dua arti dasar. Pertama,
nasionalisme lebih merupakan sebuah doktrin mengenai karakter,
kepentingan, hak-hak dan tanggungan-tanggungan kenegaraan. Kedua,
cenderung diartikan sebagai gerakan-gerakan politis yang terorganisir,
yang memiliki tujuan dan kepentingan bangsa yang telah ditentukan
sebelumnya.
Doktrin nasionalisme
pertama kali muncul pada saat bergejolaknya Revolusi Perancis, meskipun
konsep ‘nation’ (bangsa) sebagai akar kata nasionalisme ini
telah muncul jauh sebelumnya, sebelum konsepsi ini dirumuskan.
Nasionalisme sebagai doktrin lahir sebagai penekanan akan pentingnya
kedaulatan (soveireignity) di abad ke-18. Desakan kebutuhan
inilah yang mendorong banyak terjadinya pergolakan-pergolakan
nasionalisme pada saat itu.
Menurut
Bakti (2006), sebagai sebuah gejala histori, nasionalisme muncul sebagai
respon terhadap suasana politik, ekonomi, sosial dan budaya, khususnya
yang diciptakan oleh kaum kolonialisme. Dalam hal ini nasionalisme dan
kolonialisme memiliki relasi yang sangat erat.
Hal yang
sama dikemukakan Sartono Kartodirdjo (1990):
…tidak
dapat disangkal lagi nasionalisme merupakan hasil yang paling penting
daripada pengaruh kekuasaan Barat di negeri-negeri Asia pada zaman
modern…Hal yang esensial bagi tujuan kami adalah, bahwa nasionalisme dan
kolonialisme itu tidak terlepas satu sama lain, dan terasa juga adanya
pengaruh yang timbal balik antara nasionalisme yang sedang berkembang
dan politik kolonial dan ideologinya.
Telaah
lebih jauh akan akar nasionalisme bisa kita baca dalam buku yang ditulis
Benedict Anderson (1983) “Imagined Communities: Reflections on the
Origin and Spread of Nationalism”. Proses-proses penciptaan
‘komunitas-komunitas imajiner’ atau bangsa-bangsa ini, menurut Anderson,
melewati teritorialisasi keyakinan-keyaknian keagamaan, kemerosotan
kerajaan-kerajaan kuno, hubungan tinbal-balik antara kapitalisme dengan
cetak-mencetak, perkembangan bahasa resmi negara yang diangkat dari
bahasa ibu/daerah tertentu, serta konsepi-konsepsi tentang waktu yang
berubah.
Pada
konteks kekinian, nasionalisme cenderung diartikan secara sederhana
sebagai bentuk kecintaan pada tanah air, tanpa melihatnya sebagai sebuah
proses politik, sosial dan budaya yang lebih kompleks, yang gaungnya
akan terasa terdengar sekali setahun, yaitu menjelang saat-saat
tujuhbelasan. Nasionalisme cenderung dimaknai secara simbolik, dengan
(lagi-lagi) dikaitkan dengan seberapa tahu dan sebarapa banyak tindak
nyata yang bisa diberikan pada bangsa dengan menggunakan takaran-takaran
tententu, yang mungkin sulit bagi setiap orang mewujudkannya. Pesan
yang sampai pada kita selama ini bahwa karat nasionalisme akan sangat
tergantung pada seberapa banyak sejarah bangsa yang diketahui (lengkap
dengan nama-nama pahlawan dan asal daerahnya), seberapa banyak lagu-lagu
banyak dihafal, seberapa banyak prestasi internasional yang bisa
dipersembahkan (apakah kita benar-benar yakin bahwa pebulutangkis yang
berprestasi secara internasional melakukan hal itu secara sadar sebagai
bukti cintanya pada bangsa ini? Tidak, mereka berjuang untuk diri
sendiri, untuk ketenaran pribadi. Ketenaran bangsa karena prestasi itu
hanya efek samping dari kesuksesan pribadi dari atlit tersebut).
Nasionalisme
pada akhirnya menjadi konsep yang ambigu bagi kita yang coba dipaksakan
untuk kita fahami dan amini demi kepentingan kekuasaan semata. Jika
anda mengkritik pemerintah yang berlaku secara tidak adil pada
masyarakat, maka anda akan dinilai tidak nasionalis. Di lain pihak sikap
anti-nasionalis akan ditujukan pada kita ketika membela seorang
pelanggar HAM atas warga asing, yang meskipun ia melakukan kejahatan
atas kemanusian namun karena ia sebangsa dan setanah air dengan kita
maka (seakan) menjadi patut untuk dibela.
Nasionalisme pada
akhirnya menjadi alat kekuasaan untuk meneguhkan otoritasnya dengan
menggunakan berbagai sarana media yang ada (termasuk TV dan film).
Perasaan semu ini pulalah yang membuat kita harus ‘mencaci maki’ negara
tetangga kita karena dinilai telah ‘merampok’ aset-aset kebudayaan kita.
Lebih jauh lagi nasionalisme dijadikan alat bagi kekuasaan untuk
menuntut kerelaan berkorban untuk Negara, padahal yang seharusnya
terjadi Negaralah yang harus mengabdi pada masyarakat. Doktrin ‘jangan
tanyakan apa yang bisa Negara berikan padamu, tapi tanyakanlah apa yang
bisa kau berikan pada negaramu’ mulai terasa usang, karena dalam konsep
Negara modern, seperti yang kita yakini sekarang, tugas negaralah yang
sebenarnya harus melayani kepentingan masyarakat dengan memberi
kesejahteraan, rasa aman dan terutama rasa keadilan. Negara dalam hal
ini menggunakan ‘abdi’nya yang bernama pemerintah dalam pencapaian
tujuan-tujuannya dalam menciptakan keadilan sosial bagi.
Jika
nasionalisme adalah sebuah bentuk kecintaan pada tanah air, mengutip
pernyataan WS Rendra, justru pemerintahlah yang tidak memiliki karat
nasionalis yang tinggi dengan menggadaikan bangsa ini pada
perusahaan-perusahaan asing tanpa ada kompensasi yang seimbang dan hanya
meninggalkan pengrusakan lingkungan yang parah.
Jika nasionalisme adalah
sebuah bentuk kecintaan pada tanah air, maka nasionalis sejati bukanlah
karena kita faham dengan baik sejarah bangsa ini, bukan karena
kita menghafal puluhan lagu-lagu kepahlawanan, bukan karena besarnya
bendera merah putih yang kita miliki, bukan karena prestasi
internasional yang kita raih, bukan pula karena kita mengenakan pakaian
yang dipenuhi lambang-lambang patriotism dan bukan pula karena tingginya
jabatan yang kita miliki. Untuk menjadi nasionalis sejati cukup dengan
menjaga lingkungan di sekitar kita, bahkan yang lebih sederhana cukup
dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat ataupun ronda tiap
malam, ataupun bersikap baik pada tetangga, demi penciptaaan lingkungan
yang lebih kondusif. Itulah wujud cinta tanah air (nasionalisme) yang
hakiki dan tak berembel-embel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar