Sabtu, 07 Mei 2011

Karat Nasionalisme

OLEH WAHYU CHANDRA

Suatu ketika seorang teman yang bekerja sebagai jurnalis di salah satu stasiun TV swasta mengirim rekaman wawancara dari sejumlah elemen masyarakat yang bertemakan ‘nasionalisme’, menjelang tujuhbelasan. Stasiun TV ini ingin mengetahui seberapa besar karat nasionalisme seseorang dengan menanyakan teks proklamasi pada mereka. Dalam rekaman ini muncul sejumlah adegan-adegan yang menggelikan, dimana hampir seluruh informan yang diwawancarai tidak bisa mengucapkan teks proklamasi secara utuh. Adegan lucunya ketika mereka mengucapkannya dengan ekspresi ketidaktahuan dan tergagap-gagap. Informannya selain dari mahasiswa juga dari kalangan masyarakat umum. Kesimpulan dari hasil wawancara ini cukup mencengangkan: semangat nasionalisme masyarakat kita sudah luntur.


Pada kesempatan yang lain, di stasiun TV lain juga menyiarkan wawancara dengan sejumlah elemen masyarakat terkait tema yang sama: ‘nasionalisme’. Lagi-lagi mengukur karat nasionalisme seseorang dengan menggunakan tolak ukur tertentu. Dan lagi-lagi yang dijadikan acuan adalah terkait dengan teks proklamasi, lagu-lagu perjuangan dan bahkan juga lagu-lagu daerah dari sejumlah daerah di nusantara. Tak lupa mereka menyelipkan hasil wawancara dengan sejumlah pakar dan budayawan. Dan lagi-lagi kesimpulan yang ditarik adalah semangat nasionalisme yang telah luntur dari masyarakat kita.

Begitulah stasiun TV merekonstruksi makna nasionalisme, melalui tolak ukur pengetahuan ataupun tindakan-tindakan yang dinilai berbau heroik, dan kebangsaan, karena, mungkin, pemaknaan nasionalisme bagi mereka semata diartikan sebagai ‘cinta tanah air’, yang harus ditunjukkan melalui pengetahuan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang mereflesikan sikap nasionalis atau bakti yang nyata pada tanah air. Tolak ukur yang digunakan pun bermacam-macam dan menurut saya cenderung diskriminatif dan menyederhanakan persoalan, mulai dari pengetahuan dan pemahaman (seperti hafal dengan teks proklamasi, lagu-lagu kebangsaan, lagu-lagu daerah, dsb) hingga pada tindak nyata, seperti prestasi tingkat internasional yang mengharumkan nama bangsa. Tentu saja jika menggunakan tolak ukur ini maka yang paling tinggi kadar nasionalismenya adalah atlit-atlit bulu tangkis, yang paling banyak menyumbangkan prestasi internasional untuk Indonesia. Profesi yang dianggap paling bernilai ‘nasionalis’, selain olahragawan ini, juga tentunya tentara yang memang memiliki doktrin untuk mempertahankan negara dari ancaman luar (tak peduli di masa lalu para tentara ini justru banyak berhadapan musuh dari rakyat Indonesia sendiri). Selebihnya saya tidak tahu, apakah dikategorikan berkarat nasionalis rendah atau malah tidak berkarat sama sekali.

Lalu apa sebenarnya nasionalisme itu dan bagaimana awal kemunculannya?

Terdapat sejumlah versi tentang hal ini. Menurut Seton-Wetson (1997) pada umumnya nasionalisme ini memiliki dua arti dasar. Pertama, nasionalisme lebih merupakan sebuah doktrin mengenai karakter, kepentingan, hak-hak dan tanggungan-tanggungan kenegaraan. Kedua, cenderung diartikan sebagai gerakan-gerakan politis yang terorganisir, yang memiliki tujuan dan kepentingan bangsa yang telah ditentukan sebelumnya.

Doktrin nasionalisme pertama kali muncul pada saat bergejolaknya Revolusi Perancis, meskipun konsep ‘nation’ (bangsa) sebagai akar kata nasionalisme ini telah muncul jauh sebelumnya, sebelum konsepsi ini dirumuskan. Nasionalisme sebagai doktrin lahir sebagai penekanan akan pentingnya kedaulatan (soveireignity) di abad ke-18. Desakan kebutuhan inilah yang mendorong banyak terjadinya pergolakan-pergolakan nasionalisme pada saat itu.
Menurut Bakti (2006), sebagai sebuah gejala histori, nasionalisme muncul sebagai respon terhadap suasana politik, ekonomi, sosial dan budaya, khususnya yang diciptakan oleh kaum kolonialisme. Dalam hal ini nasionalisme dan kolonialisme memiliki relasi yang sangat erat.

Hal yang sama dikemukakan Sartono Kartodirdjo (1990):
…tidak dapat disangkal lagi nasionalisme merupakan hasil yang paling penting daripada pengaruh kekuasaan Barat di negeri-negeri Asia pada zaman modern…Hal yang esensial bagi tujuan kami adalah, bahwa nasionalisme dan kolonialisme itu tidak terlepas satu sama lain, dan terasa juga adanya pengaruh yang timbal balik antara nasionalisme yang sedang berkembang dan politik kolonial dan ideologinya.

Telaah lebih jauh akan akar nasionalisme bisa kita baca dalam buku yang ditulis Benedict Anderson (1983) “Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism”. Proses-proses penciptaan ‘komunitas-komunitas imajiner’ atau bangsa-bangsa ini, menurut Anderson, melewati teritorialisasi keyakinan-keyaknian keagamaan, kemerosotan kerajaan-kerajaan kuno, hubungan tinbal-balik antara kapitalisme dengan cetak-mencetak, perkembangan bahasa resmi negara yang diangkat dari bahasa ibu/daerah tertentu, serta konsepi-konsepsi tentang waktu yang berubah.

Pada konteks kekinian, nasionalisme cenderung diartikan secara sederhana sebagai bentuk kecintaan pada tanah air, tanpa melihatnya sebagai sebuah proses politik, sosial dan budaya yang lebih kompleks, yang gaungnya akan terasa terdengar sekali setahun, yaitu menjelang saat-saat tujuhbelasan. Nasionalisme cenderung dimaknai secara simbolik, dengan (lagi-lagi) dikaitkan dengan seberapa tahu dan sebarapa banyak tindak nyata yang bisa diberikan pada bangsa dengan menggunakan takaran-takaran tententu, yang mungkin sulit bagi setiap orang mewujudkannya. Pesan yang sampai pada kita selama ini bahwa karat nasionalisme akan sangat tergantung pada seberapa banyak sejarah bangsa yang diketahui (lengkap dengan nama-nama pahlawan dan asal daerahnya), seberapa banyak lagu-lagu banyak dihafal, seberapa banyak prestasi internasional yang bisa dipersembahkan (apakah kita benar-benar yakin bahwa pebulutangkis yang berprestasi secara internasional melakukan hal itu secara sadar sebagai bukti cintanya pada bangsa ini? Tidak, mereka berjuang untuk diri sendiri, untuk ketenaran pribadi. Ketenaran bangsa karena prestasi itu hanya efek samping dari kesuksesan pribadi dari atlit tersebut).

Nasionalisme pada akhirnya menjadi konsep yang ambigu bagi kita yang coba dipaksakan untuk kita fahami dan amini demi kepentingan kekuasaan semata. Jika anda mengkritik pemerintah yang berlaku secara tidak adil pada masyarakat, maka anda akan dinilai tidak nasionalis. Di lain pihak sikap anti-nasionalis akan ditujukan pada kita ketika membela seorang pelanggar HAM atas warga asing, yang meskipun ia melakukan kejahatan atas kemanusian namun karena ia sebangsa dan setanah air dengan kita maka (seakan) menjadi patut untuk dibela.

Nasionalisme pada akhirnya menjadi alat kekuasaan untuk meneguhkan otoritasnya dengan menggunakan berbagai sarana media yang ada (termasuk TV dan film). Perasaan semu ini pulalah yang membuat kita harus ‘mencaci maki’ negara tetangga kita karena dinilai telah ‘merampok’ aset-aset kebudayaan kita. Lebih jauh lagi nasionalisme dijadikan alat bagi kekuasaan untuk menuntut kerelaan berkorban untuk Negara, padahal yang seharusnya terjadi Negaralah yang harus mengabdi pada masyarakat. Doktrin ‘jangan tanyakan apa yang bisa Negara berikan padamu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kau berikan pada negaramu’ mulai terasa usang, karena dalam konsep Negara modern, seperti yang kita yakini sekarang, tugas negaralah yang sebenarnya harus melayani kepentingan masyarakat dengan memberi kesejahteraan, rasa aman dan terutama rasa keadilan. Negara dalam hal ini menggunakan ‘abdi’nya yang bernama pemerintah dalam pencapaian tujuan-tujuannya dalam menciptakan keadilan sosial bagi.

Jika nasionalisme adalah sebuah bentuk kecintaan pada tanah air, mengutip pernyataan WS Rendra, justru pemerintahlah yang tidak memiliki karat nasionalis yang tinggi dengan menggadaikan bangsa ini pada perusahaan-perusahaan asing tanpa ada kompensasi yang seimbang dan hanya meninggalkan pengrusakan lingkungan yang parah.
Jika nasionalisme adalah sebuah bentuk kecintaan pada tanah air, maka nasionalis sejati bukanlah karena kita faham dengan baik sejarah bangsa ini, bukan karena kita menghafal puluhan lagu-lagu kepahlawanan, bukan karena besarnya bendera merah putih yang kita miliki, bukan karena prestasi internasional yang kita raih, bukan pula karena kita mengenakan pakaian yang dipenuhi lambang-lambang patriotism dan bukan pula karena tingginya jabatan yang kita miliki. Untuk menjadi nasionalis sejati cukup dengan menjaga lingkungan di sekitar kita, bahkan yang lebih sederhana cukup dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat ataupun ronda tiap malam, ataupun bersikap baik pada tetangga, demi penciptaaan lingkungan yang lebih kondusif. Itulah wujud cinta tanah air (nasionalisme) yang hakiki dan tak berembel-embel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar