Seorang penyair datang ke istana raja yang berkuasa di tanah Arab, tetapi tak menguasai bahasa Arab ataupun Persia. Di sisi lain Si raja hanya bisa berbahasa Turki.
Sang penyair memberikan untaian kata yang indah kepada si raja, yang ditulis dalam bahasa Arab. Namun sewaktu si penyair membacakannya, si raja menganggguk-angguk tepat ketika dibacakan kata-kata pujian; tertawa tepat ketika dibacakan perkataan yang lucu; bersedih atau takjub atau merenung pada saat yang tepat.
Usai pembacaan eulogi ini dan sang penyair keluar, para punggawa raja penasaran. Apakah si raja sudah menguasai bahasa Arab? Jika benar demikian, mereka bisa celaka karena selama ini kerap berbincang dengan kata-kata kasar dalam bahasa Arab. Lalu, mereka pun meminta tolong kepada budak kesayangan si raja untuk mencari tahu.
Suatu hari ketika si raja sedang bergembira, budaknya itu bertanya langsung—apakah Baginda tahu bahasa Arab? Jika tidak, bagaimana Baginda bisa merespon kata-kata sang penyair dengan tepat?
Kata sang raja,
“tentu saja aku tak tahu bahasa Arab. Tapi aku tahu tujuan penyair itu. Dia sebenarnya tak ingin memamerkan syairnya, tapi hanya ingin sekedar membuatku terkesan dan tertawa untuk menghiburku. Aku memahami maksudnya, dan saya tak perlu mengerti isi syairnya untuk itu.”
Sumber: Neil Doglas-Klotz, The Sufi Book of Life: 99 Pathways of the Heart for the Modern Darvish. Penguin, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar