Jumat, 06 Mei 2011

Pencuri Itu Seperti Anjing


OLEH WAHYU CHANDRA
Seorang pemuda berumur sekitar 20 tahunan tertangkap basah ketika hendak membawa kabur sebuah sepeda motor. Pemuda berkulit hitam sawo dengan tato di sekujur tubuhnya, yang belakangan diketahui berinisial nama HA ini, sempat melarikan motor yang hendak dicurinya, namun di tengah perjalanan, karena panik, motor yang dikendarainya menabrak pagar dan ia pun terjungkir balik tertimpa motor.
Melihat pencuri tersebut terjatuh, belasan orang yang mengejarnya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka segera mendatangi HA dan menghajarnya sampai babak belur, tidak peduli kondisi HA ketika itu dalam keadaan kesakitan karena kakinya masih terjepit motor.
Beberapa orang malah menyeret HA secara paksa dari tindisan motor, membawanya ke tempat yang lebih lapang, sebelum akhrinya menghujani pemuda yang sudah tidak berdaya tersebut dengan hujanan pukulan dan tendangan. Beberapa pengendara motor yang kebetulan lewat sekitar lokasi bahkan turut mengambil bagian menghajar pencuri tersebut dengan tendangan yang membabi buta.
Seorang Satpam yang segera datang bukannya berusaha menenangkan massa yang mulai kesetanan, si Satpam malah turut memberi tendangan terbaiknya dan menyeret si pencuri tersebut menuju sebuah Pos Satpam yang jaraknya sekitar 100 meter dari tempat tersebut.
”Bakar saja, biar mampus sekalian!” teriak seorang pemuda berkacamata, yang diamini oleh beberapa orang lainnya.

”Iya, bakar saja, orang seperti dia tidak perlu dikasihani. Lihat badannya penuh tatto, pasti ia memang pencuri profesional.”
Ada juga yang datang membawa balok dan bambu mencoba memukul si pencuri yang terus saja diseret di jalan yang beraspal oleh si Satpam, meski berhasil dicegah oleh beberapa orang yang tidak tega melihat tindakan tersebut.
”Jangan! Kalo ia mampus, nanti urusannya malah jadi panjang.”
Tapi orang yang membawa balok itu malah balik menghardik, ”Tidak apa-apa. Orang seperti ini tidak pantas dikasihani. Lihat saja mukanya, ia pasti keturunan anjing, ia bukan manusia seperti kita.”
Polisi baru datang beberapa saat kemudian. Untunglah si polisi berhasil mencegah tindakan lebih jauh dari massa yang semakin tidak terkendali. Konon di kantor polisi kelak, si pencuri juga akan mendapat ”jatah” yang tak kalah serunya. Konon.
Beberapa koran menulis berita tersebut dengan kronologis yang hampir sama, yang berarti berasal dari sumber yang sama. Biasanya memang wartawan suka bergerombol dalam wawancara, atau kalau mau jalan pintas cukup meminjam catatan atau rekaman dari rekan wartawan lain. Atas nama solidaritas wartawan.
***
Di televisi dua hari kemudian aku menonton berita kriminal dengan kasus yang sama, hanya di daerah yang berbeda. Seorang pemuda yang ketahuan menyatroni sebuah bengkel dan sempat membawa kabur beberapa peralatan motor dihajar massa hingga mukanya tidak lagi berbentuk seperti wajah manusia pada umumnya. Tak bisa lagi dibedakan antara hidung bibir dan pipinya, menggelembung berwarna merah keungu-unguan dan ceceran darah dari hidung, mata dan telinga. Empat gigi depan rontok.
Menurut berita tersebut, nilai barang yang dicuri tersebut tak lebih dari Rp 50 ribu. Si pencuri ternyata tidak memperhitungkan untung rugi dari perbuatannya tersebut. Ia mungkin tidak pernah mengantisipasi berapa besar biaya yang harus ditanggungnya ketika tertangkap basah dengan wajah yang babak belur dan tulang rusuk yang patah. Ia mungkin lebih asyik memikirkan bagaimana nantinya menghabiskan uang hasil operasinya, membeli sebotol wiski dan rokok untuk dinikmati dengan teman-temannya. Atau membiayai pengobatan anaknya yang sakit flu burung. Atau bisa juga untuk nombok biaya pernikahannya yang rencananya akan diadakan sehari lagi.
”Betapa kejamnya kita pada para pencuri itu,” ujarku pada Sofyan, teman yang sering kujadikan tempat pelampiasan kemarahan bila tidak menyenangi suatu keadaan.
”Sudah sepantasnya para pencuri itu dihajar sampai mampus. Biar kapok. Biar calon-calon pencuri lain menjadi keder dan berpikir dua kali sebelum mencuri. Saya pikir itu alasan semua orang,” katanya.
”Tapi kan ada hukum. Ada penjara bagi si pencuri. Apalagi untuk pencuri kelas teri. Bukannya semua penjara untuk pencuri semuanya dibangun untuk pencuri atau kelas teri saja? Artinya ini bukan semata-mata untuk membuat efek jera saja, pasti ada alasan lain yang lebih rasional.”
”Maksud kamu?” Sofyan terlihat kebingungan.
”Ini bukan masalah pencuri itu,” kataku.
Sofyan semakin bingung.
”Aku memikirkan ’kita’, aku, kamu dan semua orang,” kataku sambil mencoba menyusun kalimat yang lebih mudah dicerna oleh otak Sofyan. Tapi sepertinya ia belum mengerti-mengerti juga.
Kataku: ”Ya, aku sebenarnya tidak peduli bagaimana pencuri itu akhirnya dihukum. Aku hanya tidak habis pikir, bagaimana kita selama ini telah mengotori diri kita dengan nafsu mencedarai atau kalau perlu membunuh orang lain. Bukankah dengan ikut menghajar pencuri itu berarti kita telah melakukan ’kejahatan’ yang jauh lebih besar dari si pencuri itu. Kalau si pencuri itu mencuri mungkin sekedar untuk melanjutkan hidup mereka, maka kejahatan kita karena menyakiti orang lain justru hanya untuk kesenangan saja, atau sekedar memuaskan hasrat ’kebinatangan’ dalam diri kita, sifat alami yang senang dengan kepedihan orang lain. Sifat senang dengan kekalahan orang lain. Bukankah setiap orang memiliki sifat itu, meski dengan kadar yang berbeda-beda? Kita akan dengan leluasa menyakiti seorang pencuri sebab kita menganggap bahwa apa yang kita lakukan dapat dibenarkan, karena kita punya alasannya. Mungkin karena kita berpikir telah berdiri dalam koridor kebenaran. Tapi apa kebenaran itu? Siapa sih orang di dunia ini yang benar-benar yakin bahwa setiap hal yang dilakukannya sudah merupakan sebuah kebenaran?”
Sofyan tampaknya berpikir hebat, yang membuatku merasa bersalah karena kini ia kemudian terlihat lebih tua sepuluh tahun dari usianya yang sebenarnya.
Aku sepertinya mulai mengerti apa yang kamu maksud,” katanya beberapa saat kemudian, meski masih terlihat ragu.
”Aku rasa benar apa katamu itu,” lanjutnya, ”Bagaimana jika perilaku seperti itu terbawa pada seri kehidupan kita yang lain? Bagaimana jika kita adalah seseorang yang karena kesempatan dan keberuntungan diberi wewenang dan kuasa besar atas sesuatu? Dengan pemikiran bahwa tindakan kita dilindungi oleh hukum dan norma yang ada, serta oleh wewenang yang kita miliki, maka kita akan bisa seenaknya merampas hak orang lain, atau bahkan kalau perlu membunuh orang lain. Lalu kita pun mencari dalilnya, bisa dengan dalih ’ketertiban umum’ ataupun ’demi kepentingan yang lebih besar’ atau karena kondisi yang tak terelakkan, atau ’atas nama hukum yang berlaku’?” ujar Sofyan sambil tersenyum miris.
Aku ikut tersenyum. Miris.
Aku teringat penggusuran pagi tadi, yang dilakukan secara membabi buta dan riang gembira oleh sekelompok orang yang merasa telah memiliki hak untuk melakukannya hanya karena telah memiliki seragam, pentungan dan topi baret yang gagah dan selembar mandat untuk ”melakukan apa saja yang dianggap perlu” di tangannya.
Aku membayangkan lebih banyak lagi peristiwa-peristiwa di negeri ini yang jauh tak masuk akalnya. Orang-orang saling menyakiti dengan alasan uang seribu. Perampok yang tega mencincang korbannya. Polisi menyeret seorang kriminil dengan tali di lehernya seperti halnya anjing yang kesakitan. Perampok dan polisi pun menjadi sulit dibedakan, hanya saja yang satu kita sebut dengan ”kekejaman”, sementara yang lain akan kita sebut sebagai ”kepahlawanan”.
”Lalu bagaimana nasib si pencuri berinisial HA tadi?” tanya Sofyan sebelum beranjak dari tempatnya.
”Ya, seperti pencuri-pencuri kelas teri lainnya, diperlakukan sebagai anjing, diperlakukan sebagai ’tempat pelampiasan’ hasrat dan perilaku ’kebinatangan’ para penghajarnya. Ia memang tiba-tiba berubah wujud menjadi anjing kurapan yang mengerang kesakitan, sementara si penghajarnya....aku takut mengatakannya,” kataku sambil berlalu, meninggalkan seribu satu tanya di wajah Sofyan. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar