Sabtu, 07 Mei 2011

Sandera

OLEH WAHYU CHANDRA

Matahari menggeliat dari balik rimbun pepohonan. Cemara itu terkesiap menyambut fajar merah yang malu-malu. Udara masih tetap dingin. Daun-daun basah sisa embun memantul-mantulkan cahaya yang menghampirinya. Santos mengucek-ucek mata, masih terkantuk-kantuk.
 
“Kalian tidurlah!” Suaranya berat kepada lima orang berbadan tegap hitam legam yang kebagian tugas jaga semalam.

“Jangan lupa bangunkan yang lain! Coba lihat sandera-sandera itu!”

Sandera itu jumlahnya belasan orang, tergeletak di sebuah gelaran tikar. Terlelap. Ada juga yang terjaga, mungkin tak tidur semalaman. Tangan mereka tidak diikat. Tapi moncong senjata dari berbagai arah siap meledakkan kepala mereka bila ada yang coba macam-macam. Coba saja!

Sandera. Seorang diantaranya pejabat pemerintah beserta beberapa anggota keluarganya. Yang lain turis asing dari berbagai negara. Mereka disergap ketika sedang berada di sebuah tempat wisata hutan cagar alam.
Santos, yang memimpin komplotan penyandera itu, menatap satu persatu sanderanya. Mulutnya mengisap sebatang rokok yang ia lenting sendiri. Diisapnya rokok itu dalam-dalam, lalu dihempaskan perlahan.

Pikirannya sedang berada di suatu tempat di masa lalunya. Sebuah telaga yang damai dimana masa kecilnya dihabiskan. Ia berenang dan menyelam ke kedalaman lalu muncul lagi ke permukaan membawa butiran-butiran pasir. Merasa tak menemukan apa yang ia cari, menyelam lagi. Muncul lagi. Menyelam lagi. Terus begitu. Dan langit sudah akan berwarna ungu. Telaga itu juga. Besok dan besoknya dicoba lagi. Tapi dimana mimpi-mimpi itu?

Suatu hari dalam mimpinya, telaga itu berwarna keemasan terkena cahaya matahari. Emas bertaburan sepanjang telaga itu. Ketika terbangun ia segera berlari ke telaga itu. Tapi didapatinya telaga itu masih berwarna bening kehijau-hijauan. Ia kecewa. Namun ia berpikir mungkin emas itu ada di dasar telaga, maka mulailah ia menyelam ke kedalaman. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Nihil.

Emas itulah satu-satunya harapannya. Desanya yang subur dan makmur, yang tertinggal kini hanya puing-puing kenangan. Suatu waktu banjir datang memusnahkan semua yang ada. 

Setelah surut yang tertinggal adalah tanah yang tandus dan tak layak ditanami tumbuhan apapun. Tanahnya mengeras. Orang-orang mengungsi. Yang tersisa hanya segelintir saja, yang merasa harus menjaga peninggalan moyang mereka. Yang tersisa hanya masa lalu.

Santos akhirnya tahu bahwa banjir itu terjadi karena hutan-hutan yang selama mengawal desa itu telah habis dibabat oleh pemilik HPH yang terlalu rakus. Rembesan air dari pegunungan tak terbendung. Ketika peristiwa banjir itu terjadi, orang-orang seakan tak peduli dengan semua itu dan menerima nasib itu apa adanya. Bantuan yang dijanjikan tak pernah ada. Atau malah ada namun tak pernah sampai kecuali sedikit. Disunat dimana-mana. Masyarakat terlantarkan dan harus memikirkan nasibnya sendiri-sendiri.

Lalu katanya desa itu menyimpan emas. Telaga itu. Seperti apa yang ada dalam mimpi-mimpi Santos selama ini. Emas itu harus dikeruk di dasar telaga, maka berlombalah investor asing menanamkan modalnya. Telaga itu adalah aset nasional yang harus dijaga, maka dibuatlah area untuk itu. Penduduk setempat tak diijinkan masuk. Ketika ada yang mencoba, malah ditangkap dan dipenjarakan, dituduh subversiv. Telaga yang dulu tempat mereka menatap mentari di pagi hari, dan memancing ikan, kini bukan milik mereka lagi.

Santos mencoba menerima keadaan dengan lapang dada. Bertahun-tahun dia mencoba memperbaiki apa yang masih tersisa dari desanya. Suatu hari ketika sedang mencangkul tanah yang kering, mata cangkulnya membentur sebuah benda keras. Mungkin batu atau sesuatu, pikirnya saat itu. Ia mencoba mengangkat benda itu. Sebuah peti. Ada tulisan Nippon yang sudah mengabur. Ketika dibuka didapatinya puluhan senjata beserta amunisi dan sejumlah granat. Mungkin peninggalan Jepang.

Berhari-hari ia tak tahu harus mengapakan benda-benda itu. Hingga suatu hari tiba-tiba sebuah ide berkelebat dipikirannya. Dikumpulkannya beberapa teman-temannya. Ia menyusun suatu rencana.

Dan kini rencana itu sudah terlaksana. Sandera-sandera itu.

“Sampai kapan kita menahan mereka?” tanya salah seorang, yang tampaknya masih tak percaya dengan apa yang tengah mereka lakukan.

“Sampai tuntutan kita tercapai.”

“Kalau tak digubris?”

Santos terkesiap. Terdiam. Hal itu tak pernah ada dalam rencananya. Yang ia tahu dari berita-berita penyanderaan adalah penyanderaan-penyanderaan yang selalu sukses. Ia tak pernah berpikir lebih jauh untuk membunuh orang-orang itu. Ia hanya tahu bahwa tuntutannya harus dipenuhi.

Santos kembali menatap sandera itu satu persatu. Dihampirinya pejabat itu. Anak dan istrinya ketakutan setengah mati.

“Tuan. Dulu kami adalah orang baik-baik. Desa kami makmur dan subur. Tetapi orang-orang itu telah merampas semuanya. Semuanya. Ketika mereka tahu bahwa desa kami menyimpan kandungan emas, maka semua itupun direnggutnya tanpa menyisakan sedikit pun untuk kami selain kemelaratan, keputusasaan dan kehilangan. Orang-orang kami tersingkir ke kota menjadi pengemis yang terlunta-lunta tanpa ada yang peduli dengan nasib mereka. Desa kami kaya. Tapi kami tak mendapatkan apa-apa.”

Pejabat itu terdiam. Mulutnya kaku. Ia memutuskan untuk diam saja. Mungkin takut salah omong.

“Kami tak meminta apa-apa selain milik kami sendiri yang telah kalian rampas. Kami pun butuh hidup seperti kalian. Kami butuh kehidupan kami yang dulu.”

Pejabat pemerintah itu tiba-tiba memberanikan diri untuk bicara.

“Lepaskan saja mereka, mereka tak tahu apa-apa. Kasihan mereka, datang kemari untuk mencari kedamaian tapi yang didapat hanya derita. Kalian tahan saja saya sendiri. Saya akan mencoba bicara pada pemerintah.”

Santos tertawa.

“Apa yang kalian tahu tentang penderitaan. Apa yang kalian alami saat ini tidaklah sebanding dengan apa yang kami alami. Dasar lemah! Lagi pula kenapa aku harus mendengar keluhan kalian itu. Tak ada yang akan pergi dari sini sebelum tuntutan kami tercapai.”

“Tapi tuntutan kalian terlalu berat. Masa lalu tak mungkin bisa kembali lagi.”

Santos kembali tertawa.

“Apa sih susahnya mengembalikan desa itu pada kami. Apa sih susahnya menanami hutan-hutan itu kembali. Biarkan kami mengambilnya kembali dan hidup damai seperti dulu lagi. Bukankah dulu kalian begitu mudah merampasnya.”

Pejabat itu seketika pucat. Tuntutan itu sangat tidak masuk akal. Gila. Benar-benar gila. Dan bayangan kematian tiba-tiba berkelebat di depannya.

Matahari memerah. Senja membentang. Sebuah helikopter muncul dari balik matahari. Siluet. Lalu sebuah lagi. Dan sebuah lagi. Dan satu persatu benda panas mendesis dari kiri kanan helikopter itu membabat apa saja yang dilewatinya. Lalu muncul kobaran api. Hutan itu terbakar habis. Asap hitam mengepul membumbung menggapai cakrawala. Hutan itu terpanggang. Besoknya ditemukan mayat Santos dengan mulut menganga di antara mayat-mayat lain yang tak bisa dikenali lagi.

Muncul di koran-koran berita kebakaran hutan akibat ulah wisatawan yang teledor. Belasan orang tewas, penduduk setempat, turis-turis dan seorang pejabat beserta keluarganya yang lagi piknik.

Santos tak pernah berpikir bahwa penyanderaan mereka itu tak diketahui siapapun, kecuali segelintir pejabat pemerintah saja.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar