Minggu, 15 Mei 2011

Sang Malaikat Maut (7)

OLEH WAHYU CHANDRA

Pembunuhan pertama yang dilakukannya, seingatnya, sekitar sepuluh tahun lalu, ketika ia menjadi pasukan khusus yang dikirim ke Timor Timur untuk meredam gejolak yang terjadi di daerah itu. Konflik horizontal antara penduduk yang pro dan kontra referendum. Dengan berpakaian sipil ia berbaur dengan mereka yang kontra referendum, melakukan provokasi dan sesekali melepaskan tembakan ke arah lawan yang hanya berjarak seratus meter di depannya. Tembakan itu sebenarnya hanya benar-benar sebuah provokasi karena hanya berisi peluru hampa, yang hanya akan menimbulkan bekas memar pada tubuh mereka yang terkena. 

Tembakan dan teriakan-teriakannya setidaknya akan tetap menjaga emosi dan semangat juang para milisi bersenjata yang berada di sekelilingnya. Ia menembak ke depan sekedar memberi jalan bagi peluru-peluru lain yang lebih mematikan. Dan setelah semuanya terjadi, ia akan menyelinap mencari posisi yang lebih aman dan lebih memudahkannya untuk mengontrol situasi.
 
Ia adalah seorang perencana, bukan tentara biasa yang dengan mudah mengotori tangannya dengan membunuh secara membabi buta musuh yang ada di depannya. Ia takkan membunuh untuk sesuatu yang dirasanya tidak perlu. Meski telah bertahun-tahun menjadi pasukan khusus, ia belum pernah membunuh seorang musuh pun meskipun ia punya lisensi untuk melakukannya. Pembunuhan pertamanya pun adalah sebuah ketidaksengajaan. Sesuatu yang ternyata mengubah secara ekstrim hidupnya kelak.
 
Pada saat ia berjalan sempoyongan karena kecapean di sekitar pelabuhan yang telah dipenuhi mayat dengan kondisi yang mengenaskan (sebagian besar tak berkepala), di tengah derasnya hujan yang mengaburkan pandangan di kejauhan, samar-samar dilihatnya seorang tentara sedang bersiap mengeksekusi beberapa orang milisi pro referendum (dapat dibedakan dari tanda yang mereka kenakan di kepala mereka). Tentara itu kini benar-benar bersiap untuk mengeksekusi korbannya ketika dengan lantang ia berteriak kepada tentara tersebut agar mengurungkan niatnya. Tentara yang terkejut dengan teriakan tersebut segera berbalik ke arahnya sambil tetap memegang senjata dan bahkan sempat melepaskan tembakan. Secara refleks ia melompat ke samping menghindari peluru yang mengarah padanya sambil melemparkan sangkur yang memang selalu disembunyikan di balik lengannya. Latihan berbulan-bulan melewati segala macam kesulitan benar-benar telah menghasah insting dan daya lempar sangkurnya. Sangkur itu menancap tepat di jantung tentara itu dan membuat tentara itu mati seketika itu juga dengan mulut menganga. Ia sendiri terluka tepat di bagian kiri atas rusuknya, hampir saja mengenai jantung. Ia hampir tak merasakan sakitnya hingga tetes darah mulai mengucur dan ia segera menutupnya dengan tangan kanan.
 
Para sandera yang seharusnya sudah menjadi santapan ikan saat itu, bukannya berterima kasih. Mereka malah berlari ketakutan meninggalkan tempat itu. Mereka mungkin sadar adanya ancaman lain jika tetap berada di tempat itu.
 
Ia pun menghampiri mayat tentara itu, yang kini bergelimang darah segar, bercampur air hujan dan genangan lumpur. Dicabutnya sangkur itu dari jantung tentara itu, yang lalu dibersihkannya dengan menggunakan pakaian tentara itu sendiri. Baru saja ia bergegas untuk meninggalkan tempat itu ketika tiba-tiba ia terhenti lama memandangi wajah tentara itu. Tentara itu begitu muda. Umurnya mungkin belum duapuluh tahun. 

Tubuhnya tiba-tiba terasa kaku dan enggan beranjak dari tempat itu. Tanpa disadarinya luapan emosi dalam dalam dirinya menghentakkannya terduduk di samping mayat tentara muda itu. Tubuhnya lemas tak berdaya. 

Sebuah sensasi asing merasuk di kepalanya, dan ia merasa kepalanya akan segera meledak.
 
Ia memukul-mukulkan kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Ini benar-benar petanda tak baik baginya. Dengan memeluk lutut ia terus berada di tempat itu, tidak peduli pada derasnya hujan yang tak juga reda. Rasa capek jiwa dan mentalnya, dan darah dari lukanya yang terus mengucur membuatnya tak sadar entah hingga berapa lama. Berjam-jam ia tergeletak bersama dengan puluhan mayat tak berkepala dan juga mayat tentara muda itu, yang entah kenapa ekspresi wajahnya kini seperti sedang tersenyum bahagia.
 
Ketika tersadar, ia mendapati tubuhnya berada di dalam sebuah lubang besar, bersama tumpukan mayat yang sebagian besar mulai membusuk. Perlahan dan dengan sangat berat ia pun beranjak meninggalkan tempat itu menuju sebuah rumah kosong yang mungkin dulunya adalah sebuah toko. Ia kembali tak sadarkan diri di tempat itu, sampai akhirnya tersadar karena seperti seseorang tengah mengguncang tubuhnya. Ia membuka mata mencari orang tersebut, tapi tak seorang yang berada di tempat itu. Yang ada hanya suara tembakan dan teriakan di kejauhan. Baru saja ia ingin kembali menutup mata ketika sesosok bayangan berdiri sekitar sepuluh meter di depannya. Ia tak begitu jelas melihat orang itu, namun kemudian merasa yakin bahwa orang itu adalah tentara muda yang baru saja dibunuhnya. Tentara itu melambaikan tangan padanya sambil tersenyum dan berjalan mundur hingga akhirnya hilang dari pandangan mata. Tentara itu terus menatapnya sambil tersenyum, seperti sebuah ungkapan kepuasan dan rasa terima kasih yang mendalam. Apakah tentara itu hidup kembali? Pikirnya. Atau apa yang barusan adalah hantu? Tapi kenapa ia tersenyum bahagia padanya?
 
Anehnya, ia kini tidak lagi merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Semua keraguan yang menderanya selama ini menjadi sirna. Ia kini melihat kedua telapak tangannya secara bergantian yang tidak lagi berlumuran darah seperti sebelumnya dilihatnya.
 
Berada dalam situasi dimana ia harus menggunakan segala cara untk bertahan hidup memberinya kesadaran spritual baru. Bahwa kehidupan dan kematian bukan semata takdir, namun juga pilihan. Ia bisa memilih untuk mati ketika itu dengan tidak menghindar dari rentetan peluru yang mengarah padanya, tapi dirinya (kesadaran yang melingkupi dirinya) masih memilih untuk tetap hidup. Ini adalah sebuah petanda dan takdir baru baginya. Sejenak ia merasa malaikat maut telah menitis dalam dirinya. Tubuhnya pun terasa lebih kuat dari sebelum-sebelumnya, dan sensasi di kepalanya, seperti sebuah dengungan kecil mulai muncul sesekali. Kehidupan mungkin telah memilihnya sebagai penghancur bagi kehidupan orang lain. Atau malah seorang penyelamat.

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar