Melihat tanda-tanda kepanikan di wajah wanita itu, Coki segera berusaha menenangkan, alih-alih memasang wajah sangar dan memaksa.
“Mungkin teman anda
lupa ataupun ada masalah tapi tidak sempat menjelaskannya. Begini saja
Mbak, besok saya datang lagi. Kalau ada apa-apa telpon saja di nomor
saya.” Ia lalu memberi kartu nama pada wanita itu.
Coki segera pamit menyisakan tanda tanya di hati Maya. Maya tadinya membayangkan Coki akan segera memberinya deadline atau sejenis ancaman lainnya agar ia segera melunasi cicilannya ditambah bunga yang besar. Ia membayangkan laki-laki itu akan langsung mengintimidasi dengan kalimat-kalimat paksaan, terkadang diselingi kalimat-kalimat kotor, yang hanya akan bisa dijawabnya dengan anggukan dan mungkin tangisan. Tapi lelaki itu hanya memberi kartu nama dan memintanya menelpon segera jika sudah punya solusi.
Sesaat ia merasa lega, meski kemudian menyadari bahwa itu tidak akan menyelesaikan masalahnya seketika. Lelaki itu hanya memberinya sedikit perpanjangan waktu, yang berarti juga perpanjangan masalah baginya. Ini hanya akan menjadi masalah waktu dan ia akan tetap membayar utang yang sebenarnya ia pikir sudah dilunasinya.
Coki lalu menstater motornya, dan sebelum berlalu ia berbalik ke arah Maya, “Panggil saya Coki, Mbak.”
“Kenapa?” Maya kurang mendengar perkataan lelaki itu karena suara derungan motor dan mobil yang lalu lalang.
“Maksud saya, Mbak cukup memanggil saya Coki. Tidak usah menggunakan nama lengkap yang ada di kartu nama itu.”
Maya mengangguk sambil
memandangi kartu nama itu sekilas. Lelaki itu berlalu menyisakan
kelegaan sekaligus kerisauan di hati Maya. Maya kembali memencet handpone-nya.
Nomor yang dihubunginya belum juga aktif. Ia pun mengirim pesan SMS dan
beberapa saat kemudian muncul tulisan di layar HP: pengiriman pesan gagal.
Maya
memeriksa saldo rekeningnya melalui fasilitas SMS Banking. Para bank
berlomba-lomba telah memanjakan nasabahnya dengan memberi berbagai fitur,
yang memudahkan interaksi dengan nasabah di mana pun mereka berada.
Interaksi fisik antara bank dengan nasabahnya akan semakin jarang
ditemui di masa sekarang dan lebih-lebih di masa yang akan datang.
Bank-bank tidak lagi menarik perhatian nasabah dengan sekedar memberi
bunga yang tinggi ataupun batasan saldo minimal. Bank-bank baru muncul
membawa teknologi baru, dan bank-bank lama pun mengikutinya agar tidak
tertinggal atau ditinggalkan nasabahnya. Sebaliknya para nasabah pun
kini tidak lagi semata mengharapkan suku bunga yang tinggi. Yang
terpenting adalah keamanan, aksesibilitas dan kenyamanan bertransaksi.
Bank-bank juga kerap memberi insentif lain selain suku bunga. Mulai dari
pemberian hadiah langsung atau point yang bisa ditukarkan
dengan uang dan barang, diskon untuk barang-barang tertentu, kemudahan
di bandara, mall-mall, tempat parkir hingga tempat-tempat rekreasi.
Bank-bank pun bermain di tataran image. Politik budaya populer
telah menggirim publik untuk menabung bukan lagi sekedar untuk
penyimpanan uang ataupun investasi, tapi juga adalah gaya hidup. Dalam
sebuah survey perbankan, hal-hal yang sering ditanyakan selain keamanan dan kenyamanan juga seringkali adalah image,
yaitu seberapa bangga mereka menabung di bank tertentu, ataukah dengan
menabung di bank tertentu apakah akan menaikkan status sosial mereka.
Tipu daya budaya populer kerap memakan korban. Bank-bank yang sebenarnya
bermasalah terus mendapat suntikan dana dengan memanfaatkan fasilitas
LPS dan diintervensi oleh Bank Indonesia. Bank-bank yang sebenarnya
sudah bangkrut terus dipromosikan sebagai bank yang sehat dan memiliki perfomance
yang baik. Masyarakat yang telah tertipu berkali-kali tak pernah
benar-benar kapok. Pemerintah yang telah berkali-kali terperdaya tak
juga mengambil pelajaran dari berbagai kasus yang ada.
Saldo
tabungan yang tertera di layar HP Maya hanya bisa menutupi satu bulan
cicilan. Ia enggan menceritakan hal ini pada orang tuanya dan berharap
Leni, teman yang seharusnya membayarkan cicilan motornya, punya alasan
yang tepat atas masalah yang dihadapinya sekarang. Ia tidak berani
berprasangka sebelum bertemu sendiri dengan Leni, meskipun hatinya
sedikit dongkol. Ia menyesali nasibnya yang harus berurusan dengan debt collector, monster yang dihindari banyak orang.
Ketika
bergabung dengan Gentar Group, Maskito tidak memiliki harapan yang
berlebih akan nasib hidupnya kelak. Ia sebenarnya berharap akan segera
pulang ke kampung setelah kuliahnya selesai, dan mendaftar sebagai PNS,
sebagaimana harapan kedua orang tuanya. Menjadi PNS adalah harapan semua
pemuda di kampungnya. Ia akan mendapat status sosial yang tinggi di
kampung dan yang paling penting takkan ada gadis yang menolak cintanya.
Para orang tua akan dengan senang hati menikahkan anak gadis mereka
dengannya. Semua gadis yang dulu pernah menolak cintanya, karena ia
miskin (ia selalu berpikir seperti itu), akan menyesali sikap mereka di
masa lalu. Ia membayangkan akan memakai baju berwarna coklat muda dengan
berbagai lambang di bajunya. Mungkin ia akan bekerja di bagian ekonomi,
karena statusnya sebagai sarjana akuntansi. Alternatif lainnya adalah
bekerja di bank, yang memiliki gaji yang lebih tinggi, meskipun sistem
kariernya lebih terbatas. Namun dengan usaha dan keuletan kelak ia akan
memimpin bank tersebut. Ia akan membiayai kedua orang tuanya ke tanah
suci dan rumah mereka akan direnovasi. Di atas pintu depan akan
terpasang sebuah papan yang terbuat kayu hitam bertuliskan namanya
sekaligus gelar kesarjanaannya. Itulah yang sering diimpikannya.
Ketika ia memutuskan
bekerja di Gentar Grup, ia berpikir hanya akan sementara di perusahaan
itu. Mungkin setahun atau dua tahun. Paling lama tiga tahun. Hingga
cukup waktu untuk mendapatkan pengalaman kerja yang memadai. Tapi
rutinitas di perusahaan itu yang dinamis, ditambah gaji yang cukup besar
membuatnya urung membatalkan niatnya semula. Setiap ia berpikir untuk
keluar dari perusahaan itu, atasannya akan segera menaikkan posisi dan
gajinya. Jika kau menanjak ke posisi puncak, maka engkau akan enggan
untuk turun sebelum hingga mencapai puncak tertinggi. Dan jika engkau
sudah berada di puncak, maka engkau akan benar-benar enggan
meninggalkannya. Begitulah kekuasaan bekerja. Jangan heran jika
seseorang yang dulunya adalah pejabat tinggi yang sangat dihormati, lalu
harus menanggalkan kekuasannya setelah mencapai usia pensiun akan
mengalami apa yang dinamakan postpower syndrom. Dan lebih-lebih
jangan heran jika mereka akan mencari posisi baru di puncak, yang tidak
dibatasi oleh usia atau tidak dikenal istilah pensiun. Ada yang menjadi
anggota dewan, ataupun memimpin organisasi-organisasi besar, atau
komisaris di perusahaan-perusahaan besar, karena ia punya nama besar
yang punya nilai jual dan jadi ‘jaminan keamanaan’ perusahaan dimana ia
bekerja.
Ia kini merasakan
kondisi itu. Posisinya sebagai nomor dua di perusahaan adalah prsetasi
tertingginya. Ia tidak pernah membayangkan mendapat lebih dari itu. Di
usianya yang masih sangat muda atasannya telah memberinya posisi yang
menjadi incaran semua orang di perusahaan itu. Para senior di perusahaan
itu pastinya iri dengan semua pencapaiannya dan mungkin ia akan
mendapatkan cercaan ataupun tanggapan miring dari mereka, meski tidak
secara langsung. Mereka hanya berani membicarakannya antara mereka
sendiri.
Bagi orang luar, ia justru mendapat apresiasi yang tinggi. Media-media bisnis menempatkannya sebagai manager dengan performance
terbaik, yang ramah pada media, yang paling memahami persoalan ekonomi
global, yang bertangan dingin dan berbagai gelar lainnya.
Ia menjadi pengurus
teras HIPMI dan Kadin pusat bersama dengan sejumlah pengusaha-pengusaha
muda yang mencapai puncak karier mereka karena melanjutkan usaha orang
tua mereka. Merekalah dulunya para pangeran-pangeran dari berbagai
kerajaan bisnis, yang telah ditempa dengan pendidikan luar negeri dan
dimagangkan di berbagai perusahaan multinasional. Ia sendiri bukan
siapa-siapa. Ia bukan berasal dari darah biru kerajaan bisnis. Suatu hal
yang pasti, semua prestasi yang dicapainya bukan semata-mata karena
nasib baiknya. Semuanya tak lebih dari peran Big Boss yang sangat peduli
dan percaya padanya.
Hal yang tak diketahui orang kebanyakan, kecuali dia, Big Boss dan sejumlah orang kepercayaan Big Boss lainnya, performance perusahaan tidaklah seperti yang nampak di luar. Meski tetap liquid,
perusahaan itu sebenarnya memiliki sejumlah sumber penghasilan fiktif.
Gabungan beberapa perusahaan cabang setiap tahunnya mampu menghasilkan share
hingga 40% dari total penghasilan penjualan, meski
perusahaan-perusahaan itu sebenarnya tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Ya benar, perusahaan ini tengah mempraktekkan money laundry
atau pencucian uang. Di sinilah uang-uang yang berasal dari sumber yang
tidak jelas disalurkan. Klien perusahaan sebagian besar adalah para
bandar narkoba yang kesulitan menjelaskan perihal sumber uangnya ketika
perbankan menerapkan praktek ketat menelusuri tabungan di atas Rp 100
juta. Sebagian lain adalah para koruptor yang tidak ingin mengambil
resiko dengan menyimpan sendiri uang kotor mereka. Praktek lain yang
dilakukan perusahaan adalah dengan meng-upgrade penghasilan yang wajib pajak. Dengan rasio likuiditas yang tinggi publik akan menilai perusahaan ini memiliki performance
yang baik sehingga mendorong nilai jual saham perusahaan ini di bursa
saham. Praktek ini banyak dilakukan di AS, yang terungkap setelah sebuah
skandal keuangan melanda negeri Paman Sam ini.
Big Boss telah
menjelaskan semuanya ketika ia mengangkatnya menjadi manager keuangan,
dan memang sebelumnya ia memang telah curiga adanya hal yang tak beres
dengan perusahaan ini. Maskito tak butuh waktu lama untuk memutuskan
menerima pekerjaan itu. Ia tahu resiko jika menolaknya dan kehidupannya
pun sudah membaik ketika itu sehingga tidak ada alasan dengan merusaknya
hanya untuk sebuah pekerjaan yang sebenarnya mudah dilakukan secara
teknis. Namun dari lubuk hatinya alasan sebenarnya dia menerima posisi
dan resiko itu sebagai sebuah upaya balas budi atas semua perhatian dan
nasib baik yang diberikan atasannya itu selama ini. Big Boss tidak
memaksanya untuk menerima pekerjaan itu, namun tatapan penuh harapan dan
persahabatan adalah sebuah pinta yang tak mampu ditolaknya.
(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar